CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 2. DAERAH GELANG-GELANG

No. 4. Kembang Di Danau

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

 

      Cahaya api itu semakin lama semakin membesar, bergoyang-goyang ke kanan ke kiri seperti mengikuti sebuah tarian, kadang-kadang seperti meloncat tinggi kemudian jatuh lagi. Guphala meletakkan belatinya kembali ke samping badannya, tangkainya masih dalam genggamannya. Pendar-pendar api mulai menerangi tempat di sekitar Guphala.

 

     "Ada yang datang," pikirnya. Ia pura-pura mati.

 

Sinar api mencapai ke tubuhnya. Si pembawa obor bercelingukan seperti mencari sesuatu, seorang perempuan bertubuh tambun, gemuk seperti gulungan dami, batang-batang padi. Di depannya meloncat-loncat ringan seorang anak perempuan kecil, berumur sekitar 6 tahunan, gerakan keduanya bagai roda andong depan dan belakang, roda andong depan yang kecil dan roda belakang yang jauh lebih besar, berjalan di tanah yang tidak rata. Semakin dekat semakin terdengar suara biji-biji gelangnya yang saling bertabrakan, untaian tulang-tulang jari jemari yang dibuat menjadi gelang. Campuran dari tulang-tulang harimau, celeng dan manusia. Di dadanya bergantung kalung yang berliontin gigi-gigi dan taring singa. Di pinggang keduanya bergantung belati yang mirip dengan belati milik Guphala.

 

     "Tidak kita temukan, Rara!" kata yang mempunyai tubuh besar.

 

     "Harus kita temukan, Obloh! Dia satu-satunya yang aku punya!" jawab perempuan kecil. "Cari, cari terus! Sampai ketemu." Gadis kecil itu meloncat ke kanan ke kiri, merangkak ke depan atau berjalan ke sana kemari, matanya meneliti mayat-mayat yang bergelimpangan, sesekali tangannya yang kecil menutup hidungnya, menolak bau amis yang mulai menyengat.

 

    "Cari mayat yang paling besar dan paling panjang tubuhnya!" perintahnya kepada perempuan bertubuh besar yang dipanggilnya Obloh.

 

     "Semuanya bala, Rara. Rupanya kau tidak takut dengan mayat-mayat, Rara?!" kata Obloh kepada Rara, beberapa kali bulu kuduknya berdiri, tapi perempuan gendut itu malu mengatakan pada tuan putrinya itu. "Anak ini mewarisi keberanian bapaknya," batinnya.

 

     "Akan kucincang orang yang berani melukai kakakku!" jawab anak kecil itu sengit. Wajahnya sudah penuh corengan abu, dan bajunya sudah basah oleh darah dari tubuh-tubuh mayat yang dia lewati.

 

Guphala tidak jelas mendengar percakapan keduanya, tetapi dia merasakan ada manusia yang sedang menuju kepadanya. Dan ketika api obor itu tepat berada di atasnya, barulah sadar Guphala bahwa gadis kecil yang matanya menatapnya  ragu itu adalah adiknya.

 

    "Jonggrang...!" bisiknya pelan lidahnya masih sakit untuk bicara. Gadis kecil yang dipanggilnya tak menjawab, tegak berdiri menatapnya. Api obor yang dibawa Obloh Owoh sekarang terpantul di butiran-butiran air yang keluar dari mata gadis cilik itu.

 

Obloh Owoh duduk berjongkok di samping tubuh Guphala, dia beranikan meraba tubuh tuannya yang penuh luka.

 

    "Tuan Guphala masih hidup?" tanyanya meyakinkan pada dirinya sendiri. Namun tanpa jawaban dirinya tahu bahwa dada itu masih bergerak bernafas.

 

    "Kakang jangan mati!" mulut kecil Rara Jonggrang berucap seperti memohon.

 

(BERSAMBUNG Ke Seri 2. Daerah Gelang-Gelang No. 5. Palang-Palang )

BACK