CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 22.  Penantian Melati

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

    

 

    Berbeda dengan suasana di pinggir-pinggir hutan Sabawana, di dusun Kedungdang tampak tenang-tenang saja, justru kehadiran prajurit-prajurit itu yang sedikit mengganggu ketenangan mereka. Beberapa anak-anak kecil tampak kegirangan menemukan anak kijang yang kesasar ke desa mereka, anak-anak itu dengan  senang hati memberinya dedaunan untuk makan anak kijang itu, sementara itu perjaka-perjaka menangkap babi hutan dan memasaknya beramai-ramaibersama-sama gadis-gadis. Beruntunglah mereka bahwa binatang-binatang buas yang melewati dusun mereka tak mengganggunya, binatang-binatang itu berlari dan pergi entah kemana, memang meninggalkan beberapa kerusakan, seperti ladang-ladang yang berantakan akibat terjangan mereka, pagar-pagar yang rubuh dan beberapa rumah getepe yang ambruk. Namun warga akan dengan mudah menggantinya dengan getepe yang baru. Semuanya itu akan tertutup dengan keceriaan mereka  menangkap kijang-kijang atau kancil, burung dengan bulu yang indah yang tersasar serta babi-babi hutan yang akan menjadi masakan lezat bagi mereka. Sapi-sapi liar tidak pernah mereka ganggu, mereka membiarkan sapi-sapi berlalu dan pergi entah kemana, sapi adalah kendaraan Sang Hyang Shiwa, walaupun mereka adalah umatnya Sang Hyang Wisnu, tapi takkan juga mereka berani mengganggu hewan kesayangan Shiwa, balak akan menghantui mereka jika mereka berani melanggar, itulah kepercayaan  mereka.

 

     Kesibukan ada juga di rumah Buyut Bashutara, para petinggi prajurit telah memilih rumah Buyut Bashutara sebagai pusat kerja mereka, walaupun para prajurit lebih banyak sudah berada di pinggir hutan namun semua arus perintah harus berasal dari senopati Pralagawidya yang memilih rumah Buyut Bashutara sebagai markasnya. Sudah sering Pralagawidya  sebelumnya berhubungan dengan Buyut Bashutara, saat pembangunan cepuri yang sekarang berdiri megah di samping rumah Buyut Bashutara, Pralagawidyalah yang diutus Maharadja Rakai Pikatan untuk mengawasi pembangunannya. Maka tentu saja hubungan mereka sudah demikian eratnya.

 

     Maka dapur di rumah Buyut Bashutara menjadi lain dari biasanya. Para wanita sibuk memasak untuk pasugatan Senopati Pralagawidya dan bawahan-bawahannya. Takterkecuali Jatuawitri, gadis ayu itu ikut juga membantu para wanita lain memasak. Gadis itu tampak terampil menggerus bumbu dan tak canggung mengaduk nasi "dang". Walau tak ada yang tahu, kecuali dia sendiri bahwa hatinya sedang gundah. Namun kadang-kadang rasa takutnya sering mencekik ulu hatinya, juga kekawatirannya akan perginya Raden Bandung. Kian hari kian lama tak kunjung tahu kabarnya. Namun apa daya baginya, wanita seringkih dia apa yang bisa dia perbuat kecuali berdoa.

 

     Ketika pagi menjelang siang Senopati Pralagawidya datang, dan meminta ijin kepada Buyut Bashutara untuk bermarkas di rumahnya, Buyut Bashutara sempat menemuinya sejenak dan tentu saja mengijinkannya, serta memerintah Ki Jagabaya untuk membantu jika ada yang diperlukan oleh Senopati Pralagawidya. Namun setelah itu Buyut Bashutara lebih banyak berada di Cepuri. Sementara Senopati Pralagawidya mulai sibuk memberi beberapa perintah dan cara-cara kepada bawahan-bawahannya untuk mengatasi masalah di lapangan.

 

    "Kanjeng Senopati, kalau boleh buyut ini meminta, jangan ada darah menetes dulu sebelum duduk perkaranya menjadi jelas," kata Buyut Bashutara sebelum masuk cepuri kepada Senopati Pralagawidya. Tak ada jawaban dari Senopati Pralagawidya saat itu, karena baginya sebagai seorang ahli perang, setiap gerakan adalah gabungan dari strategi dan situasi medan. Strategi akan bisa berubah jika situasi di medan juga berubah.

 

      Di dusun-dusun lain di pinggiran hutan itupun hampir-hampir sama, suasana seperti terselimuti oleh hal yang baru, hal yang aneh itu tak membuat setakut malam sebelumnya, saat hewan-hewan sedang gencar-gencarnya berlari melewati desa-desa mereka, kawula alit selalu saja membiarkan peristiwa besar adalah milik orang-orang besar, mereka mencoba memasrahkan apa yang sedang terjadi pada penguasa mereka, apalagi sudah banyak prajurit berada di sekitar dusun mereka. Mereka sendiri asyik dengan peristiwa saat itu juga, mencoba menerimanya dan kemudian larut dengan apa yang ditemukannya.

 

      Sebagian prajurit mulai mendirikan pondok-pondok dari papan kayu, mungkin mereka mengira bahwa mereka akan cukup lama berada di tempat itu, pasukan dari kesatuan yang lain memasang tenda-tenda. Tampak pula beberapa penduduk sekitar hutan mengirimi mereka makanan, ketela, jagung atau ubi rebus, walaupun sebenarnya prajurit-prajurit itu sudah dibekali cukup makanan untuk paling tidak lima hari, dan jika diperlukan tentu akan dikirimi lagi dari kotapraja pusat Bhumi Mataram.

 

                                                                               ******

 

    

(BERSAMBUNG Ke No. 23. Batas)

BACK