CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 23.  Batas

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

        Di dalam hutan, harimau setan yang sedang berkelahi dengan Bandung akhirnya mencapai juga di puncak lereng, mengendus-endus sebentar, kemudian mendongak. Ditatapnya Bandung yang berdiri.

 

     "Makhluk ini aneh," pikirnya. "Aku seperti menabrak udara kosong, setiap kali aku menerkamnya."  Dibulatkan lagi tekadnya untuk menyerang musuhnya itu. Dia coba tengok langit, matahari sudah menggelewang ke barat, air sungai masih juga mengalir jernih, menabrak-nabrak bebatuan dan kemudian jatuh, meluncur berputih warna, setinggi dua pohon kelapa, dan berbauran di dasar, hanya menyisakan buih dan suara bising monoton. Musuhnya berdiri di tepian air terjun, seakan mau jatuh sejalan dengan air sungai di sampingnya.

 

     "Bandung," panggil harimau setan itu pelan seperti menggumam, "Aku tahu kau bukan sembarang makhluk, mungkin aku tak bisa mengalahkanmu. Pakailah namaku di belakang namamu, jika kau mati dalam terkamanku nanti, biarlah nama Bandung Bondowoso menjadi sejarah, karena kaulah satu-satunya lawan tertangguh yang pernah aku hadapi. Tapi jika aku yang kalah maka biarlah aku berbakti padamu, sepanjang umur hidupmu. Setiap kali kau sebut namaku, atau orang menyebut namamu dengan menyertakan Bondowoso di belakang namamu, aku akan tahu keadaanmu saat itu. Dan jika kau panggil aku saat kau perlu bantuanku, aku akan datang. Tapi jika kau mati karenaku saat ini, maka ikhlaskanlah, karena itu memang tujuanku, menggodamu, mempengaruhimu, jika tak berhasil mempengaruhimu aku akan membunuhmu."

 

     Bandung mendengar apa yang dikatakan harimau Bondowoso itu, namun tak keluar jawaban dari mulutnya, matanya memandang macan itu dengan tatapan teduh, "Lakukanlah", kata jiwanya, "Aku berpasrah diri bukan padamu, tapi kepadaNya, lakukanlah Bondowoso, setelah itu kembalilah ke alammu!"

 

     "Baiklah, bersiaplah!" harimau setan itu mendekam, bersiap untuk menerkam, secercah sinar di matanya menunjukkan konsentrasi yang tinggi, tak ada kemarahan di sana, seperti hanya melakukan gerakan saja. Dengan cepat tubuhnya menerabas angin, sasarannya adalah tubuh Bandung dalam cabikannya. Naluri terkamannya tak pernah meleset, tubuh macan itu menggelayung di udara, gagal, kemudian melayang mengikuti aliran air sungai yang jatuh, bahkan lebih cepat saat berjebur dalam dasarnya air terjun, tenggelam dalam buih-buihnya. Kemudian senyap, tubuh harimau kumbang tertelan dalamnya dasar air terjun, tak pernah muncul lagi. Dia telah pergi ke asalnya, mengakui kekalahannya, dan membiarkan Bandung pergi membawa namanya, Bandung Bondowoso.

 

     Saat Sangate dan Wuryan memberanikan diri keluar dari  dalam ceruk, kedua orang itu tak menemukan apapun di luar ceruk, kecuali pohon-pohon tumbang dan daun-daun berserakan. Dengan hati-hati Sangate dan Wuryan meneliti sekeliling tempat itu.

 

     "Tak ada lagi perkelahian, Paman." kata Wuryan.

     "Iya, dimana mereka? Seperti hilang ditelan bumi." jawab Sangate.

     "Perkelahian yang aneh," sambung Wuryan.

     "Tak ada penyelesaian di antara mereka rupanya."

     "Ataukah kedua-duanya mati?"

     "Tak kita temukan bangkainya," jawab Sangate.

     "Lalu apa yang mesti kita laporkan ke Buyut Bashutara, Paman?"

     "Laporkan saja apa yang kita lihat."

     "Apakah Buyut Bashutara percaya dengan cerita kita? Bukanlah omongan kita menjadi tidak masuk akal?" tanya Wuryan ragu.

    " Lalu apakah kita harus mengarang cerita? Bukankah memang itu yang terjadi? Hewan-hewan itu keluar karena tak kuat mendengar lengkingan harimau kumbang besar yang sedang berkelahi dengan hantu berlumpur. Katakan apa adanya saja, Wuryan."

 

Wuryan mengangguk pelan, "Rupanya kita harus pulang Paman, matahari sudah condong ke barat, dan tak ada lagi kejadian."

   "Iya, baiklah, kita kembali pulang, mumpung masih sempat mengenali arah, semoga kita menemukan jalan setapak  sebelum malam tiba, kalau gagal kita mesti menginap di sini sampai pagi tiba."

 

     Kedua orang itu bergegas pergi, meloncati batang-batang pohon yang tumbang, menyusup  perdu dan menerabas rimbunnya hutan, di tengah sebuah pulo bernama Djawadwipa.

 

******

    

(BERSAMBUNG Ke Seri 2. Daerah Gelang-Gelang No.1 Tunas Bersemi)

BACK