CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 16.  Hantu Berlumpur Mengamuk

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

         

     Beberapa saat keduanya tercekam oleh rasa takut yang teramat sangat, namun ketika Sangate mencoba membalikkan badannya, permukaan cerung itu sudah tertutup oleh daun-daun dari sebuah pohon yang tumbang. Di luar masih terdengar suara lengkingan dan pohon-pohon berusakan. Saat Sangate mencoba mempertajam pendengarannya maka dia yakin bahwa yang terjadi adalah sebuah perkelahian.

 

     Pelan-pelan Sangate mendekati permukaan cerung, menyibak dedaunan yang menutupi, dan ketika matanya bisa melihat keadaan di luar cerung, kerut di keningnya menajam.

 

     "Apakah itu manusia?" batinnya. "Sebuah tubuh mirip manusia, tertutup lumut berlumpur, bermata merah berambut gimbal, berdiri tegak seperti patung."

 

Wuryan tiba-tiba ikut mendekat ke permukaan cerung, ketika desis keterkejutannya terdengar, Sangate secepatnya menutup mulut Wuryan, supaya makhluk di luar cerung itu tak mengetahui keberadaannya.

 

    "Paman, itu hantu, Paman! Sedang ngapain dia?" bisik Wuryan pelan sekali.

    "Lihatlah di sebelah lain, ke arah sana, di belakang pohon besar yang tumbang itu!" kata Sangate.

 

Wuryan memindahkan pandangannya ke arah lain, ke arah yang ditunjukkan oleh Sangate. Sepasang mata mencorong menatap hantu berlumpur yang berdiri tegak mematung itu, rupanya keduanya sedang saling beradu tatap pandang, sorot mata seekor macan kumbang yang besar, sebesar singa jantan, jauh lebih besar dari macan kumbang yang biasa Wuryan tahu. Warna hitam kulitnya samun menyatu dengan dedaunan, tetapi tatapan marahnya memancarkan kebencian yang meluap luar biasa.

 

Tetapi sebenarnya kedua makhluk berbeda jenis itu sedang dalam percakapan batin, keduanya sedang saling melontarkan makian dan kutukan, sayangnya Sangate dan Wuryan tak mampu mengikuti percakapan batin keduanya.

 

     "Kau tak akan bisa membunuhku, sundal tengik! Sekalipun kau lempar, kau banting, kau sambitkan aku ke pohon-pohon hingga pohon-pohon itu patah dan tumbang. Kau tidak akan bisa membunuhku! Aku adalah makhluk kekal!" kata macan kumbang itu.

     "Aku tahu, kau bukan harimau kumbang, binatang, hewan sehewan-hewannya hewan! Tapi kau adalah saripatinya benda, kau hanya meminjam tubuh macan kumbang, kau tak akan bisa mati sebelum akhir jaman, sebelum alam semesta ini dilebur oleh Sang Hyang Pencipta. Tapi aku akan membuatmu jera!" jawab makhluk berlumpur itu.

     "Kau tak akan bisa lakukan itu, ini tugasku, aku hanya melaksanakan tugas!" jawab macan kumbang.

     "Kau menyelewengkan tugas, kau mulai mempengaruhi!"

   "Mempengaruhi apa? Kau datang ke sini, di daerah kekuasanku, kau membikin panas hutan ini. Maka tugasku adalah mengusirmu dari hutan ini! Aku sudah ada bersama adanya hutan ini!"

   "Aku datang tidak merusak hutan ini, hewan-hewanpun tak ada yang tertanggu, semua tumbuh-tumbuhan suka kehadiranku, mereka bilang kedatanganku membuat kesejukan. Bagaimana mungkin kau bisa bilang aku bikin panas?!"

    "Kau memisahkan bangsaku, jenisku dari kesatuannya dengan hutan ini!"

    "Aku tak pernah bermaksud seperti itu!"

    "Hentikan bertapamu di hutan ini!"

    "Tidak, Sebelum tercapai kehendakku!"

 

Kedua makhluk itu tetap saling tatap, keduanya tak menemukan titik temu. Maka satu-satunya jalan adalah salah satu darinya harus kalah dan pergi dari hutan ini.

 

Makhluk berlumpur berambut gimbal itu menarik tangan kirinya ke samping pinggangnya, sementara itu tangan kanannya menekan ke depan. Harimau kumbang mengibas-kibaskan ekornya. Cepat gerakannya meloncat ke depan, kemudian berjalan mengitari makhluk berlumut berlumpur itu. Bersiap-siap untuk menerkam.

 

Tiba-tiba hantu berlumpur itu berguling cepat sekali, dan di akhir gulingannya kaki kanannya berputar membanting ke arah kepala macan kumbang yang tak menyangka akan adanya serangan mendadak itu. Namun macan kumbang itu masih sempat menolengkan kepalanya, tapi lehernyalah yang tertempa kaki hantu berlumpur itu. Macan itu terlontar jauh  dari tempatnya semula, sembari melengking kesakitan. Di saat seperti itu Sangate dan Wuryan merasakan desakan di dadanya.

 

    "Lengkingan macan kumbang itu yang membikin hewan-hewan pergi dari hutan ini, Wuryan."

    "Iya, Paman."

 

Macan kumbang yang terlempar itu membentur pada sebuah batu besar dan tak disangka oleh Sangate dan Wuryan, batu itu pecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil bersama dengan teriakan kesakitannya.

 

    "Tubuh macan itu memecahkan batu besar itu Paman, tapi rupanya macan itu juga kesakitan."

    "Hal seperti ini belum pernah aku lihat, Wuryan."

 

    Makhluk berlumpur itu terus memburu, dan harimau kumbang lari melesat ke arah tanah yang lebih lapang, di atas tanah berumput di pinggir kali macan itu menunggu musuhnya. Secepat tiupan angin makhluk berlumpur sampai di depan macan kumbang itu, kini macan itu yang justru menyerang, menerkam makhluk berlumpur itu, rupanya mahkluk berlumpur itu justru menunggu sergapan macan itu, saat terkaman macan itu hampir menggulung tubuh mahkluk berlumpur itu secepat kilat memutar tubuhnya meliuk ke atas dan gengaman tangannya seperti kumparan melengkung menusuk kepala macan itu. Dan macan itu tak sempat lagi menghindar, tubuhnya jatuh berdebam menjatuhi tanah. Tak ada lengkingan karena pukulan kali ini begitu fatal. Macan itu memeluk tanah dan sepi setelah debaman terakhir akibat benturan.

 

    Mahkluk seperti hantu itu berdiri beku di dekat tubuh macan kumbang. Merenungi musuhnya yang diam. Di dasar lubuk hatinya sebenarnya timbul keputusasaan yang dalam, berapa puluh kali dia sudah melumpuhkan musuhnya itu, tetapi berapa kali pula musuhnya itu bangun lagi dan hidup lagi. Sudah hampir sehari semalam dia bertempur. "Aku tak bisa membunuhnya, tubuhkupun sudah mulai letih, ada saatnya aku kehabisan tenaga. Betapa sukarnya membunuh setan. Apakah justru aku yang akan kalah?" pikirnya.

 

    Belum selesai merenungi perkelahian itu, apa yang dia perkirakan terjadi, macan itu mulai menggeliat lagi, perutnya berkembang kempis tanda adanya nafas yang keluar masuk.

 

    "Kau mulai sadar lagi, iblis!"

 

    Macan itu membuka matanya, tapi rupanya dia masih merasakan kesakitan yang luar biasa. Lidahnya keluar kotor oleh tanah.

 

    "Akan kupaksa kau pergi dari hutan ini!" ancam makhluk seperti hantu.

     "Kau yang akan pergi, bukan aku. Ini rumahku!" jawab macan kumbang.

    "Kalau tidak pergi, baiklah akan kuhancurkan kepalamu itu dengan batu itu!" Mahluk berwajah hantu berjalan mendekati batu sebesar domba, dan mengangkatnya, membawa batu itu ke arah macan kumbang. Macan itu hanya bisa memandang ketika kepalanya tertumbuk batu andesit itu, karena kekuatannya belum pulih kembali, tapi justru batunya yang hancur berkeping-keping. Macan itu tak sadarkan diri lagi.

 

    Tiba-tiba keletihannya mulai terasa mengganggu, mahkluk bertubuh hantu itu mulai merasakan kelemahan di badannya. Dia menoleh ke sungai, rupanya dia merasakan haus juga. Mahkluk bertubuh hantu itu berdiri dan berjalan  ke arah sungai, tampak gontai jalannya, dan ketika sampai di sungai, dia sadar bahwa dia sudah tidak lagi mampu membuka mulutnya untuk minum.

 

    "Betapa lamanya aku berpuasa. Kuhitung sudah tigapuluhdelapan hari. Macan laknat itu yang mengganggu bertapaku, seandainya tak diganggunya dua hari lagi tapabrataku selesai. Ohh, Sang Hyang Brahma, maafkan kegagalanku ini." batin mahluk bertubuh hantu itu. Dengan lunglai tubuhnya dia dudukkan di atas batu dipinggir kali. Beberapa saat ketertegunannya meningkat ketika dilihatnya bayangan wajahnya di air sungai yang jernih.

 

    "Apakah aku sudah menjadi hantu?" tanyanya pada dirinya sendiri.

 

  

(BERSAMBUNG Ke No. 17. Percakapan Di Tengah Hutan)

BACK