CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 17.  Percakapan di Tengah Hutan

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

         

     Baru sadarlah kini, makhluk berlumpur itu menemukan wajahnya sudah menyerupai hantu. Matanya memerah cekung dan nanar, rambutnya yang panjang sudah menjadi satu kesatuan seperti ijuk. Tubuhnya yang kekar dulu sekarang  kurus seperti batang bambu kering mengkisut. Dan seluruh tubuhnya ditumbuhi lumut. Yang dirasakannya adalah kehilangan segala angan awalnya, ketika dia berangkat menuju hutan Sabawana ini, dia mengharapkan sebuah pencerahan, dengan manekung kepada dewa-dewa, maka kekebasanlah yang dia harapkan. Kebebasan dari keterikatan. Namun kini di tengah hutan ini yang dia temui justru sebuah jalan simpang, antara kematian dan kegagalan. Tinggal memilihnya saja, bertempur terus melawan macan setan itu dan akhirnya kehabisan tenaga dan mati, atau meninggalkan tempat itu selagi macan itu pingsan dan itu berarti kegagalan dan tak mendapatkan apa-apa selain keletihan dan malu yang akan dia sandang seumur hidupnya.

 

     Kedua pilihan itu tak mengenakannya. Begitu muda dia untuk mati, tapi juga bukan sifat dia untuk menyerah dan lari. Air sungai di depannya mengalir gemericik, menerpa-nerpa bebatuan yang menghalanginya di depan kanan dan kiri, begitu sunyi, lebih ke hulu sedikit air terjun seperti selendang putih bergerak ritmis, pinus, meranti, perdu soka, jati, waru, ringin, dan tumbuhan yang tak dikenalnya berbauran satu sama lain, di sebelah lain pohon-pohon tumbang, dirinya merasa bersalah, karena ulahnya sebagian hutan ini rusak.

 

     Tiba-tiba ia ingat akan rumahnya, hangatnya teh manis, harumnya nasi panas, ikan mas goreng, sayur lodeh, pedasnya sambal dan segarnya kelapa muda. Dia mulai terombang-ambing lagi, antara kenikmatan-kenikmatan itu dengan tujuannya. Tapi bukankah dirinya telah gagal mencapai tujuannya? "Ohh Sang Adikodrati, kau begitu jauh dan beku, aku tak bisa meminta bantuanmu, aku sendirian di sini, di ujung kematian yang terhina ini, mati di tangan seekor setan alas ini. Bukankah lebih baik mati melawan sesama manusia di medan pertempuran dari pada mati dikalahkan setan? Tak akan ada yang menangisi, takkan ada yang mengubur dan membakar dupa serta mengirimkan doa," batin makhluk seperti hantu itu.

 

     "Mungkin pula ini bukan kodratku, sebab bagi Sang Adikodrati, aku mau mati atau hidup bukanlah persoalanNya, Dia akan bercerita terus seperti aliran air sungai ini, dari jaman ke jaman, dari versi ke versi, aku adalah bagian kecil dari cerita tapi pilihan tetap ada padaku, peran telah ditentukan melalui kodrat, tapi pikiran bisa berbelok karena keinginan dan nafsu, jika pilihan salah, Dia Sang Adikodrati tak kan bertanggungjawab, sebab itu diluar rencanaNya." ujar di batinnya. "Maka tak pantas aku merengek-rengek kepadaNya menghadapi maut ini. Ini pilihanku dan pendekar macam aku tak boleh takut akan kematian."

 

    Tapi mati lebih baik baginya daripada memikul malu. Paling tidak di sana, setelah kematian mungkin bisa dia memulai hal yang baru, dia tidak begitu percaya dengan kelahiran kembali, tetapi jika memang itu ada, segala hal bisa dia mulai kembali, kesimpulan saat hidup kini memaknainya, juga tentang arti tapabrata ini dia takkan ulangi lagi. Sebab baru kali ini dia tahu bahwa tapabrata ini adalah pemaksaan kehendaknya untuk direstui oleh Sang Hyang Widi. Bukahkah seharusnya dia berpasrah diri bukannya memaksakan diri.

  

    Ia membulatkan tekat untuk menjemput maut, sudah berpuluh kali dia taklukkan macan kumbang itu, berpuluh kali pula hidup lagi. Tenaganya menjelang habis, saatnya dia serahkan kembali kepada yang meminjamkan tubuh lemah itu kepadanya, kepada Penguasa jagad raya ini. Dan ketika dilihatnya macan kumbang itu membuka matanya dan mulai menggeliat, ia tak berbuat apa-apa. Sekilas dia lontarkan ingatannya pada orang-orang terdekatnya, gurunya yang sangat ia hormati Buyut Bashutara, Nyi Panuluh yang selalu memanjakannya layaknya ibunya sendiri, Jatuawitri gadis terayu di Kedungdang yang selalu mengisi waktu senggangnya, serta orang-orang dusun Kedungdang yang bagaikan saudara-saudaranya sendiri. Sehabis mengingat mereka, kilasan masa kecilnya bergulir, ibundanya yang lembut dan berkulit halus itu, ramanda-nya yang penuh karisma, duabelas tahun ia terlepas dari keduanya, belum sempat dia kembali dan mencium punggung tangan ibunya. Kini dihadapannya maut menunggu. Macan itu mulai mendongakkan kepalanya, memandang kepadanya.

  

(BERSAMBUNG Ke No. 18. Untuk Apa Pergi)

BACK