CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 13.  Malam Di Sudut Lain

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

*****

     Di malam itu juga, di sebuah rumah di kawasan dalam benteng istana Mataram, ada sepasang mata laki-laki yang juga belum terpejam. Dengan bau wangi yang berasal dari cendana dan kayu gaharu di pojok kamar, terkurung oleh  kelambu coklat bersulamkan benang-benang keemasan, tempat tidur dari batang besi tempa hijau hangus, di pagarnya melengkung-lengkung sulur-sulur berbentuk daun dan bunga-bunga, menunjukkan bahwa pemiliknya bukanlah orang biasa. Guci-guci dari negeri China, tempat buangan ludah dari tembaga berukir serta dhahkinang, tempat kinang dari perungu, serta almari besi buatan peranggi, tempat menyimpan barang berharga dan uang . Di lantainya terhampar  permadani dari Turki.

 

     Rumah itu tepatnya berada di belakang istana raja Mataram, dipisahkan oleh sebuah alun-alun luas, di samping kanan alun-alun terdapat kandang gajah, di samping kiri alun-alun terdapat kandang harimau, hewan-hewan kesukaan  raja, rumah itu merupakan sebagian dari rumah-rumah yang berderet mengelilingi istana, di situlah tinggal kerabat raja, pejabat tinggi keraton serta ada rumah inap khusus bagi utusan dari kerajaan lain yang akan menghadap raja Mataram. Penghuni rumah-rumah itu akan sangat dihormati oleh orang-orang yang tinggal di luar benteng, karena mereka dianggap orang-orang terdekat raja.

 

     Di situlah malam itu Rahaden Kocapa terbaring, matanya menatap kelambu di atasnya, wanita yang tersingkap paha mulusnya yang  tertidur di sampingnya dia abaikan saja. Yang ada di pandangan lamunannya adalah perawan kencur yang dia jumpai sekitar limapuluh hari yang lalu, seorang gadis manis bertubuh sintal salah satu cucu dari Buyut Bashutara. Ada perasaan menyesal kenapa dia harus bertindak kasar pada pekathik Purana, seandainya dia bersikap lebih sabar maka dia bisa datang lagi ke Kedungdang dan meminta pada Bashutara dengan cara baik-baik, bahwa dia menginginkan cucunya itu. Mungkin Bashutara akan memberikannya, karena Bashutara adalah salah satu temannya ketika laki-laki tua itu belajar di Vanarasi. Dia masih ingat Bashutara adalah siswa paling tua, seperti biasa siswa-siswa yang  berasal dari Jawa selalu jauh lebih tua dari pada yang asli dari Hindi, mereka biasanya sudah berumur 40 sampai 45 tahun, sementara siswa asli Hindi biasanya masih muda-muda, sekitar 23 sampai 25 tahun. Sebagai adat dalam pengiriman siswa ke negeri Hindi, pemerintah Mataram memberlakukan pemilihan yang sangat ketat, hanya brahmana-brahmana yang sudah sangat faham akan Wedha, Bhagavatgita dan Wayu, kepercayaan asli orang Jawa  serta mengenal akan Budha walau sedikit, dan ilmu etung, dilengkapi dengan ilmu perbintanganlah bisa mendapat restu Sang Maharaja Mataram untuk dikirim ke negeri Hindi. Maka oleh karena itulah jarak beda umur Bashutara dan Rahaden Kocapa cukup jauh.

 

     Dalam kegelisahannya dia selalu tertarik pada ikatan masalalunya, dan ujung dari kelampauannya adalah ibunya, Rhaiswara, ibu yang sangat sabar, pengagum ganesya dan selalu memberikan air susunya lebih dari tujuh tahun pada anak-anaknya.

 

     "Ibu, aku ingin air jernih sungai gangga membasuhku, perantauan anakmu ini meletihkan, seandainya kau ada, aku ingin kau rayukan puisi kasmaranku pada perawan Kedungdang itu lewat bibirmu yang lembut, ibu," batin lelaki itu tersedaksedak, dia merasa betapa lemahnya dirinya melawan perasaannya sendiri. "Ibu, mestikah kutiru Krisna, mestikah kucuri gadis itu, ibu? Seperti saat Krisna mengambil calon istri-istrinya?" Darahnya seakan mengalir demikian kencang, seperti biasa saat keinginannya harus tercapai, demikian juga selalu saat kenangan akan ibunya membayang, airmatanya berlelehan, tapi segera dia hapus dengan punggung tangannya, malu jika sampai perempuan yang tergolek disampingnya mendengar isakannya.

 

    Pusaran keinginan dan keterbatasannya membentur-bentur pada pikirannya, bagaimana dia bisa memiliki gadis itu, "Aku tak bisa tidak harus berhasil! Akan kurengkuh tubuh mungilnya, akan kureguk cawan madu di bibirnya, kudaki puncak-puncak sepasang bukit kenyalnya. Akan kususuri lembah indah di pangkal  paha mulusnya. Ohh...engkau perawan dusun yang membuatku terwuyung-wuyung. Engkau yang tak bisa tidak harus aku miliki. Harus!!!" Gejolak kemauannya mendorong birahinya menggelegak. Dan seketika dimiringkannya tubuhnya, dia seret selimut yang menutupi tubuh perempun yang tertidur di samping itu, dan dia lemparkan ke lantai. Dan seketika itu pula sinar lampu gantung menembus kelambu menerpa badan polos wanita tertidur pulas tanpa pakaian itu. Seperti beruang haus, lelaki itu menyergap mangsanya yang kemudian terbangun dan tak sempat berucap apapun ketika bibirnya sudah terlumat dan tenggelam dalam kumis dan jambang lebat lelaki gagah perkasa itu. Di dalam angan lelaki itu seakan dia sedang menggumuli prawan muda Kedungdang cucu Buyut Bashutara. Di luar terdengar lonceng kerajaan berdentang empat kali. Beberapa prajurit jaga bersiap-siap untuk bertukar tugas. Para prajurit pagi telah datang untuk menggantikan prajurit yang bertugas malam. Sekali dua kali auman harimau sayup terdengar dari kandangnya.  Malam hampir bergulir setelah lelah menampung segala ceritera.

 

*****

 

(BERSAMBUNG Ke No. 14. Menjelang Pagi Di Hutan )

BACK