CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 14.  Menjelang Pagi Di Hutan

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

    

     Seperti dua mayat yang berjalan, Wuryan dan Sangate tak saling berbicara. Bekunya hutan itu membuat mereka terpenjara  dalam pikirannya masing-masing. Semakin dalam mereka masuk semakin susah mereka menemukan jalan setapak, karena sering kali jalan itu sudah tertutup oleh tetumbuhan atau rumput liar, terpaksa mereka membabatnya dengan parang yang mereka bawa. Yang membuat kekawatiran adalah oncornya yang mulai kehabisan minyak kelapa, gelap akan membalut mereka dalam sekapan hutan yang entah seberapa jauh lagi mesti dia tempuh. Tapi Sangate percaya bahwa hari akan segera pagi, matahari akan segera muncul menerangi.

 

     Dan ketika pagi benar-benar datang, ketika pandangannya bisa lebih jelas melihat rimbunnya pepohonan, Sangate dan Wuryan tak menemukan apa-apa. Kecuali senyap yang mencengkam, serta keletihan setelah berjalan menelasak hutan semalaman. Namun Sangate merasakan sesuatu telah berdesir beberapa kali di dadanya, dan perih desirannya sempat membuatnya sesak, seperti sebuah lengkingan yang memerihkan hati sanubarinya.

 

     "Aku merasakan sesuatu yang menyesakkan dada, Wuryan. Apakah aku terkena sakit ya...?"

     "Tidak hanya Paman, saya juga. Seperti sebuah desakan ngilu karena suara yang melengking menyayat."

     "Ya, sama dengan yang kurasakan. Berarti perasaan ini pula yang membuat hewan-hewan itu pergi dari hutan ini, Wuryan."

     "Tapi kita tak mendengar apa-apa, Paman."

     "Yah mungkin karena kita masih terlalu jauh dari sumber suara itu."

     "Paling tidak kita sudah mempunyai tanda, Paman. Semakin terasa ngilu di dada berarti semakin dekat dengan sasaran."

     "Semoga begitu. Apakah kamu terlalu letih Wuryan? Seandainya perlu istirahat, kita berhenti dulu beberapa saat."

     "Dulu ketika saya masuk hutan ini bersama Raden Bandung, di tengah hutan ini ada padang berumput, kalau kita bisa sampai di sana, kita bisa istirahat lebih enak, Paman. Karena kita tidak perlu membabat tumbuh-tumbuhan untuk tempat kita sekedar berbaring."

     "Baiklah, kita coba teruskan perjalanan kita, semoga padang berumput di tengah hutan itu segera kita temukan."

 

     Mereka melanjutkan perjalanan. Dan rasa ngilu semakin sering menerpa dada, semakin kuat mendesak-desak ulu hati mereka. Jika kedua orang itu bukan orang-orang yang terlatih kanuragan dan tenaga dalamnya maka merupakan suatu kepastian bahwa keduanya sudah jatuh terkapar, pingsan, atau keburu pergi begitu mendekati hutan itu seperti kuda-kuda mereka.

 

     Sangate menebalkan keberaniannya. Dia merasa bahwa apa yang terjadi di dalam hutan ini tidak bisa dianggap sepele. Seperti gerakan yang tumbuh dengan sendirinya, kaki-kakinya menapak tanah dengan langkah-langkah kuda-kuda silat, sebagai tanda bahwa orang itu mulai waspada terhadap bahaya. Wuryan beberapa kali tampak mendesah, menahan tekanan yang menyerang dadanya.

 

     Hutan itu kian terang karena pagi semakin merangkak, Sangate dan Wuryan belum juga menemukan apapun kecuali sesak dan nyeri di dada yang sering menyerangnya. Namun ketika keduanya mencapai puncak setelah berjalan mendaki dan melihat ke lembah, kedua orang itu termangu dan langkahnya terhenti karena penglihatannya menatap sebuah keadaan yang tak dia mengerti apa penyebabnya.  Terhampar lembah di tengah hutan yang telah rusak berantakan, pohon-pohonnya bertumbangan. Sangate merasa bahwa pohon-pohon tumbang atau patah di batangnya yang dia sedang tatap itu tentu baru saja terjadi, karena daun-daunnya masih hijau dan bekas patahannya juga tampak baru saja terjadi.

 

     "Paman, apa yang baru terjadi? Hutan di lembah ini hancur!"

     "Yah, lihatlah, rusaknya pepohonan itu seperti membentuk sebuah jalur-jalur yang terlewati."

     "Apakah ada hewan besar sekali melewati hutan ini, Paman?"

   "Apakah ada hewan yang tingginya melebihi pohon-pohon itu, Wuryan? Kalau hewan kecil tidak mungkin merusakkan pepohonan hanya karena melewatinya saja."

 

    Tiba-tiba sebuah desiran kuat menyesakkan dada mereka, keduanya memegangi dadanya kuat-kuat, sambil mengerahkan tenaga dalamnya kedua orang itu berusaha bertahan supaya tidak jatuh pingsan karena sakit yang menyerang dadanya. Dan bersamaan dengan serangan di dadanya itu terdengar jeritan hewan yang kesakitan luar biasa, jeritannya memantul-mantul ke lereng-lereng lembah di tengah hutan itu.

 

     "Rupanya jeritan itu yang menyakitkan dada kita Wuryan."

     "Iya Paman, itu suara macan yang kesakitan."

     "Ya, suara macan. Tapi kalau macan biasa sekeras apapun macan itu menjerit juga tak akan menyesakkan dada, Wuryan."

     "Sebaiknya kita turuni lembah ini, supaya kita bisa lihat kejadian yang sebenarnya, Paman."

     "Apakah kamu berani, Wuryan?"

     'Tiba-tiba keingintahuan saya mengalahkan ketakutan saya, Paman."

     "Baiklah, tapi tetap waspada dan hati-hati Wuryan."

     "Ya, kita harus hati-hati Paman."

 

 

(BERSAMBUNG Ke No. 15. Lembah Pembantaian)

BACK