CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 12. Debar-Debar Ini

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

    

     Luapan rasa itu sekarang terbelah. Jatuawitri menjadi benci pada dirinya sendiri, ini perasaan yang gila. Mana mungkin sebuah siluet indah yang bernama asmara bisa dibagi. Dan perihnya adalah bahwa Jatuawitri tak mau membagi tetapi seakan dipaksa membagi, antara siang dan malam. Siang adalah milik Raden Bandung sementara malam dikuasai Rahaden Kocapa.

 

     Kelimbungan Jatuawitri sebenarnya mulai dicium oleh teman-teman sebayanya. Walau mereka juga tidak tahu apa yang terjadi pada gadis cucu Buyut Bashutara itu.

 

     "Kamu lihat si Ajeng Jatu, aneh ya?" kata salah satu temannya membicarakannya dengan teman Jatuawitri yang lain.

  

    "Iya, pandangannya sering kosong, apalagi kalau petang hari, seperti kemarin saat kita belajar tembang di pendoponya, asmarandana saja yang dia tembangkan, bukankah jadwal kita belajar sinom?"

   

    "Ihh..aku takut Ajeng Jatu kena gendamwuyung, dulu si Salastari juga begitu logatnya, sering kosong pandangannya dan aneh tingkah lakunya, ehh..ternyata digendamwuyung oleh perjaka dusun sebelah yang ditolak cintanya."

 

      "Ah, kamu. Jangan nakut-nakuti begitu. Aku jadi ngeri, siapa tahu kita nanti juga kena."

 

     "Siapa yang mau mengirimkan gendamwuyung pada gadis macam kamu? Kalau toh ada yang melakukannya, gendamwuyungnya nggak akan masuk ke pikiranmu, sudah takut duluan, karena rupa kamu lebih jelek dari si gendamwuyung...he..he...he..., jadi si gendamwuyung ngeri melihat wajah kamu he..he..he..!" canda anak-anak perempuan sebaya Jatuawitri itu. Mereka menganggap bahwa apa yang menimpa Jatuawitri tak seberat dengan yang sebenarnya terjadi.

 

     Menjelang malam yang hanya tinggal sepertiganya akhirnya Jatuawitri tertidur, bukan  karena kantuk tetapi karena lelah dalam bebannya yang menekan. Di pendopo masih berjaga beberapa orang laki-laki, sementara para wanita tampak bertiduran di atas tikar di bagian limasan, emper dalam pendopo. Di gandok wetan masih bercakap Buyut Bashutara, Ki Jagabaya, Buyut Antawilaga, Buyut Dhuhkitajaya dan beberapa perangkat dusun yang lain.

 

     "Sampai saat ini belum ada kabar pameling dari Sangate. Apakah dia mampu menyelesaikan tugas itu Kakang Bashutara?" kata Buyut Antawilaga.

 

     "Semoga tak separah yang kita duga. Kalau Sangate saya suruh kesana karena itu tugasnya, dialah kepala dusun Kedungdang." jawab Buyut Bashutara.

 

     "Ya benar Adhi Bashutara, biarlah Sangate menunjukkan pada warganya bahwa dia mampu, selama ini warga desa Kedungdang kurang begitu  mempercayainya, tidak seperti ketika putra Adhi Buyut Bashutara, Panuluh, yang menjadi kepala dusun,  warga begitu patuh karena Panuluh mampu memimpin dan memberi tauladan bagi warganya. Sayang putra Adhi Bashutara itu meningal begitu cepat," kata Buyut Dhuhkitajaya.

 

    "Sangate memang masih belajar, suatu saat dia juga akan mampu memimpin," sambung Buyut Bashutara.

 

    "Kalau sampai pagi tak ada kabar dari Ki Sangate, ijinkanlah saya menyusulnya Buyut!" pinta Ki Jagabaya.

 

    "Sabarlah dulu. Apakah burung-burung kutilang masih terbang menjauh atau sudah berani balik arah kembali ke Sabawana. Dan cerecaknya mengejar pasangannya atau cerecak gupyuh karena takut. Tunggu sampai matari sepenggalah," nasehat Buyut Antawilaga.

 

    "Sebaiknya kita kembali ke rumah masing-masing, kita lihat perkembangannya besok pagi," kata Buyut Antawilaga.

 

     "Ya, sebaiknya begitu," sahut Buyut Dhuhkitajaya.

 

Kemudian mereka yang berkumpul itu bubaran, kembali ke rumah masing-masing. Hanya Ki Jagabaya yang melanjutkan tugasnya, keliling desa untuk memeriksa keamanan.

 

     Rumah Buyut Antawilaga dan Buyut Dhukitajaya berdekatan, maka keduanya berjalan bersama menuju rumahnya.

 

     "Rasanya Raden Bandung sudah hampir 40 hari menghilang dari dusun ini, kemana kira-kira pemuda itu pergi Adhi Antawilaga?" tanya Buyut Dhuhkitajaya sambil berjalan menerobos  malam.

 

     "Tak ada yang tahu, Kakang. Pemuda itu sangat kuat kemauannya," jawab Buyut Antawilaga.

 

     "Itulah yang menjadi kelemahan utamanya. Terlalu kuat. Sedang sebenarnya kuat saja sudah keliru, apalagi terlalu kuat," kata Buyut Dhuhkitajaya hampir berbisik.

 

     "Itu watak kasta ksatria, Kakang. Memang harus begitu jika menempati kedudukannya di dalam kasta ksatria. Kuat, tangguh, tahan uji, membela yang lemah dan memenangkan kebenaran. Kasta ini masih dikuasai oleh kehendak baiknya, Kakang."

 

     "Ya, Adhi. Mereka memang belum sampai dalam taraf  hakekating urip. Hakekat kehidupan yang sebenarnya, kasta itu masih terjebak dalam garis tegas hitam dan putih, benar salah, baik dan buruk."

 

     "Benar Kakang, masih terlalu muda bagi Raden Bandung untuk mengetahui itu semua. Suatu saatnya nanti, jika Sang Hyang Maha Kuasa menghendaki, dibukakan pintu bagi Raden Bandung untuk mengerti."

 

    "Semoga begitu Adhi."

 

Pembicaraan kedua orang  buyut itu hanyut dalam gelap malam. Semakin banyak hitungan langkahnya tak terasa berdegup pintu kalbunya membuka menutup membunyikan sesebutan, "Yang Maha Agung....Yang Maha Agung....Yang Maha Agung....," terus menerus dalam tarikan nafasnya,  menuntunnya mendekati rumah-rumah mereka. Dalam damainya persatuan jagad kecil dengan jagad besarnya.

 

*****

 

(BERSAMBUNG Ke No. 13. Malam Di Sudut Lain )

BACK