Yang Perlu Direngkuh Kembali

oleh: Prof. Sjafri Sairin, M.A.,Ph.D
(Artikel ini merupakan pengantar dari buku "Rasa dibawa naik, periksa dibawa turun dari otak; beliau adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya U.G.M)

Lebih dari lima puluh tahun sudah bangsa Indonesia merdeka.
Sebuah capaian yang luar biasa setelah bangsa ini berjuang ratusan tahun untuk melepaskan diri dari cengkraman kuku penjajah Belanda.
Telah ribuan pahlawan dan syuhada mengorbankan dirinya guna tercapai cita-cita kemerdekaan itu.
Perjuangan panjang dan melelahkan itu akhirnya tercapai juga menjadi suatu kenyataan pada tahun 1945.

Berbagai kebijakan dan strategi kemudian dirancang dan dilaksanakan untuk mengisi kemerdekaan yang telah direbut dari kaum penjajah itu.

Sebagian berhasil diwujudkan yang tercermin dan meningkatnya taraf pendidikan penduduk.
Hampir di setiap sudut tanah air telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan baik yang didirikan oleh pemerintah maupun swasta.
Di semua propinsi sudah pula berdiri sejumlah perguruan tinggi, sebuah tingkat pendidikan yang sangat mewah bagi kaum pribumi pada masa penjajah.

Seiring dengan itu tingkat kesehatan penduduk juga berhasil diperbaiki.
Dengan bertambahnya jumlah kaum profesional di bidang kesehatan dan semakin berkembangnya sarana kesehatan, menjadikan derajat kesehatan penduduk Indonesia semakin baik.

Ini artinya bahwa tingkat kesejahteraan penduduk Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan waktu masa penjajahan.

Begitu pula tingkat kehidupan ekonomi rakyat Indonesia cukup meningkat pada masa pemerintahan orde baru terutama jika diukur dari meningkatnya income per capita penduduk.

Memang muncul berbagai kritikan terhadap indikator peningkatan ekonomi bangsa ini, terutama karena ditengarai bahwa peningkatan ekonomi itu lebih banyak dinikmati oleh sekelompok kecil manusia Indonesia yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, sedangkan mayoritas penduduk masih terpuruk dalam pelukan kemiskinan (Booth dan McCawley, 1981).

Menjelang jatuhnya rezim orde baru, menurut perhitungan Biro Pusat Statistik sebesar 15 persen dari penduduk Indonesia masih berada dalam kemiskinan.

Sebagian pengamat kurang sepakat dengan perhitungan itu dan memandang jumlah penduduk miskin jauh lebih besar dari perhitungan tersebut.

Krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 telah membawa kejatuhan penguasa Orde Baru, dan digantikan oleh B. J. Habibie.
Dalam masa kekuasaan presiden RI ke 3 ini berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki kehidupan rakyat.

Sebagian berhasil terutama menurunkan nilai tukar rupiah atas Dollar Amerika, dari sekitar Rp. 14.000,- per Dollar Amerika menjadi sekitar Rp. 7.000,-

Periode kepemimpinan B. J. Habibie berlangsung tidak lama, lalu digantikan pula Abdurrahman Wahid, seorang kiyai dan budayawan melalui proses Pemilihan Umum yang relatif demokratis.

Sayang prestasi yang telah dicapai oleh B. J Habibie dalam mengatasi krisis ekonomi tidak mampu dipertahankan presiden yang populer dengan panggilan Gus Dur ini.
Nilai rupiah atas dollar Amerika pelan-pelan menaik dan berada di atas Rp. 10.000,-

Catatan dari DATUK SODA INSTUTION:
Prof. DR. B. J. Habibie adalah bench mark, atau orang yang perlu diteladani kemampuan paresonya.
Terutama kemampuan penguasaan "cupak buatan."
Dia diakui oleh dunia internasional tentang teori aerodinamicnya.

Tapi karena masyarakat Indonesia lebih mendahukan "raso" maka dia didongkel.
Rakyat "merasa" kyai Abdurrahman akan mampu memimpin negara.
Sebagian masyarakat Indonesia masih buta pada angka-angka atau "nan Benar" atau kitabullah yang tak tetulis ini.

"Di tampek urang buto, si ..........nan cocok jadi rajo."
Titik-titik sengaja dibubuhkan demikian; kemanakan agar melengkapi sendiri kalimatnya.

Sangat mengejutkan bahwa beriringan dengan bertukarnya rezim yang memimpin Indonesia, wajah bangsa turut pula mengalami berbagai perubahan.

Bangsa yang pernah dikenal dengan bangsa yang ramah, yang menekankan hidup bernuansa spiritualistik dan mengajarkan hidup rukun dan sederhana, tiba-tiba telah berubah menjadi manusia yang berwajah lain sama sekali: egoistik, tidak toleran, suka memaksakan kehendak, mabuk kekuasaan, mau menang sendiri dan materialistik.
Solidaritas sosial yang dulunya menjadi landasan kehidupan masyarakat menjadi semakin menipis.

Saling percaya yang menjadi perekat kehidupan masyarakat berubah menjadi saling curiga.
Masyarakat yang masih sering mengaku dan mengagung-agungkan budaya bangsa yang adi luhung, tiba-tiba menjadi kumpulan manusia yang berperilaku bertentangan dengan nilai-nilai itu.

Nilai-nilai agamapun tidak lagi menjadi acuan perilaku.

Berbagai peristiwa yang bernuansa pelecehan terhadap nilai-nilai tersebut muncul ke permukaan tanpa ada beban sama sekali.

Tindakan korupsi, kekerasan sosial dan berbagai perilaku yang jauh dari beradab berlangsung secara terbuka tanpa ada perasaan bersalah dan dipertontonkan begitu transparan dalam kehidupan bangsa.

Kemana perginya nilai-nilai luhur dari ajaran nenek moyang dan agama itu raibnya ?.

Mengapa mereka yang melakukan pelecehan nilai-nilai itu sendiri adalah mereka yang berasal dari kalangan yang memuja keunggulan nilai-nilai luhur dan nilai-nilai agama itu sendiri ?.

Memang tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu karena begitu banyaknya dimensi yang turut menganyam perilaku itu.

Dari prespektif kebudayaan, pelecehan terhadap nilai-nilai luhur tersebut sangat erat hubungannya dengan perubahan sosial yang terjadi di tanah air.

Perubahan telah membawa beban kultural yang begitu berat pada bahu masyarakat Indonesia, yang muncul sebagai akibat dari kondisi transisional yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, beriringan dengan semakin maraknya budaya konsumtif di tengah kehidupan masyarakat.

Tatkala pemerintahan Orde Baru berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa, beban kultural itu langsung memberati bahu masyarakat Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup mencengangkan pada peroide itu telah membuat kantong pemerintah menjadi membumbung.

Dana yang menumpuk itu selain digunakan untuk membayar utang pada negara-negara donor, juga dimanfaatkan untuk membangun dan mengembangkan berbagai sarana masyarakat.

Berbagai lowongan pekerjaan dibuka secara luas dan sejumlah besar kaum terdidik yang lahir sekitar tahun-tahun kemerdekaan mulai masuk ke dalam birokrasi pemerintahan, diperkirakan umumnya mereka berasal dari kalangan wong cilik.

Pada saat inilah terjadinya mobilitas sosial vertikal kaum terdidik secara besar-besaran.
Seiring dengan itu berbagai jabatan yang dipandang strategis diisi pula oleh sejumlah ABRI yang dikaryakan.

Berbagai proyek yang berkaitan dengan pembangunan mulai pula dikembangkan. Hal ini mendorong pula berkembangnya sektor swasta.

Kata “proyek” menjadi sebuah kata sangat bermakna ketika itu, karena dikaitkan dengan simbol-simbol keberhasilan materi.
Di wilayah kerja yang diperkirakan banyak mendapatkan proyek lalu disebut sebagai tempat “basah”, sedangkan yang kurang dianggap tempat “kering”.

Artinya cukup jelas bahwa mereka yang terlibat dalam proyek di tempat-tempat basah itu akan mendapat keuntungan besar, sedangkan yang tidak tentu terpaksa menerima nasib saja.

Disinilah kemudian awal berkembangnya jaringan-jaringan pekerjaan yang relatif tertutup dan terorganisir.
Jabatan di tempat-tempat basah selalu menjadi rebutan.

Dalam berbagai kasus tidak jarang orang yang berusaha merebut jabatan itu tidak ragu-ragu menyediakan dana yang cukup besar sebagai uang balas jasa kepada pejabat yang berwenang memutuskan.

Konsep penguasa tunggal yang diperkenalkan pemerintah Orde Baru menyebabkan sistem pengangkatan pejabat pada tempat-tempat basah itu berjalan dengan mulus, tanpa halangan yang berarti.

Politik otoriter yang dikembangkan pemerintah lebih mempermudah urusan-urusan itu.
Keadaan seperti itu sudah menjadi pengetahuan umum dan ini pulalah yang memacu berkembangnya praktek KKN yang merugikan rakyat banyak itu.

Bobot beban kultural menjadi semakin memberat dengan semakin derasnya arus globalisasi dalam kehidupan masyarakat.
Kebijakan pembangunan yang relatif terbuka telah menyediakan peluang baru bagi masuknya berbagai produk industri dari negara-negara maju ke tengah denyut jantung kehidupan masyarakat.

Walaupun sebagian besar produk itu baru dapat dikonsumsi oleh masyarakat perkotaan, tetapi corak kehidupan baru telah mengalir ke relung-relung kehidupan masyarakat pedesaan.

Kemajuan teknologi komunikasi yang menyertai penetrasi produk industri asing itu telah menjadi sarana penting bagi pengkayaan gagasan-gagasan masyarakat.

Tanpa dirasakan masyarakat Indonesia telah menjadi objek pasar bagi produk-produk negara asing.

Telah menjadi semacam bentuk penjajahan baru dari negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang melalui pengembangan pasar (Said, 1993) dan akhirnya menghasilkan sebuah pola budaya baru yang disebut dengan consumer culture (Featherstone, 1991).

Luar negeri minded yang telah lama berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia, menjadi pendorong yang kuat dari terbentuknya pola budaya konsumer itu.

Memang, begitu arus produk massa industri mulai dikonsumsi masyarakat begitu pula masyarakat itu terperangkap pada budaya itu ( Bodley, 1975), yang kemudian berkembang kepada wujud pola kehidupan konsumerisme adalah mengkonsumsi sesuatu produk bukan dalam rangka kegunaan (utility), tetapi lebih berat pada pertimbangan nilai (value) yang melekat pada produk itu.

Sesuatu produk bukan lagi dilihat dari fungsi substansialnya, tetapi lebih ditekankan pada makna yang melekat pada produk tersebut.
Di sini produk itu telah berubah menjadi sesuatu yang memiliki makna simbolik.

Dalam mengkonsumsi suatu produk orang lebih memetingkan image yang melekat pada produk itu daripada kegunaannya.

Produk itu lebih dilihat dari hubungannya dengan citra, kemewahan dan kenikmatan baru, sehingga semakin langka dan terbatas suatu produk, semakin tinggi pula makna simbolik yang melekat pada benda itu.

Dengan bantuan teknologi informasi yang semakin canggih, produk industri yang umumnya datang dari negara-negara maju, terutama Amerika, mengalir deras ke tengah kehidupan masyarakat.

Selain memiliki nilai guna (utility) sesuai dengan fungsi yang telah ditentukan oleh produsen, masyarakat sendiri membangun makna (meaning) simbolik baru terhadap produk itu, terutama simbol-simbol yang berkaitan dengan citra kemewahan dan gengsi.

Akibat dari kecendrungan konsumerisme akan produk-produk impor itu beban kultural yang harus dipikul masyarakat semakin berat, apalagi umumnya masyarakat tidak lagi melihat dirinya sekedar anggota dari suatu kelompok primordial atau warga negara dari sebuah negara yang namanya Indonesia, tetapi telah membayangkan kehadiran sebagai warga dunia.

Mengapa citra kemewahan dan gengsi merupakan ciri yang menonjol dari fenomena konsumerisme ?.

Mary Douglas dan Isherwood mengatakan bahwa hal itu sangat berkaitan dengan kebutuhan manusia yang mengkonsumsi produk industri untuk melakukan display atau pamer pada lingkungan sekitarnya.

Kebutuhan “pamer” itu sendiri pada dasarnya berkaitan erat dengan tuntutan kehidupan masyarakat industri itu sendiri, yang memang memerlukan semacam persaingan dalam kehidupannya (Douglas dan Isherwood, 1979).

Oleh karena itu tidak perlu diherankan apabila dalam mengisi kebutuhan primer itu, orang dipaksa untuk memilih produk yang dapat dipertontonkan kepada umum.
Produk yang tidak pantas untuk dipamerkan tidak segera dikonsumsi.

Meskipun kecendrungan kuat untuk mengkonsumsi produk yang berasal dari negara industri maju semakin kuat dari waktu ke waktu, tetapi produk lokal yang mempunyai makna simbolik yang telah begitu melekat dalam kehidupan masyarakat tidak begitu saja dibuang jauh.
Produk itu tetap saja dipertahankan walaupun tidak secara utuh.

Berbagai produk impor maupun lokal yang dapat memberikan citra mewah dan klasik umumnya diambil sepotong-sepotong dan itupun diambil bagian permukaannya saja.

Kedua simbol yang berasal dari dua dunia yang berbeda itu kemudian dipadukan menjadi suatu pola yang serba tanggung dan tidak jelas rujukannya.

Aspek imitatif menjadi menguat, baik dengan membangkitkan kembali nilai-nilai lokal maupun memungutnya dari simbol-simbol masyarakat maju yang dijadikan acuan.

Terjadi perpaduan dua dunia yang berbeda itu dalam corak yang khas sebagai hasil konstruksi yang dilakukan oleh masyarakat sendiri.

Ambiguiti dan kegalauan yang mengental dalam pola kehidupan seperti itu seakan memaksa masyarakat untuk mengadopsi kedua sistem budaya itu secara bersamaan, meskipun akhirnya yang diambil lebih banyak unsur-unsur budaya material (cultural artefacts), bukan nilai yang ada di balik benda-benda itu.

Situasi seperti ini disebut oleh Appadurai (1991) sebagai imagined world dimana orang membayangkan berbagai pola dan model kehidupan yang sedang berlangsung di dunia, baik yang berasal dari kelompok primordialnya, bangsanya, ataupun dunia yang lebih luas dari itu.

Dengan keinginan kuat untuk merengkuh segala model kehidupan itu membuat beban kultural semakin memberat untuk dipikul, sementara itu menanggulanginya tidak selalu mudah, terutama karena membutuhkan dana yang cukup besar.

Hidup dalam masyarakat yang terjerat dalam pola hidup konsumerisme memang sering terasa membebani kehidupan.
Beban kultural yang memberati seakan tidak mungkin untuk dielakkan begitu saja.

Padahal untuk memenuhi tuntutan kehidupan konsumerisme itu dibutuhkan dana yang tidak sedikit.

Semisal saja tingkat penghasilan cukup memadai untuk memenuhi tuntutan beban kultural itu, tentu tidak menjadi persoalan benar.
Akan tetapi, jika income begitu terbatas, sedangkan godaan untuk memenuhi tuntutan itu tidak dapat diredam, maka sudah dapat dibayangkan apa yang dilakukan orang.

Pada saat itulah mental nrabas yang menjadi salah satu ciri masyarakat Indonesia itu mulai memainkan peranannya.

Pada awal pemerintahan Orde Baru Koentjaraningrat telah mengingatkan tentang kelemahan mentalitas bangsa Indonesia yang punya potensi untuk merintangi pembangunan, yaitu mentalitas nrabas (Koentjaraningrat, 1969).

Bapak ahli Antropologi Indonesia itu mengatakan bahwa mentalitas seperti ini tidak cocok untuk menopang pembangunan, bahkan ia dapat menjadi kendala dan rintangan bagi upaya pembangunan Indonesia itu sendiri.

Hal ini terutama karena, mereka yang mempunyai mentalitas nrabas itu selalu menghindari kerja keras, disiplin tinggi dan rasa tanggung jawab.

Mereka lebih suka mencari jalan pintas walaupun harus melakukannya dengan cara-cara melanggar etika dan aturan, yang pada akhirnya menyeret orang kepada perilaku KKN.

Mentalitas nrabas menyebabkan hilangnya rasa malu (shameless) perasaan “tidak enak”, ewuh pekewuh, bahkan nilai-nilai instrumental seperti dosa, kualat dan haram dapat lenyap dari perbendaharaan hidupnya.

Orang lebih mementingkan bagaimana dapat dengan segera melepaskan dahaga konsumerisme yang telah bersarang di hatinya itu, walaupun harus merugikan banyak orang dengan melalui praktek KKN.

Seringkali hasil KKN tidak cukup untuk memenuhi beban kultural tersebut.

Untuk menambah penghasilan yang cukup besar, tidak jarang mereka melakukan berbagai upaya yang sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan tegel (heartless) (Sairin, 1995), seperti memotong honorarium bawahan, memotong dana proyek, memanipulasi dana untuk orang miskin seperti Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA), dana Inpres Desa Tertinggal (IDT), Jaringan Pengaman Sosial (JPS), meminta sejumlah uang kepada pengungsi yang terancam nyawanya pada peristiwa etnik Ambon dan Sampit, dan lain sebagainya.

Praktek KKN telah menyebabkan manisnya kue pembangunan hasil adonan pemerintahan Orde Baru hanya sempat dicicipi oleh sekelompok kecil orang saja, sedangkan mayoritas rakyat relatif kurang mendapat kesempatan.

Hampir di semua tingkat birokrasi pemerintahan praktek KKN berlangsung tanpa gangguan yang berarti.

Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, pakar ekonomi senior Indonesia, menyebutkan bahwa sekitar 30 persen dari anggaran pembangunan mengalami kebocoran.

Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia pada Kabinet Pembangunan VII, bahkan menegaskan bahwa sekitar 50 persen dari pinjaman luar negeri yang sampai ke Indonesia masuk ke kantong pejabat.

Padahal sebagian besar utang-utang luar negeri itu dibuat karena kebutuhan yang mendesak, tetapi karena “ada yang diajak patungan oleh perusahaan asing, untuk mendapatkan pinjaman, lalu uangnya dibagi-bagi” (Gamma, 18 April 1999 hal. 59).

Akibat dari semua itu, doperkirakan 70 persen dari kekuatan ekonomi nasional berada di tangan 4 persen saja penduduk Indonesia, bahkan menjelang ambruknya pemerintahan Orde Baru kelompok ini diperkirakan telah mendominasi 80 persen ekonomi nasional (Fajar et al., 1999).

Inilah sebagian dari wajah bangsa Indonesia sekarang ini, wajah bangsa yang tampaknya telah terseret pada lebih materialistik dan mengedapkan rasio dengan meninggalkan potensi rasa yang dimiliki manusia.

Rasionalitas yang berlebihan dan paham materialistik sudah begitu kuat menghujam dalam kehidupan manusia Indonesia baru.

Pertimbangan rasa sudah dibuang jauh-jauh.
Hati nurani yang merupakan instrument dari rasa seolah tidak berfungsi dalam kehidupan manusia Indonesia.

Kekejaman, pelecehan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai moral dan tata nilai masyarakat berlangsung secara transparan dan tanpa malu-malu, bahkan terkesan semacam ada kebanggaan.
Orang seolah hanya mendasarkan hidupnya pada pertimbangan akal atau rasio semata.

Dalam bahasa Minangkabau padanan dari kata rasio itu adalah pareso (periksa) sedangkan rasa yang berkaitan dengan nurani padanannya adalah raso.

Kebudayaan Minangkabau mengajarkan agar manusia dalam menjalani kehidupannya untuk memadukan dengan seimbang antara pareso dan raso.

Diyakini bahwa hanya dengan perpaduan kedua konsep inilah manusia dapat menjalani kehidupannya yang dinamis itu akan segaris dengan yang telah ditentukan oleh Allah SWT.

Akan tetapi landasan kehidupan ini sudah tidak lagi dihiraukan banyak orang, termasuk juga orang Minagkabau.

Inilah yang dicoba diingatkan kembali oleh penulis buku yang berada di tangan pembaca.
Penulis adalah seorang dokter gigi yang merasa terpanggil untuk menggali nilai-nilai yang nyaris hilang dan dilupakan banyak orang itu.

Sebagai seorang ahli kesehatan, melalui tulisan ini penulis mencoba memadukan ilmu pengetahuan akademis yang dimilikinya dalam menginterpretasikan nilai-nilai yang berakar dari ajaran adat Minangkabau, daerah asal penulis sendiri.

Kandungan buku ini menjadi penting sebagai bahan kajian dan renungan, tidak hanya bagi orang Minangkabau saja, tetapi juga bagi masyarakat luas.

Ini adalah upaya yang dilakukan penulis untuk merengkuh kembali nilai yang nyaris tidak lagi menjadi rujukan pokok bagi sikap dan perilaku manusia Indonesia saat ini.

Rujukan

Appadurai, Arjun, 1991. “Disjuncture and Difference in Global Cultural Economy”, dalam Mike Featherstone (ed) Global Culture: Nationalism, Globalization and Modernity. London: Sage Publication, hal. 215-310

Bodley H. John, 1975. Victims of Progress. Menlo Park, California: Cummings Publishing Company

Booth, Anne and Peter McCawley, 1981. The Indonesian Economy During Soeharto Era. Kuala Lumpur: Oxford University Press

Douglas, Mary dan Isherwood, Baron, 1979. The World of Goods. London and New York: Basic Books

Fajar, Malik et. al., 1999. Flatform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Sekretariat Wakil Presiden RI

Featherstone, Mike, 1991. Consumer Culture and Posmodernism. London: Sage Publications

Gamma, 18 April 1999, “Wawancara: Pemborosan Memang Terjadi”

Koentjaraningrat, 1969. Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Bhratara

Said, Edward E., 1993. Cultural and Imperialism. New York: Alfred A. Knoop

Sairin, Sjafri, 1995. “Industrialization, Consumer Culture and The Heartless Society”. Makalah untuk Seminar Expanding Market and Culture di Labuan, Sabah, Malaysia, 17-19 Oktober 1995, diselenggarakan oleh Goethe Institute, Jakarta

Turner, Victor, 1976. Ritual Process: Structure and Anti Structure. Ithaca: Cornell University Press

Yogyakarta, 28 Maret 2001

Kembali ke Halaman Utama