Tanah dan Airnya negari Tanjung-Sungayang ini pernah ditumpahi darah nenek moyang kita dalam beberapa periode peristiwa besar yang terjadi:

1. PERTIKAIAN ANTARA KAUM PIDARI DENGAN KAUM ADAT, YANG DITUNGGANGI PENJAJAH BELANDA

Gambar serta teks ini dicopy dan dikutip dari buku: Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang, karangan Rusli Amran; penerbit Sinar Harapan 1981: Laporan pandangan mata, halaman 415.

Pada tanggal 12 April 1823 di negari Tanjung, yang sebelumnya telah dibakar, berkumpul 600 tentara Belanda dipimpin 28 perwira termasuk satuan marinir, serta pribumi yang membantu Belanda sebanyak lk.12.000 orang.
Mereka memiliki senjata kira-kira 2500 senapan, 8 meriam.
Tujuannya untuk menaklukkan kaum Pidari yang bertahan di Puncak Marapalam (Pato).

Kini nagari Tanjung berpenduduk lk 2000 orang; mungkin pada kejadian tersebut Tanjung hanya berpenduduk beberapa ratus saja!

Inilah catatan dari medan perang
.....sewaktu mereka mundur, salah seorang dubalang mereka dengan berpakaian merah seluruhnya mendekati saya dengan klewang terhunus.
Karena saya yakin bisa menang maka sayapun menerima tantangannya.
Saya terlambat melihat bahwa di belakangnya ada seorang Pidari dengan senjata senapan.......... mereka menyerang dengan teriakan-teriakan "kafir Belanda anjing".
Pada tanggal 16 April malam diadakan rapat di Tanjung dimana hadir juga residen Du Puy.

Hendriks menasehatkan agar musuh dari Sumatra itu jangan sekali-kali dianggap enteng.
Kadang-kadang, dalam keadaan paling sulit sekalipun mereka bisa memperlihatkan tindakan-tindakan berani luar biasa (daden van ongelooflijken moed).

2. PENDUDUKAN JEPANG,
yang mengakibatkan penderitaan luar biasa pada anak-negari, mirip penderitaan bahaya kelaparan yang terjadi di benua Afrika yang dilanda perang saat ini dan digambarkan dalam pantun sbb:

It, ni, san, shi, gho, rok; Berbaju goni, berkain tarok (tarok, nama pohon yang kulitnya dapat dibuat menjadi bahan penutup aurat seadanya).

3. PERANG KEMERDEKAAN 1945-1950.
Negari Tanjung merupakan basis perjuangan gerilyawan Republik Indonesia. Pada suatu malam yang sunyi, jembatan di sungai batang Selo dihancurkan; dan gema gelegar ledakannya sampai kini masih tersimpan dengan baik di dalam memori otak penulis, yang ketika peristiwa itu terjadi berusia lk. 4 th.

Di lain peristiwa rumah gadang Dt. Soda, tempat dapur umum tentara (pusat persiapan makanan), suatu ketika didatangi oleh beberapa tentara KNIL putih dan KNIL hitam (suku Ambon).
Mereka menyiramkan minyak ke lantai papan, sambil membentak-bentak.
Penulis mengintip semua kejadian ini dari celah-celah lantai.
Di bawah lantai tersebut kami bersembunyi, sambil didekap ibu.
Rumah ini tak jadi dibakar, sedangkan rumah lainnya di kampung sebelahnya hangus dibakar.
Beberapa saat kemudian barulah diketahui bahwa "Si lupito", seorang anggota tim kesehatan KNIL ini, pernah bersahabat dengan ibunda, yang dulunya bidan di RS Batavia centrum.

Si lupito, engkau yang menurut kabarnya dari suku Jawa, mungkin namanya Lupito, telah ikut menyelamatkan salah satu martabat kaum kami, yaitu kaum Datuk Paduko Rajo Dindo, rumah gadangnya.
Semoga Allah yang maha esa mengampuni dosamu, dan memberi pahala karena telah berusaha menolong kaum kami.

4. PERGOLAKAN DAERAH 1958-1960
Pada mulanya perjuangan PRRI ini didukung oleh seluruh komponen masyarakat Minangkabau, alim-ulama, cerdik-pandai, penghulu-adat, bunda-kandung/kaum perempuan, kecuali kaum komunis.
Sekali lagi negari Tanjung menjadi basis pertahanan tentara PRRI dari batalyon Harimau Minang dengan komandannya Mayor Badaruddin.
Kompi Beringin Sati dibawah pimpinan Bung Muhir Aloha dan Malin Marajo membuat lubang-lubang pertahanan di sepanjang Bukit Guguak Panjang dan Tanah Sirah.

Rumah Gadang Datuk Soda kembali dijadikan markas Koterketj. (Komando Teritorial Ketjamatan) sektor timur tentara PRRI.

Suatu pagi, pada hari Jum'at, hari pekan di negari Tanjung, kira-kira pukul 7 pagi, mungkin tahun 1958 atau tahun 1959, ketika penulis sedang makan pagi,dua pesawat Mustang AURI tiba-tiba menjatuhkan bom serta tembakan senapan mitraliur 12,7 dengan sasaran rumah gadang.

Pesawat jenis Mustang pada saat itu belum memiliki alat navigasi canggih seperti sekarang ini, terbang dari Padang yang berjarak lk. 120 km, menelusuri lereng-lereng rimba raya Bukit Barisan, khusus untuk menghancurkan rumah gadang.
Bom tersebut sedikit meleset sehingga mengenai rumah di depannya, dan menimbulkan kerusakan besar.

Sepanjang dua tahun pergolakan, negari Tanjung sangat menderita. Secara periodik dan berulang-ulang, kampung Melayu-Mandahiling dihujani tembakan kanon.
Penduduk mengungsi ke bukit-bukit di sekitar.
Kaum komunis mengambil kesempatan bekerjasama dengan pemerintahan rezim Soekarno meneror masyarakat.

Segala macam kejadian ini telah menimbulkan akibat yang teramat besar dalam peri kehidupan masyarakat petani tradisional tersebut.
Rumah-rumah adat pada runtuh, korban jiwa berjatuhan; lebih-lebih mental-perasaan rakyat yang kalah dalam pertempuran melawan pusat.
Rakyat merasa rendah diri bersamaan menguatnya pengaruh kaum Komunis sampai dengan peristiwa G30S/PKI.
Negari, yang memiliki suku-suku, sebagai basis kehidupan bermasyarakat di Tanjung dihilangkan pula peranannya dalam periode pemerintahan orde baru.

Akibat dari peristiwa tersebut di atas banyak anak-kemenakan dari negari Tanjung Sungayang yang merantau ke luar tanah leluhur, atau ke luar tanah dan air milik moyang mereka, bak kata pantun H.Y. Dt. Paduko St. Kayo:

Kalau tidak di rumput sarut
Tidaklah pandan tumbuh berderai
Kalau tidak karena sulit hidup
Tidaklah kita bercerai berai

Kembali ke Halaman Utama