BUDAYA MINANGKABAU DI ERA GLOBALISASI

Oleh: Dr. Mochtar Naim
(Doktor Sosiologi, anggota BP MPR RI)

Berbeda dengan banyak masyarakat tradisional di Nusantara ini, masyarakat dan kebudayaan Minangkabau memiliki filosofi dan pandangan hidup (weltanschauung) yang sesungguhnya mengandung nilai-nilai global yang langgeng “ tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan“.

Melalui petatah-petitih serta pantun–pribahasa itu, orang akan menemukan sejumlah prinsip dasar kehidupan yang padanannya hanya ditemukan dalam kebudayaan Yunani lama dan dalam khazanah kebudayaaan Islam.

Kebetulan ketiganya - adat Minangkabau, kebudayan Barat yang Yunani (melalui pengaruh modernisme dari Barat), dan Islam – dalam prosesnya telah terjalin dalam satu jalinan ajaran yang harmonis dalam kebudayaan Minangkabau.

Dengan pendekatan dialektik tesis-antitesis dan sintesisnya, masyarakat dan kebudayaan Minangkabau telah memadu ketiga unsur budaya itu, seperti yang dipusakakan oleh masyarakat di sana saat ini.

Sejumlah ciri budaya yang lekat dengan nama Minangkabau adalah: demokratis, terbuka, resiprokal (timbal balik), egaliter, sentrifugal, kompetitif, kooperatif, dan mengakomodasi konflik.
Setelah itu meletakkan “nan Bana“ (yang benar) sebagai raja dan hukum tertinggi.

Raja yang sesungguhnya dalam kebudayaan Minangkabau bukanlah orang, melainkan “hukum yang benar itu“ – suatu hukum yang di atasnya tak lain adalah Kitabullah (Alquran).

Ini jika dikaitkan dengan perlambang utama kebudayaan Minangkabau yang telah Islami:

“ Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah“.

Seperti diungkapkan, dalam tatanan masyarakat dan kebudayaan Minangkabau dikatakan:

Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka panghulu
Panghulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo ka nan bana
Nan bana badiri sandirinyo

Tatanan dan struktur sosialnya bisa berubah dari masa ke masa, tapi prinsipnya tetap dan langgeng.
Kemenakan bisa berarti “warga negara“ dalam artian sekarang, tapi bukan “kawula “.

Dia adalah manusia yang merdeka dan bebas menentukan banyak pilihan terbaik untuk dirinya sendiri. Tapi dia beraja ke penghulu, yang berarti pemimpinnya –yang secara kelembagaan bisa pula berjenjang naik bertangga turun dari atas sampai ke bawah.

Hanya saja, pemimpin ini mesti beraja kepada mufakat, dan di atas semua itu beraja kepada yang benar.

Yang benar ini adalah “hukum“ dan “ketentuan-ketentuan“ yang mengatur segala segi kehidupan dalam masyarakat.

“Nan benar, yang berdiri sendirinya“ itu adalah sebuah ungkapan budaya Minangkabau yang sangat jitu dan mendasar sekali.
Ungkapan ini hanya bisa ditemukan padanannya dalam ajaran Islam dan filsafat Yunani.

Supremasi hukum yang diletakkan atas dasar kebenaran, bukan orang – ini adalah “kontribusi budaya” yang bisa disumbangkan oleh masyarakat dan kebudayaan Minangkabau kepada masyarakat dunia, entah dalam ruang lingkup Nusantara, Asia Pasifik atau wadah-wadah internasional lainnya di mana saja, pada abad ke – 21 ini.

Mata rantainya adalah:

1. Kemenakan (warga negara) yang bebas merdeka
2. Penghulu (pemimpin) yang arif dan bijaksana, dan mendasarkan semua semua kearif-bijaksanaannya itu kepada kata mufakat.
3. “nan benar“ (hukum,undang-undang) yang berdiri sendirinya, dan berdiri di atas segala kepentingannya.

Karena para kemenakan, yang adalah warga dan para penghulu sekaligus pemimpin, itu adalah manusia-manusia yang bebas dan merdeka, kata mufakat melalui proses musyawarah dengan cara baio-batido (beria-bertidak: mutual deliberations), yang mengutamakan kepentingan bersama di atas yang lainnya, adalah tuntunan logisnya.

Yang dituntut dengan sendirinya adalah prinsip demokrasi atas dasar “duduk sama rendah, tegak sama tinggi” di antara sesama dalam menyelesaikan semua persoalan, dengan semangat musyawarah:“tiada kusut yang tidak terselesaikan dan tiada keruh yang tidak terjernihkan”.

Proses musyawarah berjalan menurut jalur “alur nan patut” dengan tujuan “ bulat air di pembuluh, bulat kata di mufakat”.
Tapi perbedaan pendapat dan konflik sekalipun diakomodasikan, sehingga keputusan mufakat, ada yang “bulat nan boleh digolongkan” dan ada pula yang “ pecak yang boleh dilayangkan”.

Bulat yang boleh digolongkan adalah konsensus bulat, sementara pecak yang dilayangkan adalah kesepakatan menerima pendapat suara mayoritas dengan kesediaan minoritas untuk mengalah.

Betapapun, prinsip beroposisi untuk beroposisi dan dominasi mayoritas atas minoritas dengan pertimbangan kekuasaan tidaklah dikenal ataupun dibenarkan.
Beraja kepada yang benar memungkinkan suara orang atau sekelompok kecil orang yang berdiri di atas kebenaran diterima oleh sekelompok yang lebih besar.
Demokrasi Minangkabau, karena itu, adalah demokrasi yang meletakkan kekuasaan (kedaulatan) pada rakyat atas dasar menegakkan kebenaran itu.

Demokrasi egaliter dengan “duduk sama rendah tegak sama tinggi” ini diperkuat lagi dengan sifat-sifat hubungan yang terbuka, kompetitif, kooperatif dan resiprokal dengan prinsip: lamak di awak katuju di urang (disukai oleh kedua belah pihak; win-win cooperation).
Prinsip yang sama adalah menerima perbedaan pendapat dan mengakomodasi konflik.
Semua ini diungkapkan oleh adagium-adagium adat dalam bentuk pantun–peribahasa, pepatah-petitih.

Adat dan kebudayaan Minangkabaupun menerima prinsip-prinsip pembaruan dengan orientasi: change and stability.
Yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan itu adalah filosofi dasar dan prinsip-prinsip dasar- yang kalau “ dibubut layu, diasak mati”.

Seperti prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan di atas, tanpa itu dia tidak bernama Minangkabau lagi.
Ini yang dinamakan dengan: “ Adat nan sebenar adat”.

Selain itu adalah “Sekali air gadang, sekali tepian berubah” termasuk kedalamnya adalah ketiga kategori adat lainnya, masing-masing Adat nan diadatkan, adat-istiadat dan adat nan teradat.
Keempat adat itu berjejer dalam satu garis kontinum, dari yang sama sekali tidak bisa berubah menuju ke arah yang setiap kali bisa berubah sesuai dengan tuntunan masa dan berbeda dari satu tempat ke tempat lain.

Pendulumnya bergerak dari satu titik yang absolut ke titik lain yang relatif.

Dari segi tinjauan agama, adat itupun di bagi dua: yang sesuai dengan Islam menjadi adat Islamiyah, dan yang tidak sesuai dengan Islam adat jahiliyah.
Karena adat, setelah traktat Marapalam* di abad lalu, tunduk kepada syarak, maka prinsip adatpun sama dengan prinsip syarak: Yang baik diambil, nan buruk dibuang, walaupun dari mana datangnya.

Dalam kaitan ini, Syarak yang mengata, adat nan dipakai; syarak bertelanjang, adat bersesamping. Dalam hal menegakkan keadilanpun dipedomani: Timbangan nan adil, bungka nan bagatok, taraju nan piawai.

Ajaran-ajaran adat Minangkabau, yang kalau di balun sebalun kuku, dan dikembang selebar alam, ini jelas memiliki nilai-nilai yang langgeng dan universal, yang kelihatannya pas sekali untuk diperkenalkan kepada masyarakat global abad ke– 21.

Tinggal kita memformatkannya menggunakan bahasa yang sesuai dengan bingkai berpikir untuk abad mendatang itu.

Realita

Dalam kenyataan empirisnya, bagaimanapun adat kebudayaan Minangkabau telah mengalami nasib yang sama seperti dialami Islam di masa sebelum kebangkitan ini.

Nasib yang sama sekarang juga cenderung dialami oleh konstitusi 1945, yang dari satu sisi sesungguhnya adalah refleksi ataupun offshoot dari budaya sintesis Minangkabau.

Ide-ide tentang kadaulatan rakyat, musyawarah, kebersamaan, keadilan, ekonomi kekeluargaan, dsb, banyak diilhami ataupun ditimba dari khazanah kebudayaan Minangkabau melalui suara dan pemikiran tokoh-tokoh pendiri republik, yang kebetulan berasal dari Minangkabau ini.

Sebagai sebuah ideologi budaya, dia indah untuk disebut–sebut, dan kedengarannya ideal sekali untuk diperkenalkan ke masyarakat dunia untuk diterapkan di abad ke–21.

Tapi masyarakat Minangkabau sendiri sekarang sudah tidak lagi tertarik dengan prinsip-prinsip kehidupan yang sifatnya demokratis, egaliter, terbuka, resiprokal, sentrifugal itu.

Atau mereka sebenarnya masih merindukannya, tapi dunianya terkurung oleh sistem budaya yang lebih dominan, dan hal ini berlawanan dengan itu.

Di samping itu, proses pengeroposan budaya pun terjadi, sehingga yang dipraktekkan oleh orang-orang Minang terhadap adat dan kebudayaan mereka sendiri tinggal kulit-kulit luarnya, yang bersifat seremonial ketimbang melaksanakan inti hakikat dari ajaran adat dan kebudayaan itu.

Apalagi wilayah-wilayah permasalahan yang tadinya diatur oleh adat dan agama, kini rata-rata telah diambil alih oleh negara dan pemerintahan formal.

Sekarang ini, kecuali dalam kalangan akademik dan intelektual terbatas, tidak terlihat ada tanda-tanda kehidupan yang memperlihatkan gerak hendak menghidupkan ataupun menegakkan kembali demokrasi bernuansa Minangkabau itu.

Yang terlihat sebaliknya adalah suasana ketakutan, keraguan dan kebimbangan, yang sebagian adalah karena trauma masa lalu.

Tapi sebagian juga karena tidak tersedianya wacana budaya berpikir alternatif itu.

Sekarang di Minangkabau, dan di Nusantara yang lebih luas sekalipun, istilah-istilah yang dipakai bisa saja sama, tapi konotasi dan implementasinya berbeda.

Kata-kata demokrasi, kebersamaan, keadilan, keterbukaan, menjadi hiasan bibir sehari-hari, tapi isi yang di dalamnya terorientasi kepada sumber budaya yang lebih dominan yang sesungguhnya adalah feodal, paternalistis, nepotis, sentripetal, etatis, dsb.

Budaya yang lebih dominan itulah sekarang, yang menyebar ke seluruh Indonesia, bersamaan dengan sistem birokrasi pemerintahan yang tersentralisasi dan terkonsentrasi secara hikarkis ke pusat.

Orang Minangkabau sendiri, terutama generasi mudanya, mulai melihat aneh kepada nilai budaya aslinya.
Melalui proses pendidikan dengan sistem yang diterapkan di sekolah-sekolah atau di luar sekalipun, sekarang mereka telah menjadi orang Indonesia tapi dengan konotasi yang seperti itu.

Kini sukar diharapkan mereka yang akan membawakan konsep demokrasi egaliter dengan keterbukaan dan segalanya itu ke dunia luar, ketika mereka sendiri tidak lagi mengenal dan mengerti, apalagi menghayati, sistem budaya itu sendiri.

Gelombang Globalisasi

Yang terjadi sesungguhnya sekarang ini, disamping gelombang counter current (arus menentang) yang bernuansa feodal dan paternalistis-nepotis dari pusat kekuasaan, adalah justru gelombang besar berupa proses globalisasi, demokratisasi, kompetisi pasar bebas, serta akses langsung melalui media-media telekomunikasi dan informasi, yang dengan derasnya masuk menerobos ke dalam masyarakat kita.
Arus ini tidak bisa dibendung.

Namun, yang menggembirakan kita adalah, banyak dari unsur-unsur yang bersifat global itu justru serasi dan sejalan dengan alur dan jalur berpikir kebudayaan Minangkabau.

Jika ekses-ekses negatifnya ditiadakan, ataupun disublimasikan ke arah yang lebih bersifat konstraktif, tak ada sesungguhnya yang perlu dikhawatirkan dengan budaya global itu.
Dengan perkembangan sains dan teknologi sekarang ini, dia harus hadir dan tidak ada alternatif lain.

Dengan orentasi budaya yang pada dirinya sendiri sejak semula sudah berorietasi sentrifugal (diri untuk yang lebih banyak) global dan universal, tidak ada yang harus ditakuti oleh orang Minang dan dengan sikap orang Melayu dalam arti yang lebih luas.

Bagaimanapun orang Minang dan orang Melayu itu, harus menyikapi diri dengan sikap yang positif menghadapi arus budaya globalisasi.
Kita harus bisa membedakan antara yang prinsip dengan yang instrumental, antara isi dan kulit.

Sendirinya kita harus merebut sains dan teknologi dan menjadikan diri sebagai subjek menghadapi arus globalisasi.
Mau tak mau kita harus berinteraksi secara aktif dengan masyarakat dunia, karena kita pun adalah bagian dari masyarakat dunia itu.

Dalam hal ini, tak ada yang akan lebih puas melihatnya kecuali agama Islam sendiri yang melihat para pemeluknya bersama dengan masyarakat lain dari berbagai latar belakang agama dan kebudayaan, menjadi subjek penentu di dalam kehidupan global.

Puak Melayu dari Malaysia telah menyikapi diri, dan mereka melalui penghulunya yang arif-bijaksana, berhasil merebut peluang-peluang untuk masuk ke era sains dan teknologi.
Puak Melayu yang ada di Malaysia sekarang sudah bertukar kerongsong dan mereka telah menjadi orang Melayu moderen yang siap memasuki arena pergumulan di abad ke- 21.

Puak Melayu yang lainnya, dari selat Malaka sampai ke ombak nan berdebur di pantai barat Sumatera, sebaliknya harus segera bangkit dan menyikapi diri dengan sikap yang positif.
Oleh sebab itu, mereka tidak bisa berbuat hanya dengan menyebut-nyebut saja, tapi harus menuangkan tekad itu ke dalam program yang jelas di bidang ekonomi dan pendidikan serta di bidang kebudayaan ini sendiri.

Reorientasi budaya saat ini sangat sekali diperlukan.

Kalau digulung, selebar kuku
Ketika dikembang, seluas alam
Walau sebesar biji labu
Bumi dan langit ada di dalam

Kembali ke Halaman Utama