Eksposisi Surat Roma

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, M.Th.


 

KEMENANGAN ATAS KUASA DOSA (ROM 6:1-23)

 

Relasi bagian ini dengan bagian sebelumnya terlihat jelas dari ayat 1 “apakah kita bertekun supaya kasih karunia melimpah?”. Pertanyaan ini jelas merupakan kontinuitas pemikiran (antisipasi) dari 5:20-21.  Selain itu, 5:12-21 dan 6:1-23 menyinggung masalah yang sama, yaitu dosa. Kalau di bagian sebelumnya orang percaya dibebaskan dari hukuman dosa, pasal 6 membahas kebebasan orang percaya dari kuasa dosa. Meminjam istilah teologi sistematik, pasal 5 tentang pembenaran, sedangkan pasal 6 tentang pengudusan, meskipun ide tentang Roh Kudus yang memampukan orang percaya baru muncul di pasal 8.

 

Beberapa sarjana membagi pasal 6 menjadi ayat 1-11 dan 12-23. Pembagian ini didasarkan pada perubahan mood dari indikatif (ayat 1-11) ke imperatif (ayat 12-23). Bagaimanapun pembagian ini memiliki beberapa kelemahan:

(1)   Ayat 12 jelas lebih terkait dengan bagian sebelumnya daripada sesudahnya.

(2)   Pertanyaan ti, ou=nÈ (“Jadi, bagaimana?”) di ayat 15 jelas mengindikasikan pemikiran baru (3:1; 3:9; 4:1; 6:1; 6:15).

(3)   Pembagian ayat 1-14 dan 15-23 membuat  dua perikop ini memiliki topik yang paralel: ayat 1-14 membahas kebebasan dari dosa dari sisi negatif (menjauhi dosa) dan ayat 15-23 dari sisi positif (mendedikasikan hidup kepada kebenaran).

(4)   Ayat 14b merupakan jawaban yang tepat untuk pertanyaan di ayat 1 (inclusio).

 

Struktur ayat 1-14 dapat dijelaskan sebagai berikut:

Orang percaya tidak boleh bertekun dalam dosa (ay. 1-2a)

Alasan: orang percaya telah mati dalam dosa (ay. 2b)

 Cara: melalui baptisan orang percaya dipersatukan dalam karya Kristus (ay. 3-5)

 Penjelasan:      Orang percaya telah mati untuk dosa     (ay. 6-7)

                        Orang percaya hidup dengan Kristus (ay. 8-10)

 Konklusi: orang percaya mati bagi dosa, hidup bagi Allah (ay. 11)

Konsekuensi (ay. 12-13)

            Tidak membiarkan dosa menguasai hidup (ay. 12)

            Memakai hidup untuk kebenaran (ay. 13)

Kepastian: dosa tidak akan menguasai lagi (ay. 14)

 

Ayat 1-2a. Pertanyaan di ayat ini dikemukakan oleh Paulus untuk mengantisipasi kesalahpahaman yang mungkin timbul dari pernyataan Paulus di 5:20 (di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah). Bahaya ini akan semakin tampak apabila dikaitkan dengan fakta bahwa anugerah yang melimpah tersebut bahkan sudah diberikan pada saat orang percaya dahulu hidup dalam domain Taurat yang meningkatkan keseriusan dosa mereka. Kalau pada jaman Taurat saja anugerah Allah sudah melimpah, apalagi sekarang ketika orang percaya hidup dalam anugerah (band. 5:2). Eksistensi dosa yang banyak memang membawa pada kesadaran tentang kasih karunia Allah yang melimpah, tetapi bukan sebaliknya. Orang percaya tidak boleh dengan sengaja melakukan dosa yang banyak dengan tujuan bisa merasakan anugerah yang besar (band. 3:7-8).

 

Ayat 2b. Paulus memberikan alasan bagi larangan di ayat sebelumnya. Alasan ini disampaikan dalam bentuk pertanyaan (lit. “bagaimana kita – yang telah mati untuk dosa – akan hidup di dalamnya?”). Alasan bagi larangan ini adalah pemisahan total dari kuasa dosa (“kita telah mati untuk dosa”). Metafora “mati” yang dipakai di sini selain berguna untuk menghubungkannya dengan kematian Kristus (ay. 4-5) juga untuk menggambarkan pemisahan yang total. Penekanan pada ide kematian total juga terlihat dari rujukan tentang penguburan Yesus di ayat 4a (yang sebenarnya hanya berfungsi untuk menekankan kesungguhan kematian) dan frase “sekali untuk selamanya” di ayat 10.

 

Ayat 3-5. Bagian ini memberikan penjelasan bagaimana kematian untuk dosa di ayat 2b terjadi. Kematian tersebut terkait dengan sakramen baptisan sebagai simbol pertobatan. Paulus di ayat ini menjelaskan sesuatu yang sudah dimengerti dengan baik oleh jemaat Roma (band. “apakah kamu tidak tahu?”) bahwa baptisan merupakan tanda pertobatan, sedangkan pertobatan sendiri merupakan titik balik orang percaya mati untuk dosa. Paulus sedang menerangkan relasi antara baptisan orang percaya dengan karya Kristus Yesus. Baptisan – sebagai tanda pertobatan – merupakan sarana (band. dia. tou/ bapti,smatoj = “melalui baptisan” di ayat 4) orang percaya berada dalam persekutuan dengan karya Kristus: kematian, penguburan dan kebangkitan. Persekutuan ini dimungkinkan karena adanya persekutuan yang lebih mendasar seperti telah dijelaskan oleh Paulus di 5:12-21. Kebenaran di atas bukan hanya dalam batas analogi (ilustrasi), tetapi benar-benar melibatkan partisipasi. Pertobatan orang percaya – yang ditunjukkan melalui baptisan – membuat mereka mengalami kuasa penebusan Kristus (band. Fil 3:10-11). Dengan demikian, kematian dan kebangkitan Yesus bukan hanya memberikan keteladanan, tetapi, lebih jauh daripada itu, memberikan kuasa yang menghidupkan orang berdosa ke dalam hidup yang baru, yang tidak dikuasai oleh dosa.

 

Ayat 6-7.  Bagian ini menjelaskan bagian pertama dari persekutuan dengan karya Kristus, yaitu kematian. Frase “manusia lama” di sini tidak merujuk pada natur keberdosaan (band. Ef 4:22-24; Kol 3:9-11). Natur keberdosaan tetap ada dalam diri orang percaya. “Manusia lama” merujuk pada seluruh eksistensi seseorang dalam arti relasional: semua manusia dalam relasi dengan Adam yang dikuasai oleh kuasa dosa (5:12-21). Penyaliban manusia lama ini bertujuan untuk menghilangkan kuasa tubuh dosa (i[na katarghqh/| to. sw/ma th/j a`marti,aj). Kata sw/ma di sini merujuk pada seluruh hidup seseorang (band. ayat 12-13), sehingga to. sw/ma th/j a`marti,aj merujuk pada seluruh eksistensi manusia dalam kejatuhannya dalam Adam. Eksistensi tersebut sebelumnya dikuasai oleh dosa dalam seluruh aspeknya (band. 3:10-19). Tujuan akhir dari hal ini adalah supaya orang percaya tidak lagi melayani (douleu,ein) dosa. Ayat 7 merupakan kebenaran umum (maxim) yang menjelaskan (band. ga.r) hubungan antara kematian dan kebebasan. Seseorang yang sudah mati akan terbebas dari semua hal yang mengikatnya. Hal ini juga terlihat dalam tulisan rabi Yahudi “ketika seorang mati ia terbebas dari tuntutan memenuhi Taurat”. Orang percaya yang sudah mati dalam Kristus akan dibebaskan dari ikatan dosa yang sebelumnya menguasainya.

 

Ayat 8-10. Bagian ini menjelaskan bagian kedua dari persekutuan dengan karya Kristus, yaitu kebangkitan. Sebagaimana kematian dan kebangkitan Kristus merupakan peristiwa yang tidak terpisahkan, demikian juga persekutuan orang percaya dalam karya tersebut. Orang percaya yang sudah mati dalam Kristus pasti akan hidup dengan Dia. Bentuk future “akan hidup” memang sedikit banyak merujuk pada peristiwa eskhatologis (pada waktu orang percaya meninggal atau saat parousia), tetapi hal itu sudah dinikmati pada kehidupan sekarang (ay. 4b, 11, 13). Kepercayaan pada konsekuensi ini didasarkan pada pemahaman (band. participle eivdo,tej = “karena kita tahu”) bahwa Kristus – setelah dibangkitkan – tidak mati lagi. Maut tidak berkuasa lagi atas-Nya. Kristus adalah yang sulung dari orang-orang yang bangkit (1Kor 15:23). Sebagaimana Kristus menang atas semua kekuatan ‘era yang lama’ (dosa, Taurat dan maut), demikian juga orang percaya yang dipersekutukan dengan kebangkitan Kristus akan tetap hidup. Ayat 10 menegaskan bagian terakhir dari ayat 9 “maut tidak berkuasa lagi atas-Nya”. Kristus hanya mati satu kali untuk selamanya dan setelah itu Ia hidup untuk Allah. Hal ini menunjukkan kemenangan sekaligus pemisahan total dari kematian.

 

Ayat 11. Kata ou[twj (“dengan cara [yang sama] ini”) mengindikasikan ayat ini sebagai rangkuman dari apa yang sudah dijelaskan di ayat 2b-10. Sebagaimana Kristus mati untuk dosa (ay. 10), demikian juga orang percaya yang mati dengan Kristus harus mempertimbangkan (logi,zomai) diri mereka sebagai orang yang telah mati untuk dosa (ay. 4a, 5a, 6, 8a). Sebagaimana kematian Kristus terjadi satu kali dan selanjutnya diikuti oleh kebangkitan dan hidup untuk melayani Allah (ay. 10), demikian juga orang percaya berpartisipasi dalam kehidupan yang dibangkitkan (ay. 4b, 5b, 8b). Jadi, logika pemikiran di ayat 2b-10 dapat digambarkan sebagai berikut:

Kristus telah mati untuk dosa sekali dan hidup terus-menerus bagi Allah

Orang percaya - melalui baptisan-pertobatan – bersekutu dengan karya Kristus

Karena itu, orang percaya juga mati untuk dosa sekali dan hidup untuk Allah

Bentuk present pada kata kerja imperatif logi,zesqe (“pertimbangkanlah”) menyiratkan bahwa konsep ini harus terus-menerus dimiliki oleh orang percaya.

 

Ayat 12-13. Paulus pada bagian ini menarik dua konsekuensi dari seluruh pembahasan ayat 2b-10 yang telah dirangkum di ayat 10. Konsekuensi ini diutarakan dalam bentuk negatif (ay. 12-13a) dan positif (ay. 13b).

1.      Tidak membiarkan dosa menguasai dalam tubuh yang fana (ay. 12).

Kata “menguasai” (basileu,w) di sini bisa berarti menguasai atau menjadi seperti raja (1Kor 4:8). Kata “tubuh” (sw/ma) bisa berarti “tubuh secara fisik”. Hal ini didukung oleh kata “fana” (ay. 12), “hawa nafsu” (ay. 12) dan “anggota-anggota” (ay. 13a). Bagaimanapun, sw/ma di sini tampaknya lebih merujuk pada seluruh eksistensi seseorang. Pertama, kata “tubuhmu” sinonim dengan “dirimu” (ay. 13b). Kedua, pengaruh dosa bukan hanya pada aspek fisik, tetapi juga seluruh eksistensi manusia. Ketiga, interpretasi ini konsisten dengan arti sw/ma di ayat 6. Penambahan kata sifat qnhto,j (fana) pada kata sw/ma mengindikasikan kelemahan dan ketidaksempurnaan yang menjadi ciri khas era yang lama (band. 8:11; 1Kor 15:53, 54; 2Kor 4:11; 5:4). Kehidupan orang percaya memang tidak lagi “tubuh dosa” (6:6) maupun “tubuh kematian” (7:24), tetapi masih tetap “tubuh fana”. Hal ini akan berubah pada waktu orang percaya ditebus secara penuh (8:23; band. 1Kor 15:53).

Tujuan dari tindakan di atas adalah supaya orang percaya tidak mengikuti keinginannya. Kata evpiqumi,a bisa berarti netral (“keinginan”, Fil 1:23; 1Tes 2:17), tetapi dalam konteks ini artinya lebih negatif (“hawa nafsu”, 1:24; 7:7, 8; 13:14; Gal 5:16, 24; Ef 2:3; 4:22). Mengingat sw/ma di bagian awal berarti seluruh eksistensi manusia,  hawa nafsu di sini tidak boleh dibatasi pada keinginan fisik saja. Kata ini mencakup pikiran dan keinginan hati yang berdosa (band. 7:7-8).

2.      Tidak menyerahkan anggota-anggota tubuh sebagai senjata ketidakbenaran (ay. 13a).

Istilah “anggota-anggota tubuh” tidak merujuk pada bagian fisik tubuh. Paulus memakai ungkapan ini sebagai rujukan pada kapasitas natural manusia (band. 7:5, 23). Istilah pari,sthmi (LAI:TB “menyerahkan”) seharusnya diartikan secara lebih aktif, yaitu “memberikan diri dalam pelayanan kepada seseorang”. Genitif avdiki,aj pada frase o[pla avdiki,aj sebaiknya dipahami sebagai objective genitive, sehingga frase ini diterjemahkan “senjata-senjata untuk tujuan ketidakbenaran”. Dosa sudah tidak menjadi tuan lagi, sehingga tidak perlu dilayani.

3.      Menyerahkan diri kepada Allah sebagai senjata kebenaran (ay. 13b).

Secara positif orang percaya harus menyerahkan diri kepada Allah dan menyerahkan anggota-anggota tubuh menjadi senjata kebenaran. Dasar untuk dua hal ini adalah karena orang percaya sudah dihidupkan dari antara orang-orang mati. Hal ini sekaligus juga sebagai syarat untuk mampu melakukan konsekuensi di ayat 12-13.

 

Ayat 14. Bentuk imperatif di ayat 12-13 diikuti oleh indikatif di ayat ini. Kata sambung ga.r (“sebab”) menerangkan alasan atau dasar bagi perintah di bagian sebelumnya. Pernyataan “sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa” bukan sebuah perintah (kontra Fitzmyer), janji (kontra Lloyd-Jones) maupun janji bersyarat (kontra Dodd). Hal ini merupakan dasar (jaminan) bagi orang percaya. Terlepas dari kekuatiran terhadap “tubuh fana” yang masih bisa dipengaruhi oleh dosa, ada jaminan yang memampukan orang percaya tetap optimis. Mereka memang masih mungkin jatuh ke dalam dosa, tetapi mereka tidak mungkin hidup dikuasai dosa lagi.

 

Kata ga.r kedua dalam ayat ini menjelaskan mengapa orang percaya tidak akan dikuasai dosa lagi, yaitu karena mereka tidak hidup lagi di bawah Taurat, tetapi di bawah kasih karunia. Kontras antara no,moj dan ca,rij di sini mewakili dua realitas: era lama dan baru. Taurat memiliki fungsi menghasilkan dan mengintensifkan dosa (3:20; 4:15; 5:13-14; band. 1Kor 15:56). Kecuali seseorang dibebaskan dari situasi ini, ia selamanya akan terkungkung dalam dosa. Frase ini secara esensial terkait dengan 5:20-21 (“hubungan antara Taurat dan kasih karunia”) dan membentuk inclusio dengan 6:1. Jadi, pertanyaan “apakah kita bertekun dalam dosa karena kita hidup dalam kasih karunia?” (ay. 1) dijawab Paulus dengan “Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia” (ay. 14).

 

 

DUA PERHAMBAAN (ROM 6:15-23)

 

Inti bagian ini tidak terletak pada kebebasan orang Kristen dari dosa, tetapi lebih pada perhambaan orang Kristen kepada Allah.

(1)    Kata “hamba” atau “menghambakan diri” muncul 8 kali. Statistik ini diperjelas dengan munculnya kata yang berhubungan dengan ketaatan sebanyak 3 kali.

(2)    Kebebasan dari dosa sudah dibahas di ayat 1-14.

(3)    Ayat 15-23 merupakan antisipasi terhadap kesalahpahaman yang mungkin timbul dari pernyataan Paulus di ayat 14b (band. ayat 1 “Apakah kita akan berbuat dosa, karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia?”). Sebagai sebuah antisipasi, bagian ini tidak mungkin menekankan poin kebebasan lagi.

 

Apa yang disampaikan Paulus di ayat 15-23 (juga 1-14) bisa menjadi respon yang seimbang terhadap bahaya legalisme (yang terlalu mengikat orang dengan Taurat) dan antinomianisme (yang menolak semua keterikatan moral). Orang percaya tidak terikat dengan Taurat lagi (dalam arti kutuk Taurat dan tuntutan Taurat untuk keselamatan), namun hal ini tidak berarti bahwa mereka bebas berbuat semau mereka. Pada saat orang percaya dibebaskan dari perbudakan dosa, mereka pada saat yang sama menjadi budak Allah. Inti pemikiran ini bersumber dari konteks penjualan budak yang berkembang waktu itu. Sesuai aturan perdagangan budak waktu itu, ada dua kondisi (persyaratan) yang memungkinkan seorang budak bebas dari kuasa tuannya:

(1)   Jika budak tersebut dibeli oleh tuan lain.

(2)   Jika budak tersebut meninggal dunia.

Dua ide ada dalam pikiran Paulus ketika ia memakai metafora dari dunia perbudakan. Orang percaya telah mati untuk dosa dan itu berarti pembebasan dari budak dosa. Mengingat pembebasan ini dilakukan oleh Allah, mereka sekarang menjadi budak Allah.

Struktur bagian ini adalah sebagai berikut:

Pertanyaan: apakah kita berbuat dosa karena di bawah kasih karunia? TIDAK! (ay. 15)

Argumentasi: (ay. 16-18).

Konsekuensi dosa: perhambaan dosa menuju pada kematian (ay. 16)

Dasar: orang percaya adalah hamba kebenaran (ay. 17-18)

Konsekuensi: menyerahkan anggota-anggota tubuh kepada kebenaran (ay. 19)

Alasan bagi konsekuensi: orang percaya adalah hamba kebenaran (ay. 20-23)

 

Ayat 15. Bagian ini merupakan antisipasi terhadap kesalahpahaman yang mungkin timbul dari cara berpikir Yahudi. Jika orang percaya tidak lagi berada di bawah Taurat (yang dipahami orang Yahudi sebagai satu-satunya pedoman hidup sebelum adanya PB), maka hal ini memberikan kesempatan untuk berbuat dosa. Pertanyaan retorik di sini memiliki banyak kesamaan dengan ayat 1: dimulai dengan Ti, ou=n;  isinya berkisar masalah kasih karunia; jawaban tegas mh. ge,noito; diikuti penjelasan panjang di ayat 2-14 dan 16-23.

 

Ayat 16. Bagian ini merupakan argumentasi pertama bagi jawaban mh. ge,noito di ayat 15. Paulus memfokuskan pada konsekuensi kesalahpahaman di ayat 15. Frase “tidakkah kamu tahu” (ouvk oi;date) menyiratkan bahwa jemaat di Roma sebenarnya sudah mengetahui apa yang disampaikan di ayat ini. Paulus mungkin merujuk pada kultur perbudakan waktu itu: orang-orang menyerahkan diri sebagai budak dengan pertimbangan finansial. Keputusan ini membawa konsekuensi, yaitu ketaatan mutlak pada yang objek penyerahan dirinya. Kemungkinan lain adalah Paulus sedang memikirkan proses kebalikannya: kebiasaan menaati seseorang menjadikan orang yang menaati tersebut sebagai budak. Struktur kalimat dan konteks ayat 15-23 tampaknya lebih mendukung kemungkinan terakhir.

 

Alkitab secara konsisten hanya memberi dua pilihan: dosa atau ketaatan. Tidak ada kehidupan manusia yang netral. Orang yang terus-menerus menyerahkan diri (band. bentuk present pari,sthmi) kepada dosa untuk menaatinya adalah hamba dosa. Yoh 8:34 “sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa”. Perhambaan dosa bukan hanya masalah legal, tetapi juga masalah praktek hidup. Orang percaya memang sudah dibebaskan dari perhambaan dosa secara legal dan subjektif melalui persekutuan dengan kematian-kebangkitan Kristus (ay. 1-14), tetapi dalam praktek hidup sehari-hari orang percaya tetap harus bergumul untuk tidak lagi hidup seperti hamba dosa.

 

Konsekuensi perbuatan dosa bukan hanya pada fakta perhambaan saja (kehilangan kebebasan), tetapi juga pada akibat (lihat dua eivj dalam ayat ini) yang ditimbulkan dari ketaatan tersebut. Orang yang terus berbuat dosa akan mengalami kematian. qa,natoj di sini sangat mungkin merujuk pada kematian kekal. Kematian ini pasti melibatkan kematian spiritual di masa kini dan kematian fisik, tetapi penekanan terletak pada kematian kekal.

 

Ayat 17-18. Argumentasi dalam bagian ini lebih difokuskan pada fakta yang telah terjadi. Ekspresi ca,rij de. tw/| qew/| (“syukur kepada Allah”) dan bentuk tense imperfect h=te (“adalah”) pada kalimat “kamu [dahulu] adalah hamba dosa” menunjukkan bahwa orang percaya di Roma tidak berada dalam perhambaan dosa yang mengakibatkan kematian kekal. Sebaliknya, Paulus menggambarkan situasi orang percaya dengan dua kata kerja indikatif aorist di ayat 17 dan 18.

1.      Mereka telah menaati pola pengajaran (ay. 17).

Bentuk aorist u`phkou,sate (“telah menaati”) kemungkinan merujuk pada waktu pertobatan. Yang menarik dalam ayat 17 adalah kata paredo,qhte (“diteruskan”). Objek dalam bentuk orang kedua jamak pasif pada kata paredo,qhte bukanlah pola pengajaran, tetapi jemaat di Roma. Mengikuti mayoritas EV’s, ayat 17b seharusnya diterjemahkan “tetapi sekarang kamu dengan segenap hati telah mentaati pengajaran yang kepadanya kamu telah diteruskan” (kontra LAI:TB “pengajaran yang telah diteruskan kepadamu”). Paulus biasanya menjadikan pengajaran (tradisi Kristen) sebagai objek kata kerja pasif paradi,dwmi (1Kor 11:2, 23; 15:3), tetapi di sini ia secara sengaja menjadikan penerima surat sebagai objek. Paulus ingin menyampaikan sesuatu: menjadi orang Kristen berarti diletakkan dibawah otoritas tradisi pengajaran. Ketaatan kepada pengajaran merupakan karakteristik orang Kristen.

2.      Mereka telah dijadikan hamba kebenaran (ay. 18).

Ayat 18 seharusnya diterjemahkan “dan ketika dibebaskan (participle evleuqerwqe,ntej) dari dosa, kamu dijadikan hamba kebenaran” (mayoritas EV’s; kontra NIV dan LAI:TB). Pernyataan ini merupakan suatu paradoks yang bersumber dari konsep penjualan budak waktu itu. Seorang budak yang dibeli akan bebas dari tuannya, tetapi pada saat yang sama ia dijadikan budak orang yang membelinya.

 

Ayat 19. Frase “Aku mengatakan hal ini secara manusia karena kelemahan kamu” (ay. 19a) merupakan break yang menjelaskan metafora perbudakan di ayat 18 atau 19. h` avsqe,neia th/j sarko.j (lit. “kelemahan daging”) mungkin menunjukkan ketidakpekaan terhadap hal-hal spiritual, sehubungan dengan natur keberdosaan mereka. Kelemahan ini terkait dengan segi kognitif. Dengan kata lain, penggunaan metafora perbudakan dipakai Paulus untuk mempermudah pemahaman mereka. Frase di atas tidak dimaksudkan terutama sebagai teguran, tetapi sebagai penjelasan mengapa Paulus menggunakan metafora perbudakan. Metafora ini bisa  menimbulkan kesan degradasi diri, ketakutan yang berlebih, eksploitasi, dll., yang merupakan ciri khas orang yang hidup dalam perbudakan. Hal ini tidak berarti bahwa Paulus ‘menyesal’ dengan metafora yang telah dipakai, karena dalam ayat 19 dan 22 ia kembali meneruskan metafora ini. Paulus hanya ingin meminimalisasi kesan negatif yang mungkin muncul. Poin analogi yang ingin diambil Paulus terletak pada ketaatan mutlak seorang budak (tidak termasuk perasaan takut, tereksploitasi, dsb) dan otoritas penuh dari tuan.

 

Perintah dalam ayat ini  mirip dengan ayat 13. Sebagaimana mereka dulu menyerahkan hidup sebagai hamba kecemaran dan kefasikan, demikian juga – dengan semangat yang sama – mereka harus menyerahkan diri sebagai hamba ketaatan (band. w[sper...ou[twj = “sebagaimana...dengan cara yang sama”). Perbandingan ini menunjukkan dedikasi yang penuh dan terus meningkat. Ide peningkatan disiratkan dalam gaya retoris th/| avnomi,a| eivj th.n avnomi,an yang dipakai untuk menggambarkan kehidupan yang lama (band. RSV “to greater and greater iniquity”; NIV “to ever-increasing wickedness”; NASB “to lawlessness, resulting in further lawlessness”). Demikian juga dalam kehidupan Kristiani. Menyerahkan diri sebagai hamba kebenaran akan membawa pada pengudusan. Akhiran moj pada suatu kata benda biasanya menyiratkan kualitas aktif dari kata benda tersebut, sehingga a`giasmo,j di sini sebaiknya dimengerti sebagai proses menjadi kudus (band. 1Tes 4:3, 4, 7; 1Tim 2:15). Semakin orang percaya menyerahkan diri mereka untuk menaati kebenaran, mereka akan menjadi semakin kudus.

 

Ayat 20-23. Bagian ini memberikan dasar atau alasan bagi perintah di ayat 19 (band. ga.r di awal ayat 20). Secara esensial pemikiran Paulus di sini sama dengan di ayat 17-28, namun argumentasi di ayat 20-23 jauh lebih lengkap, karena menggabungkan ide di ayat 17-18 dan 19. Penekanan Paulus terletak pada hasil (buah) dari dua macam kehidupan tersebut (ayat 21-23; band. ayat 19). Di ayat 20-23 Paulus membuat kontras antara kehidupan lama dalam perbudakan dosa (ay. 20-21) dan kehidupan baru dalam pelayanan kepada Allah (ay. 22-23). Kontras ini terlihat dari ayat 20a “waktu kamu hamba dosa” dan ayat 22a “tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa”.

 

Karakteristik hidup yang lama (ay. 20-21)

1.      Menjadi budak dosa (ay. 20a).

Paulus kembali memakai metafora perbudakan untuk menggambarkan kekuatan dosa dalam hidup manusia. Dosa bukan hanya terbatas pada apa yang dilakukan manusia, tetapi apa yang menguasai manusia untuk melakukan hal tersebut. Manusia benar-benar berada dalam kuasa mutlak dosa. Manusia selalu menuruti keinginan dosa sebagai tuan mereka.

2.      Bebas dari kebenaran (ay. 20b).

Paulus mengakui bahwa orang yang berada di luar Kristus memiliki semacam “kebebasan”, yaitu bebas dari kebenaran. Datif th/| dikaiosu,nh| lebih ke arah dative of respect, sehingga seharusnya diterjemahkan “dalam kaitan dengan kebenaran” (ASV, NASB, RSV; kontra KJV, NIV, LAI:TB). “Kebenaran” di sini merujuk pada kebenaran secara etis/moral (bukan status benar). Orang di luar Kristus memang memiliki pengetahuan tentang baik dan benar (1:18-32; 2:14-15), tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk memilih dan melakukan yang benar, karena semua berada di bawah dosa (3:9). Dalam istilah teologi, kebebasan yang dimiliki mereka hanyalah kebebasan untuk berbuat dosa. Kebebasan semacam ini hanyalah kebebasan yang semu, karena mereka justru terikat dengan dosa yang mereka lakukan.

3.      Hanya menghasilkan rasa malu (ay. 21a).

Ada dua macam kemungkinan penerjemahan ayat 21. Inti permasalahan terletak pada peletakan tanda tanya: setelah kata to,te atau evpaiscu,nesqe.

(1)    “Karena itu, buah apakah yang lalu kamu miliki, yang sekarang kamu merasa malu? Karena akhir dari semuanya ini adalah maut” (mayoritas EV’s; UBS3).

(2)    “Karena itu, buah apakah yang lalu kamu miliki? Itu adalah atasnya kamu sekarang merasa malu. Karena akhir dari semuanya ini adalah maut” (NEB, NJB, UBS4 dan NA27).

Alternatif terakhir tampaknya lebih tepat, karena terjemahan (2) memberikan pernyataan yang eksplisit tentang buah hidup dalam dosa, yaitu rasa malu. Hal ini akan membuat kontras yang ideal dengan hasil hidup dalam Allah di ayat 22, yaitu pengudusan. Setelah mengenal prinsip kekristenan, jemaat di Roma melihat balik ke kehidupan mereka yang lama dan menemukan bahwa buah dari kehidupan tersebut hanyalah kefasikan yang - dalam terang Firman Tuhan – hanya menghasilkan rasa malu. Perasaan malu (bukan bangga) terhadap dosa ini seharusnya menjadi ciri orang Kristen yang sejati.

4.      Berakibat pada kematian (ay. 21b).

Seperti bagian sebelumnya, Paulus kembali mengingatkan akibat akhir dari kehidupan dalam dosa, yaitu kematian kekal.

 

Karakteristik hidup orang yang bebas dari dosa (ay. 22-23)

1.      Dibebaskan dari dosa (ay. 22a).

2.      Menjadi hamba Allah (ay. 22b).

3.      Menghasilkan pengudusan (ay. 22c).

4.      Berakibat pada kehidupan kekal (ay. 22d-23).

 

Ayat 23 bukan hanya memberikan penjelasan tambahan bagi ayat 22d, tetapi juga menjadi klimaks pembahasan di pasal 6. Kontras antara maut dan kehidupan kekal terletak pada bagaimana dua hal tersebut dicapai. Maut adalah upah (ovyw,nion), sedangkan kehidupan kekal adalah pemberian (ca,risma) Allah. Maut adalah sesuatu yang diusahakan oleh manusia (manusia layak menerimanya sebagai hasil usaha mereka), sedangkan kehidupan kekal adalah murni pemberian Allah (manusia sebenarnya tidak layak menerimanya). Kata ovyw,nion bisa dipakai untuk pembayaran uang dalam segala sisi kehidupan, tetapi kata ini biasanya digunakan secara khusus untuk pembayaran upah pada tentara (LS). Arti ini juga didukung oleh LXX (1Esdras 4:56; 1Mak 3:28; 14:32) dan PB (Luk 3:14; 1Kor 9:7). Arti ini sesuai dengan gambaran kemiliteran yang dipakai di bagian sebelumnya (band. istilah “senjata-senjata” di ay. 13). Ayat 23 semakin melengkapi kontras antara kehidupan lama dan baru: tuan (dosa à Allah), akibat (maut à kehidupan kekal), cara (diusahakan à cuma-cuma).