Eksposisi Surat Roma

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, M.Th.


 

ROMA 1:18-3:20 UNIVERSALITAS DOSA

 

Bukti bahwa 1:18-3:20 merupakan satu unit pemikiran dapat dilihat dari dua hal. Pertama, inclusio tentang keberdosaan manusia di 1:18 dan 3:20. Kutipan panjang dari PL di 3:9-18 dan 3:19-20 merupakan konklusi (klimaks) yang menyatakan keberdosaan semua manusia. Kedua, setelah memaparkan 1:18-3:20 Paulus kembali lagi ke tema surat (3:21 “kebenaran Allah telah dinyatakan”, band. 1:17). Struktur seperti ini menunjukkan bahwa 1:18-3:20 merupakan satu kesatuan yang berfungsi sebagai introduksi bagi pembahasan tentang “pembenaran melalui iman” di 3:21-32.

 

Ada dua alasan penting mengapa Paulus menghubungkan keberdosaan semua manusia (3:9-20) - baik bangsa Yunani (1:18-32) maupun bangsa Yahudi (2:1-3:8) - dengan pembenaran melalui iman. Pertama, universalitas dosa membuktikan bahwa manusia tidak mungkin dibenarkan Allah melalui perbuatan mereka. Kedua, universalitas dosa menunjukkan bahwa posisi semua manusia adalah sama di hadapan Allah, karena itu mereka semua mendapat akses yang sama dalam keselamatan (Rom 3:22-23).

 

 

ROMA 1:18-32  KEBERDOSAAN BANGSA YUNANI

 

Isu utama berkaitan dengan 1:18-32 adalah identitas golongan manusia yang dimaksud Paulus dalam bagian ini. Sebagian sarjana modern berpendapat bahwa Paulus memaksudkan bagian ini untuk semua orang (bukan hanya bangsa Yunani). Beberapa argumentasi yang dipakai untuk mendukung pandangan ini antara lain:

(1)   Objek murka Allah dalam bagian ini (ay. 18) adalah manusia (a;nqrwpoj), bukan bangsa Yunani (e;qnoj atau {Ellhn). Dua kata tersebut bahkan tidak muncul sama sekali dalam 1:18-32.

(2)   Penyembahan berhala di sini digambarkan melalui diskripsi PL tentang peristiwa kejatuhan manusia dalam dosa (Kej 1-3): rujukan tentang penciptaan dunia (ay. 20); pembagian makhluk hidup ke dalam golongan burung, binatang dan binatang melata (ay. 23); rujuan tentang ‘gambar’ (ay. 23); rujuan tentang pengetahuan (ay. 19, 21) dan kebijaksanaan palsu manusia (ay. 22); penggantian kebenaran dari Allah dengan dusta (ay. 25).

(3)   Rujukan tentang berhala ‘binatang berkaki empat’ (ay. 23) mengingatkan pada dosa bangsa Israel di Keluaran 32-34 (band. Mzm 106:20 dan Yer 2:11).

(4)   Transisi dari 1:32 ke 2:1 akan lebih masuk akal jika golongan manusia yang dimaksud di 2:1-4 (bangsa Yahudi) telah termasuk dalam pembahasan sebelumnya (1:18-31).

 

Terlepas dari beberapa argumentasi di atas yang meyakinkan, pandangan tradisional yang menganggap bagian ini sebagai rujukan pada bangsa Yunani tetap lebih bisa diterima, meskipun bagian ini tidak secara eksklusif merujuk pada bangsa Yunani.

(1)     Bagian ini mengingatkan pada argumentasi apologetik Yahudi yang melecehkan praktek penyembahan berhala yang dilakukan bangsa kafir dan menganggapnya sebagai akar dari dosa perzinahan (band. 1:23-27 dan Keb. Sal pasal 12-15, lihat Moo, 97, note 18). Bangsa Yahudi sendiri merasa mendapat dispensasi dalam hukuman Allah atas dasar relasi spesial dengan Allah (Keb Sal pasal 15). Rasa superioritas Yahudi ini selanjutnya akan ditentang Paulus di pasal 2.

(2)     Pengetahuan yang dibahas di 1:18-32 hanya terbatas pada pengetahuan alami (melalui ciptaan). Hal ini sangat berbeda dengan pemaparan Paulus tentang bangsa Yahudi di pasal 2 yang banyak menyangkut isu tentang Taurat.

(3)     Struktur 1:18-3:20 lebih mendukung pendapat ini. 1:18-32 = keberdosaan bangsa Yunani, 2:2-3:8 = keberdosaan bangsa Yahudi, 3:9-20 = konklusi: keberdosaan semua manusia. Hal ini juga didukung oleh beberapa rujukan Paulus yang mengontraskan bangsa Yahudi (2:9-10; 3:9).

 

Struktur bagian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Murka Allah bagi manusia yang menindas kebenaran (ay. 18-20)

Penjelasan detail tentang menindas kebenaran (ay. 21-31)

Bagian ini dibagi menjadi tiga berdasarkan paralelisme antara tindakan manusia dan respon Allah. Respon Allah ini terlihat dari pengulangan frase “Allah menyerahkan mereka” yang muncul 3 kali (ay. 24, 26, 28).

Mereka mengganti kemuliaan Allah – Allah menyerahkan... (21-24)

Mereka mengganti kebenaran dengan dusta – Allah menyerahkan... (25-27)

Mereka tidak mau mengakui Allah – Allah menyerahkan...(28-31)

Konklusi (ay. 32)

 

 

Murka Allah bagi manusia yang menindas kebenaran (ay. 18-20)

Alur pemikiran Paulus dalam bagian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

 

Murka Allah dinyatakan dari surga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia (18a)

|

|_____ Dosa di atas merupakan tindakan menindas [part. kateco,ntwn] kebenaran (18b)

|

|_____ Karena [dio,ti] Allah telah memberikan pengetahuan ttg diri-Nya (19-20a)

|

|_____ Karena itu [eivj to. + infinitif] mereka tidak dapat berdalih (20b)

 

Konsep tentang Allah yang murka seringkali dianggap kontradiktif dengan eksistensi Allah, sehingga menimbulkan kesulitan bagi sebagian orang. Filsafat Yunani menganggap Allah yang murka berkontradiksi  dengan keilahian-Nya. Marcion sengaja menghilangkan kata “Allah” dalam bagian ini. C. H. Dodd, salah satu penafsir modern, bahkan menganggap konsep ini sebagai sesuatu yang kuno. Ia melihat “murka Allah” di sini tidak lebih daripada sekedar realisasi hukum sebab-akibat yang sifatnya alamiah dan tidak terkait secara langsung dengan Allah.

 

Semua pendapat di atas justru berkontradiksi dengan ajaran Alkitab tentang Allah. Sifat Allah yang selalu benar membuat Ia tidak bisa mentolerir dosa sekecil apapun. Allah selalu meresponi dosa dengan murka (Kel 4:14; 15:7; 32:10-12; Ul 11:1; Yer 21:3-7). Respon ini tetap sejalan dengan sifat Allah yang pengasih, karena setelah menyatakan murka-Nya Ia memberikan anugerah supaya manusia bisa dibebaskan dari murka tersebut.

 

Ayat 18-20 memaparkan berbagai aspek dari penyataan murka Allah.

1.      Cara murka Allah dinyatakan (18a).

a.       Murka Allah dinyatakan dalam kekinian.

Alkitab sering mengajarkan bahwa murka Allah dinyatakan secara futuris pada jaman akhir (1Tes 1:10). Konsep ini juga sering disinggung Paulus di Rom 2:5, 8; 3:5; 4:15; 5:9; 9:22. Tense present pada kata VApokalu,ptetai (“sedang dinyatakan”, band. NIV ‘is being revealed) bagaimanapun mengindikasikan bahwa Paulus sedang memikirkan aspek kekinian dari penyataan murka Allah. Murka Allah memang akan dinyatakan secara total di jaman akhir, tetapi sekarang manusia juga bisa melihat antisipasi (gambaran nyata) murka tersebut dalam kehidupan sekarang.

b.      Murka Allah dinyatakan melalui tindakan dalam sejarah.

Kata avpokalu,ptw bukan hanya berarti penyataan (pemberitahuan) secara kognitif kepada pikiran manusia (kontra Barth), meskipun Paulus kadangkala memakai kata ini dalam arti kognitif (1Kor 2:10; 14:30; Ef 3:5). Penyataan ini juga bukan sekedar pemberitaan tentang murka dalam pemberitaan Injil (kontra Cranfield). Penggunaan kata avpokalu,ptw dalam surat Roma mendukung arti sebagai pemanifestasian tindakan dalam sejarah. Allah benar-benar menunjukkan murka-Nya dalam dunia. Ada dua argumentasi yang mendukung arti di atas:

(1)   Paralelisme penggunaan kata avpokalu,ptw di ayat 17 dan 18.

Penggunaan kata yang sama dalam dua ayat yang berurutan seperti ini mengindikasikan bahwa kata tersebut memiliki arti yang sama. Berdasarkan penggunaan tense perfect pada kata  pefane,rwtai di 3:21 (“sekarang kebenaran Allah tanpa hukum Taurat telah dinyatakan”) yang jelas merujuk pada karya penebusan Kristus di kayu salib (3:22-25) sebagai penyingkapan karya keselamatan Allah dalam sejarah, kata avpokalu,ptw di 1:17 sangat mungkin juga berarti penyataan kebenaran Allah dalam sejarah. Seandainya tafsiran di atas diterima, maka arti kata avpokalu,ptw di ayat 1:18 juga akan identik, yaitu penyataan dalam sejarah. Arti ini juga didukung oleh mayoritas penggunaan kata avpokalu,ptw dalam tulisan Paulus (Rom 2:5; 8:18, 19; 1Kor 1:7; Gal 1:16; 3:23; 2Tes 1:7; 2:3, 6, 8).

(2)   Konteks 1:18-32.

Konteks ayat 18-32 secara eksplisit mengindikasikan bahwa penyataan Allah yang bersifat kekinian diwujudkan dalam bentuk “Allah menyerahkan manusia pada jalan dosa yang dipilih dengan segala konsekuensinya” (ayat 24, 26, 28). Sikap Allah yang meninggalkan manusia berdosa pada keberdosaan mereka merupakan salah satu bentuk penghukuman Allah (band. Mzm 81:13; Hos 4:17; Kis 7:42; 14:16).

c.       Murka Allah dinyatakan dari surga.

Frase “dari surga” (avpV ouvranou/) bisa menerangkan kata “Allah”, sehingga terjemahan ayat 18a menjadi “murka Allah yang dari surga dinyatakan”. Bagaimanapun, semua sarjana dan penerjemah menganggap hal tersebut kurang lazim. Mereka umumnya melihat sebagai keterangan terhadap avpokalu,ptetai. Penambahan frase “dari surga” di sini mungkin dimaksudkan untuk menerangkan:

(1)    Kemuliaan murka Allah. Dalam arti ini, “dari surga” merujuk pada tempat Allah (Cranfield). Murka Allah merupakan konsekuensi logis dari kekudusannya. Seorang pribadi yang tidak marah terhadap suatu dosa/kejahatan adalah pribadi yang tidak kudus.

(2)    Jangkauan murka Allah. Murka Allah ditujukan pada segala sesuatu di bawah langit (Moo). Dalam arti ini, “dari surga” merujuk pada tempat yang tertinggi, tetapi tidak selalu berarti tempat Allah berdiam.

2.      Objek murka Allah (18b).

Preposisi evpi. (“atas”) dalam ayat 18 menunjukkan objek dari murka. Murka ini ditujukan pada segala kefasikan dan kelaliman manusia (evpi. pa/san avse,beian kai. avdiki,an avnqrw,pwn). Para sarjana berbeda pendapat tentang arti kata avse,beian dan avdiki,an di sini. Beberapa menganggap dua istilah tersebut sebagai sinonim. Mayoritas sarjana umumnya melihat perbedaan makna dalam dua istilah ini. Pendapat mayoritas ini tampaknya lebih bisa diterima. Paulus memang kadangkala memakai dua kata tersebut dalam arti yang sama, tetapi fenomena tersebut tidak berarti bahwa setiap kali dua kata tersebut muncul maka artinya selalu sinonim. Selain itu, seandainya dua kata tersebut benar-benar identik, sulit dijelaskan mengapa Paulus tidak memilih salah satu saja.

Para sarjana yang menganggap dua kata tersebut tidak sinonim juga berbeda pendapat tentang perbedaan makna yang ada. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor, perbedaan makna dalam kata avse,beian dan avdiki,an sebaiknya dipahami sebagai “dosa yang bersifat religius” dan “dosa yang bersifat moral”.

(1)   Konteks 1:18-32 menunjukkan perkembangan konsep yang sama. Dosa religius terhadap Allah (ayat 19-27) akan berdampak pada dosa moral terhadap sesama (ayat 28-32).

(2)   Pemikiran ini juga sesuai dengan konsep Yudaisme di kitab Kebijaksanaan Salomo yang menjadi latarbelakang pemikiran Paulus di 1:18-32.

(3)   Pemikiran ini juga sesuai dengan komposisi Sepuluh Perintah (perintah 1-4 relasi dengan Allah, sedangkan perintah 5-10 relasi dengan sesama).

Apapun pendapat sarjana tentang perbedaan makna yang ada, inti ayat 18a adalah murka Allah dinyatakan atas segala macam bentuk dosa manusia. Inti ini dinyatakan dalam penambahan kata pa/san (“segala”) di depan kata avse,beian dan avdiki,an.

3.      Justifikasi bagi murka Allah (18c-20).

Komposisi ayat 18-20 mengindikasikan bahwa fokus pembahasan Paulus terletak pada justifikasi bagi penyataan murka Allah. Fokus ini dibahas mulai dari ayat 18b (lihat “menindas kebenaran”) sampai ayat 20 (lihat “mereka tidak dapat berdalih”). Dengan kata lain, ayat 18-20 sebenarnya hanya menerangkan “menindas kebenaran”. Fokus ini bahkan juga menjadi inti pembahasan seluruh ayat 18-32. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan frase seperti “sekalipun mereka mengenal Allah” (ay. 21), “menggantikan kebenaran Allah” (ay. 25), “mengakui Allah” (ay. 28). Pemikiran ini juga akan dipakai Paulus ketika ia membahas keberdosaan bangsa Yahudi (2:1, 18, 20). Bangsa Yahudi memiliki kebenaran melalui Taurat, tetapi mereka menindas kebenaran tersebut, sehingga mereka juga tidak bisa berdalih.

Semua dosa yang dibahas di bagian ini pada dasarnya adalah tindakan menindas kebenaran. Allah telah menyatakan diri-Nya melalui ciptaan. Wahyu umum ini seharusnya membuat manusia menyadari eksistensi Allah dan menyembah Dia. Sebaliknya, manusia justru menyembah ciptaan Allah (ay. 21-27). Mereka juga menggantikan tatanan alam yang ditetapkan Allah dalam bidang seksual dengan pilihan mereka sendiri (ay. 28-31). Semua ini membuat mereka tidak bisa berdalih.

 

Penjelasan detail tentang menindas kebenaran (ay. 21-31)

Seperti sudah disinggung sebelumnya, ayat 21-32 masih berpusat pada inti pembahasan di ayat 18b, yaitu tentang tindakan menindas kebenaran melalui ketidakbenaran (band. ay. 21, 25, 28). Relasi tersebut juga bisa dilihat dari penggunaan kata sambung dio,ti (“sebab”) di ayat 21 yang menerangkan alasan mengapa manusia tidak dapat berdalih (ay. 20).

 

Mereka mengganti kebenaran dengan berhala – Allah menyerahkan... (21-24)

Bagian ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu diskripsi tentang dosa (ay. 21-23) dan konsekuensi dari dosa tersebut (ay. 24). Selanjutnya, ayat 21-23 dapat dibagi lagi menjadi dua bagian utama berdasarkan kata kerja participle yang memulai ayat 21 dan 22. Dua kata kerja participle tersebut diikuti oleh beberapa kata kerja dalam bentuk aorist indikatif.

 

Berdasarkan sintaks teks Yunani, struktur bagian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

 

à mereka tidak dapat berdalih (ay. 20)

|

|_____ sebab sekalipun mengenal (participle) Allah

|                                   _____

|                       _____  |           mereka tidak memuliakan (Dia) sebagai Allah

|                       |           |           atau

|                       |           |_____ mengucap syukur (kepada-Nya)

|                       |

______| sebaliknya __|

|           |                       |           _____

|           |                       |           |           mereka menjadi sia-sia dalam pikiran mereka

|           |                       |_____ |           dan

|           |                                   |_____ hati mereka yang tidakberpenertian menjadi gelap

|           |

|           |_____ (sebab) sekalipun mengklaim (participle) sebagai orang berhikmat

|                                               _____

|                                               |           mereka menjadi bodoh

|                                               |           dan

|                                               |_____ mereka mengganti kemuliaan Allah yang tidak fana

|                                                                       dengan gambaran yang mirip dengan

|                                                                                   | manusia yang tidak fana

|                                                                                   | burung-burung

|                                                                                   | hewan-hewan berkaki empat

|                                                                                   | hewan-hewan melata

|

Karena itu (Dio.), Allah menyerahkan mereka dalam hawa nafsu hati kepada kecemaran

sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka

 

Inti ayat 21-23 adalah penyembahan berhala, seperti dijelaskan secara eksplisit di ayat 23. Dengan kata lain, ayat 21-23 sebenarnya memberikan penjelasan terhadap penyembahan berhala.

1.      Penyembahan berhala secara esensial adalah respon manusia yang salah terhadap wahyu Allah (ay. 21a).

Allah telah mengambil inisiatif untuk menyatakan diri-Nya yang tidak terlihat melalui ciptaan yang dapat dilihat (ay. 19-20), sehingga manusia bisa mengenal Dia (ay. 21). Pengenalan ini pasti bukan dalam pengertian pribadi (subjektif), karena pengetahuan pribadi hanya dimungkinkan bagi orang yang percaya (band. 1Kor 1:21; 2Kor 5:16; Gal 4:9; Fil 3:8, 10). Pengetahuan yang bersifat objektif ini meliputi penyataan tentang hikmat, kemahakuasaan dan kebaikan Allah.

Respon yang tepat dari wahyu ini seharusnya adalah memuliakan dan mengucap syukur kepada-Nya. Kenyataannya, manusia tidak mau meresponi dengan tepat, sehingga tindakan tersebut dikategorikan sebagai penyembahan berhala. Konsep ini juga terlihat dari peristiwa penyembahan anak lembu emas di Kel 32-34. Bangsa Israel tetap menyebut ‘Allah’ mereka sebagai Yahweh yang telah membebaskan mereka dari tanah Mesir (Kel 32:4-6), tetapi tindakan mereka tidak tepat, sehingga dikategorikan sebagai penyembahan berhala. Pendeknya, pengetahuan tentang Allah harus tercermin dalam praktek hidup. Kegagalan mengintegrasikan konsep Allah ke dalam kehidupan nyata pada dasarnya adalah penyembahan berhala.

2.      Penyembahan berhala adalah pikiran yang sia-sia (ay. 21b).

Frase ‘pikiran mereka menjadi sia-sia’ sangat mungkin merujuk pada penyembahan berhala, karena kata mataio,w biasanya dikaitkan dengan penyembahan berhala. Dari tujuh pemunculan kata kerja mataio,w di LXX, tiga di antaranya terkait dengan penyembahan berhala (2Sam 17:15; Yer 2:5; 51:17). Kata benda ma,taia juga dipakai beberapa kali untuk berhala. Perhatian Paulus tampaknya terletak pada aspek kognitif manusia: dialogismoi/j (“pemikiran”), avsu,netoj (“tidak berpengertian”) dan kardi,a (“hati”) yang merujuk pada seluruh aspek hidup manusia tetapi secara khusus merujuk pada sikap mental.

3.      Penyembahan berhala adalah tindakan yang bodoh (ay. 22-23).

Orang-orang yang menyembah berhala menyangka bahwa mereka berhikmat, tetapi mereka sebenarnya bodoh (Yer 10:14; 1Kor 1-3). Manusia lebih memilih ilusi (gambaran) daripada realita (eksistensi). Mereka lebih memilih yang fana (ciptaan) daripada yang tidak fana (Pencipta).

 

Kata sambung dio. (“karena itu”) di awal ayat 24 mengindikasikan konsekuensi dari tindakan manusia di ayat 21-23. Respon (baca: hukuman Allah) atas mereka adalah Ia menyerahkan (pare,dwken) mereka dalam hawa nafsu hati mereka terhadap kecemaran. Tindakan ini tidak berarti bahwa Allah menyebabkan mereka berbuat dosa (Yak 1:13). Hati mereka sudah penuh dengan hawa nafsu (evn tai/j evpiqumi,aij tw/n kardiw/n auvtw/n eivj avkaqarsi,an). Tindakan ini juga bukan hanya sekedar bentuk kepasifan Allah. Dari istilah yang dipakai dan konteks 1:18-32 terlihat bahwa Allah secara aktif menyerahkan mereka. Allah bukan hanya membiarkan sebuah kapal yang terserang angin ribut tenggelam, tetapi Ia juga memberi dorongan ke bawah supaya kapal tersebut tenggelam (Calvin, Moo). Pengertian ini juga lebih sesuai dengan kitab Kebijaksanaan yang menjadi latar belakang bagian ini. Kebijaksanaan 11:15-16 menulis “sebagai balasan terhadap pemikiran mereka [bangsa Yunani] yang bodoh dan fasik, yang menyesatkan mereka ke penyembahan ular-ulat yang tidak rasional dan binatang-binatang yang tidak layak, Engkau mengirim ke atas mereka sejumlah besar ciptaan-ciptaan yang tidak rasional untuk menghukum mereka, supaya mereka dapat belajar bahwa seseorang dihukum melalui hal-hal yang ia pakai untuk berdosa”.

 

Isu penting seputar hal ini terkait dengan pertanyaan apakah tindakan ini bersifat final (tidak mungkin ada kemungkinan keselamatan) atau reformatoris (bertujuan untuk menyadarkan). Pilihan pertama disiratkan dalam terjemahan “give them up” (ASV, KJV, RSV), sedangkan pilihan kedua dalam terjemahan “give them over” (NIV, NASB). PL berkali-kali menunjukkan bahwa tindakan Allah menyerahkan umat-Nya ke tangan musuh mereka atau dosa mereka hanyalah sebuah instrumen untuk mempertobatkan mereka (Yes 19:22). Hal ini juga sesuai dengan pemikiran Paulus di Gal 3:21-25. Selain itu, konsep tersebut didukung oleh penggunaan kata kerja paradido,nai di surat Roma (8:32; 4:25; 6:17). Jika pendapat ini benar, maka tindakan Allah menyerahkan mereka ke dalam keberdosaan yang lebih parah bertujuan untuk menyadarkan betapa mereka telah berdosa, sehingga mereka bisa berbalik pada Allah.

 

Mereka mengganti kebenaran dengan dusta – Allah menyerahkan... (25-27)

Beberapa versi menerjemahkan permulaan ayat 25 dengan kata sambung “karena” (RSV, JB, NEB dan LAI:TB). Terjemahan ini diambil dengan pertimbangan bahwa induk kalimat adalah “Allah menyerahkan mereka..” dan bahwa ayat 25 adalah alasan bagi tindakan Allah di ayat 24. Pendapat ini tampaknya kurang tepat. Ayat 25 sebaiknya dipahami sebagai bagian pemikiran baru (NIV). Pertama, ayat 23 sudah memberikan alasan bagi tindakan Allah yang menyerahkan orang berdosa, sehingga Paulus tidak perlu membahas ulang di ayat 25. Kedua, Paulus tidak memakai kata sambung ga.r atau dio,ti. Ketiga, kata oi[tinej di awal ayat 25 dipakai Paulus untuk menghubungkan satu kalimat yang independen dari bagian sebelumnya (Rom 1:32; 2:15; Gal 4:24; Fil 3:7).

 

Struktur ayat 25-27 dapat digambarkan sebagai berikut:

 

_____  Mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta

|           dan

___|_____ [Mereka] menyembah

|     |           dan

|     |_____ [Mereka] melayani ciptaan daripada Pencipta

|                                                                             yang adalah terpuji selamanya

|

|________ Karena itu (Dia.), Allah menyerahkan mereka ke dalam hawa nafsu yang memalukan

____________________________________________________________|

|           _____

|_____ |            Karena wanita2x mereka menggantikan seksualitas yang wajar dengan yang tidak

|           dan

|_____ begitu juga laki-laki saling birahi satu sama lain

_______________________  dengan meninggalkan (participle) seksualitas wajar dengan wanita2x

|           _____

|_____ |           melakukan (participle) kemesuman laki-laki dengan laki-laki

|           dan

|_____ menerima (participle) dalam diri mereka balasan

yang setimpal dengan kesalahan mereka

 

Mereka tidak mau mengakui Allah – Allah menyerahkan...(28-31)

Mayoritas penerjemah umumnya mengartikan kata sambung kaqw.j secara causal, yaitu “sebab”. Terjemahan literal dari ayat 28a sebenarnya adalah “dan karena mereka tidak menganggap layak untuk memiliki Allah dalam pengetahuan mereka” (ASV, KJV). Penerjemah modern biasanya melihat frase di atas sebagai sebuah ungkapan yang berarti “tidak mau mengakui Allah”. Hukuman Allah atas tindakan ini adalah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang tidak layak dengan akibat mereka melakukan hal-hal yang tidak patut. Selanjutnya “hal-hal yang tidak patut” ini diterangkan dalam tiga kelompok: (1) di bawah kategori participle peplhrwme,nouj pa,sh| (“dipenuhi oleh berbagai...”, ay. 29a); (2) di bawah kategori kata sifat mestou.j (“penuh dengan”, ay. 29b); (3) kata sifat + kata benda akusatif (ay. 30-31).

 

Struktur ayat 28-31 dapat digambarkan sebagai berikut:

 

Dan karena mereka tidak menganggap layak untuk mengakui Allah

|

|_____ Allah menyerahkan mereka kepada pikiran yang tidak layak

|

|_____ sehingga melakukan hal-hal yang tidak patut

|                                               _____

|_____ Dipenuhi segala             |           kelaliman,

|                                               |           kejahatan,

|                                               |           keserakahan

|                                               |           dan

|                                               |_____ kebusukan

|_____ Penuh   kedengkian,

|                       pembunuhan,

|                       perselisihan,

|                       tipu muslihat

|                       dan

|                       kefasikan

|                                   _____

|_____ [adalah]            |           pengumpat,

|           pemfitnah,

|           pembenci Allah,

|           kurang ajar,

|           congkak,

|           sombong,

|           pandai dalam kejahatan,

|           tidak taat kepada orang tua,

|           tidak berakal,

|           tidak setia,

|           tidak penyayang,

|_____ tidak mengenal belas kasihan

 

Konklusi (ay. 32)

Fungsi ayat ini sebagai konklusi bagi ayat 18-31 sangat kentara, karena Paulus mengulang fokus utama bagian ini – yaitu menindas kebenaran (ay. 18) – dengan frase “sebab sekalipun mereka mengetahui hukum Allah...”. Frase to. dikai,wma tou/ qeou/ (“hukum Allah”) dalam surat Roma bisa merujuk pada perintah-perintah Musa (2:26), prinsip hidup Kristiani (8:4) dan kebenaran tindakan Kristus (5:16, 18). Dalam konteks ini Paulus tampaknya memikirkan semua prinsip moralitas dan religius yang umum.

 

Ayat ini menimbulkan kesulitan karena Paulus tampaknya menganggap tindakan menyetujui perbuatan dosa orang lain lebih berdosa daripada melakukan dosa (band. “bukan hanya melakukan, tetapi juga menyetujui mereka yang melakukannya”). Ada beberapa bukti bahwa menyetujui tindakan dosa memang lebih berdosa daripada melakukan dosa.

(1)   Orang yang melakukan dosa biasanya berada dalam tekanan atau cobaan yang kuat dalam situasi tertentu, sedangkan mereka yang menyetujui dosa tidak selalu menghadapi tekanan tersebut.

(2)   Mereka yang menyetujui dosa berarti memiliki mentalitas terhadap dosa yang memang sudah buruk.

(3)   Mereka yang menyetujui dosa memiliki potensi untuk mempengaruhi opini publik, sehingga semakin membuka peluang untuk tindakan dosa.