Bolehkah Kita Merayakan Natal?

oleh: Pdt. Budi Asali M.Div.


 

6) Adanya hal-hal yang dianggap salah yang menyertai Natal.

 

a)  Kata ‘Christmas’ itu sendiri.

 

Kata itu dikatakan berasal dari kata ‘Christ’s Mass’ (= Misa Kristus), dan karena itu orang-orang Protestan yang anti Natal mengatakan bahwa asal usul Natal adalah gabungan dari kekafiran / penyembahan berhala dan Katolik.

 

Tanggapan saya:

 

Kalau yang berasal usul dari kafir saja boleh digunakan selama kekafirannya disaring, apalagi yang berasal usul dari Katolik.

 

Juga kalau hanya persoalan nama, bagi kita yang tinggal di Indonesia gampang saja. Kita pakai saja istilah ‘Natal’, bukan ‘Christmas’. ‘Natal’ berasal dari bahasa Portugis (Encyclopedia Britannica 2000) dan artinya ‘dilahirkan’ atau ‘berkenaan dengan kelahiran’ [Webster’s New World Dictionary (College Edition)].

 

b)  Pohon Natal.

 

Internet:

 

·        “Ide untuk menggunakan pohon Natal juga masuk ke Inggris dari kepercayaan orang-orang Eropa sebelum mereka menjadi Kristen. Suku bangsa Celtic dan Teutonic menghormati pohon-pohon ini pada perayaan musim dingin sebagai simbol kehidupan kekal. Pohon ini disembah sebagai janji akan kembalinya sang matahari … Beberapa orang terpelajar mengangkat pohon ini, yang merupakan lambang kehidupan bagi para penyembah berhala, menjadi lambang Juru Selamat dan dengan demikian menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan perayaan hari kelahiranNya”.

 

·        “Tetapi jika Alkitab diam mengenai perayaan Natal, sesungguhnya Alkitab TIDAK DIAM mengenai adat kebiasaan bangsa kafir dalam mendirikan sebuah pohon – adat kebiasaan yang sama YANG TELAH MENJADI POHON NATAL! Hal ini akan mengejutkan banyak orang. Tetapi ini dia: Dengarlah firman yang disampaikan TUHAN kepadamu, hai kaum Israel! Beginilah firman TUHAN: ‘Janganlah biasakan dirimu dengan tingkah langkah bangsa-bangsa, janganlah gentar terhadap tanda-tanda di langit, sekalipun bangsa-bangsa gentar terhadapnya. Sebab yang disegani bangsa-bangsa adalah kesia-siaan. Bukankah berhala itu pohon kayu yang ditebang orang di hutan, yang dikerjakan dengan pahat oleh tangan tukang kayu? Orang memperindahnya dengan emas dan perak; orang memperkuatnya dengan paku dan palu, supaya jangan goyang. Berhala itu sama seperti orang-orangan di kebun mentimun, tidak dapat berbicara; orang harus mengangkatnya, sebab tidak dapat melangkah. Janganlah takut kepadanya …’ (Yer. 10:1-5)”.

 

·        “Kita MENGIRA bahwa pohon Natal melambangkan hidup kekal dari Kristus”.

 

Tanggapan saya:

 

1.  Penggunaan ayat yang menunjuk kepada berhala (Yer 10:1-5) dan lalu diarahkan kepada pohon Natal, jelas merupakan suatu pengawuran. Kata-kata ‘adat kebiasaan yang sama’ yang saya garis bawahi, merupakan suatu tuduhan konyol dan bodoh!

 

2.  Entah dari mana penulis di internet itu mengatakan bahwa pohon Natal merupakan simbol dari Juruselamat. Saya sendiri tak pernah mendengar hal itu, dan tak pernah menganggapnya demikian.

 

3.  Apakah pohon Natal berasal dari kekafiran?

 

Memang ada kemungkinan bahwa asal usul pohon Natal berbau kekafiran. Tetapi Encyclopedia Britannica membedakan pohon Natal kuno dan yang modern. Pohon Natal modern dikatakannya berasal dari Jerman Barat, dan tidak berurusan dengan penyembahan berhala atau kekafiran, tetapi berhubungan dengan pohon di Taman Eden, dan digunakan pada tanggal 24 Desember, yang merupakan hari raya untuk memperingati Adam dan Hawa. Penggunaan pohon yang terus menerus hijau  / tidak terpengaruh oleh musim dingin, seperti cemara, dimaksudkan sebagai simbol dari kehidupan yang kekal. Kalau ini benar, maka pohon Natal modern tidak bersumber pada kekafiran / penyembahan berhala.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Christmas tree’: “an evergreen, usually a balsam or douglas fir, decorated with lights and ornaments as a part of Christmas festivities. The use of evergreen trees, wreaths, and garlands as a symbol of eternal life was an ancient custom of the Egyptians, Chinese, and Hebrews. Tree worship, common among the pagan Europeans, survived after their conversion to Christianity in the Scandinavian customs of decorating the house and barn with evergreens at the New Year to scare away the devil and of setting up a tree for the birds during Christmastime; it survived further in the custom, also observed in Germany, of placing a Yule tree at an entrance or inside the house in the midwinter holidays. The modern Christmas tree, though, originated in western Germany. The main prop of a popular medieval play about Adam and Eve was a fir tree hung with apples (paradise tree) representing the Garden of Eden. The Germans set up a paradise tree in their homes on December 24, the religious feast day of Adam and Eve. They hung wafers on it (symbolizing the host, the Christian sign of redemption); in a later tradition, the wafers were replaced by cookies of various shapes. Candles, too, were often added as the symbol of Christ. In the same room, during the Christmas season, was the Christmas pyramid, a triangular construction of wood, with shelves to hold Christmas figurines, decorated with evergreens, candles, and a star. By the 16th century, the Christmas pyramid and paradise tree had merged, becoming the Christmas tree. The custom was widespread among the German Lutherans by the 18th century, but it was not until the following century that the Christmas tree became a deep-rooted German tradition. Introduced into England in the early 19th century, the Christmas tree was popularized in the mid-19th century by the German Prince Albert, husband of Queen Victoria. The Victorian tree was decorated with candles, candies, and fancy cakes hung from the branches by ribbon and by paper chains. Brought to North America by German settlers as early as the 17th century, Christmas trees were the height of fashion by the 19th century. They were also popular in Austria, Switzerland, Poland, and The Netherlands. In China and Japan, Christmas trees, introduced by western missionaries in the 19th and 20th centuries, were decorated with intricate paper designs”.

 

Saya hanya menterjemahkan bagian yang saya garis bawahi, yang adalah sebagai berikut:

“Tetapi Pohon Natal modern, berasal usul dari Jerman Barat. Alat / barang utama yang diperlukan di panggung dari suatu sandiwara populer abad pertengahan tentang Adam dan Hawa adalah suatu pohon semacam cemara yang digantungi buah-buah apel (pohon Firdaus) menggambarkan Taman Eden. Orang-orang Jerman mendirikan / memasang suatu pohon Firdaus di rumah mereka pada tanggal 24 Desember, hari raya agamawi dari Adam dan Hawa”.

 

4.  Memang saya sendiri berpendapat bahwa ada hal-hal yang negatif tentang pohon Natal, yaitu:

 

a.  Hiasan Santa Claus. Ini menurut saya harus dibuang.

 

b.  Hiasan yang tidak sesuai dengan fakta.

 

Dengan memberikan salju-saljuan, maka itu menunjukkan bahwa seolah-olah Natal terjadi pada musim dingin. Padahal boleh dikatakan tidak mungkin bahwa Natal terjadi pada musim dingin, mengingat bahwa para gembala berada di luar / di padang pada malam hari, pada saat mereka mendapat berita Natal dari malaikat-malaikat.

 

Luk 2:8-11 - “(8) Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. (9) Tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan. (10) Lalu kata malaikat itu kepada mereka: ‘Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: (11) Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud”.

 

Jadi mungkin hiasan salju-saljuan itu harus dibuang, untuk lebih menyesuaikan dengan fakta. Juga lagu seperti ‘White Christmas’.

 

c.  Penekanan yang saya anggap berlebihan terhadap pohon Natal.

 

Mengapa saya katakan berlebihan? Karena bagi banyak orang, pohon Natal menjadi sesuatu yang mutlak harus ada. Kalau tidak ada pohon Natal, maka seolah-olah itu bukan Natal. Dengan demikian bagi banyak orang kristen, pohon Natal menjadi hakekat dari Natal, padahal sebetulnya, kalau mau berbicara secara strict / ketat, maka Natal sama sekali tidak berurusan dengan pohon Natal.

 

Apa bahayanya kalau pohon Natal itu menjadi terlalu penting? Semua hal dalam kekristenan yang menjadi terlalu penting, bisa menggeser apa yang seharusnya merupakan hal terpenting dalam Natal, yaitu Yesus Kristus sendiri.

 

Earl Riney: “The Christmas tree has taken the place of the altar in too much of our modern Christmas observance” (= Pohon Natal telah mengambil tempat di altar dalam terlalu banyak dari perayaan Natal modern kita) - ‘The Encyclopedia of Religious Quotations’, hal 113-114.

 

Illustrasi: round girl (gadis yang membawa papan penunjuk ronde dalam pertandingan tinju) yang terlalu cantik dan sexy menyebabkan penonton tidak memperhatikan papan bertuliskan ronde ke berapa yang sedang ia bawakan. Demikian juga kalau pohon Natal terlalu ditonjolkan itu bisa menyebabkan orang-orang tidak lagi melihat kepada Kristus, tetapi kepada pohon Natal itu.

 

Saya tidak mengharuskan untuk membuang pohon Natal secara total; itu rasanya tidak mungkin. Tetapi setidaknya kita harus mengurangi penekanan yang berlebihan pada pohon Natal ini, supaya jangan pohon Natal, yang sebetulnya tidak ada hubungannya dengan Natal, mengaburkan / menggeser fokus yang sebenarnya dari Natal.

 

c)  Sinterklaas / Santa Claus.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Santa Claus’: “legendary figure who is the traditional patron of Christmas in the United States and other countries. His popular image is based on traditions associated with a 4th-century Christian saint. See Nicholas, Saint.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Nicholas, Saint’: Nicholas’ existence is not attested by any historical document, so nothing certain is known of his life except that he was probably bishop of Myra in the 4th century. According to tradition, he was born in the ancient Lycian seaport city of Patara, and, when young, he traveled to Palestine and Egypt. He became bishop of Myra soon after returning to Lycia. He was imprisoned during the Roman emperor Diocletian’s persecution of Christians but was released under the rule of Emperor Constantine the Great and attended the first Council (325) of Nicaea. After his death he was buried in his church at Myra, and by the 6th century his shrine there had become well known. In 1087 Italian sailors or merchants stole his alleged remains from Myra and took them to Bari, Italy; this removal greatly increased the saint’s popularity in Europe, and Bari became one of the most crowded of all pilgrimage centres. Nicholas’ relics remain enshrined in the 11th-century basilica of San Nicola, Bari. Nicholas’ reputation for generosity and kindness gave rise to legends of miracles he performed for the poor and unhappy. He was reputed to have given marriage dowries of gold to three girls whom poverty would otherwise have forced into lives of prostitution, and he restored to life three children who had been chopped up by a butcher and put in a brine tub. In the Middle Ages, devotion to Nicholas extended to all parts of Europe. He became the patron saint of Russia and Greece; of charitable fraternities and guilds; of children, sailors, unmarried girls, merchants, and pawnbrokers; and of such cities as Fribourg, Switz., and Moscow. Thousands of European churches were dedicated to him, one as early as the 6th century, built by the Roman emperor Justinian I, at Constantinople (now Istanbul). Nicholas’ miracles were a favourite subject for medieval artists and liturgical plays, and his traditional feast day was the occasion for the ceremonies of the Boy Bishop, a widespread European custom in which a boy was elected bishop and reigned until Holy Innocents’ Day (December 28). After the Reformation, Nicholas’ cult disappeared in all the Protestant countries of Europe except Holland, where his legend persisted as Sinterklaas (a Dutch variant of the name Saint Nicholas). Dutch colonists took this tradition with them to New Amsterdam (now New York City) in the American colonies in the 17th century. Sinterklaas was adopted by the country’s English-speaking majority under the name Santa Claus, and his legend of a kindly old man was united with old Nordic folktales of a magician who punished naughty children and rewarded good children with presents. The resulting image of Santa Claus in the United States crystallized in the 19th century, and he has ever since remained the patron of the gift-giving festival of Christmas. Under various guises Saint Nicholas was transformed into a similar benevolent, gift-giving figure in The Netherlands, Belgium, and other northern European countries. In the United Kingdom Santa Claus is known as Father Christmas.

 

Dari kata-kata Encyclopedia Britannica 2000 di atas bisa didapatkan bahwa namaSanta Claus’ berasal dari St. Nicholas, yang keberadaannya tidak dibuktikan oleh dokumen sejarah manapun. Jadi tidak ada yang pasti yang kita ketahui tentang hidupnya. Yang diketahui tentang dia berasal dari tradisi. Mungkin ia menjadi uskup di kota Myra pada abad ke 4 M. Ia dipenjara pada masa pemerintahan kaisar Diocletian, tetapi lalu dibebaskan pada masa pemerintahan kaisar Konstantine yang Agung, dan menghadiri Sidang Gereja Nicea (tahun 325 M.). Setelah kematiannya ia dikuburkan di Myra, dan pada tahun 1087 M. seseorang mencuri jenazahnya dan membawanya ke Bari, Italia. Ini menjadikan dia populer di Eropah dan Bari menjadi tempat yang dipenuhi oleh orang-orang yang berziarah. Reputasi Nicholas berkenaan dengan kedermawanan dan kebaikannya menyebabkan munculnya dongeng-dongeng berkenaan dengan mujizat-mujizat yang dilakukannya terhadap orang-orang yang miskin / tidak bahagia, bahkan mujizat kebangkitan orang mati. Di Belanda, variasi dari Santa Claus ini adalah Sinterklaas, yang ceritanya lebih berbau takhyul dan dongeng.

 

Dari semua ini kita bisa melihat bahwa ini jelas-jelas merupakan sesuatu yang salah, karena bukan hanya tidak ada urusannya sama sekali dengan Natal, tetapi bahkan bersifat dusta / takhyul. Karena itu Santa Claus / Sinterklaas, baik gambarnya, patung / bonekanya, beserta lagu-lagunya, harus disingkirkan. Celakanya, mungkin separuh lagu-lagu Natal berbahasa Inggris berhubungan dengan Santa Claus!

 

d)  Pesta pora dan tukar hadiah.

 

Internet: “engkau berkata, bukankah saling tukar hadiah itu Alkitabiah? Jawabnya adalah TIDAK! Dari Biblioteca Sacra, edisi 12, hal 153-155, kita baca, Saling tukar hadiah di antara kawan-kawan menjadi karakteristik yang sama antara perayaan Natal dan Saturnalia, dan diadopsi oleh orang-orang Kristen dari penyembahan berhala, sebagaimana yang ditunjukkan dengan jelas oleh Tertullian. Faktanya adalah bahwa saling tukar hadiah dengan kawan-kawan dan tetangga dan famili pada hari Natal adalah tidak ada nilai Kekristenannya sama sekali! Perbuatan ini TIDAK berhubungan dengan kelahiran Kristus ataupun menghormati Dia. Sikap pilih kasih yang sering dilakukan dalam memberi menjadi tanda lainnya yang menunjukkan bahwa saling tukar hadiah tidak sejalan dengan firman Allah. Kami tidak anti terhadap semangat memberi, tetapi mengapa harus menunggu sampai dengan bulan Desember, jika waktu-waktu lainnya dalam tahun itu akan lebih berguna? Juga cara dalam hal memberi sering menunjukkan ketidaktulusan. Banyak dari mereka yang memberi berharap untuk mendapatkan balasan. Ini sama sekali terpisah dari Roh Allah dan mereka telah mendapat upahnya! Coba perhatikan ini: miliaran dollar harus dikeluarkan untuk hadiah-hadiah setiap tahunnya hanya oleh SATU DOKTRIN YANG SALAH. Pengajaran yang salah ini adalah: Oleh karena orang majus membawa persembahan kepada Yesus, oleh sebab itu kita juga harus memberi. Tetapi apakah pemberian kita kepada Yesus? Kepada pekerjaan-Nya? Tidak. TIDAK. Kita memberi hadiah yang bernilai miliaran dollar kepada satu sama lain. KEBENARANNYA adalah ini: Orang-orang majus membawa persembahannya langsung kepada Yesus, bukan kepada satu sama lain. Dan pemberian mereka bukanlah pemberian sebagai hadiah kelahiran-Nya. Mereka datang kepada-Nya setelah berbulan-bulan kemudian ketika Yesus bukan lagi bayi yang baru lahir di dalam sebuah rumah (bukan kandang) (Matius 2:9,11) di Nazaret, bukan Betlehem, Lukas 2:39. Jika seseorang ingin mengunjungi seorang raja, maka ia harus membawa hadiah. Itulah kebiasaan yang umum di negeri Timur jauh. Orang-orang majus ini tidak memberikan HADIAH KELAHIRAN kepada Yesus! Mereka merindukan datangnya RAJA YAHUDI dan mereka membawa persembahan kepada-Nya oleh karena Ia dulu, sekarang dan besok tetap RAJA! Beberapa orang mengatakan bahwa Semangat Natal dan pemberian hadiah merupakan suatu hal yang baik. Tetapi sesungguhnya itu merupakan ADAT KEBIASAAN YANG KEJI. Setiap tahun orang-orang Kristen menghabiskan tabungan mereka untuk hadiah-hadiah Natal yang tidak bermanfaat. Banyak dari mereka yang jatuh dalam hutang dan menjalani hidup tahun berikutnya dengan membayar hutang untuk hadiah yang telah mereka beli sebagai balasan dari hadiah yang mereka terima. Saling tukar hadiah satu sama lain sama sekali tidak merayakan hari kelahiran-Nya ataupun menghormati-Nya. Sebaliknya, Natal adalah KEJIJIKAN bagi Tuhan Yesus. Natal adalah kejijikan bagi pekerjaan Tuhan dan umat Tuhan. Miliaran dollar digunakan untuk pernik-pernik dan barang-barang yang tidak penting. Sejumlah uang milik Tuhan digunakan untuk hal-hal yang bodoh, pesta pora dengan makanan-makanan yang lezat, memenuhi nafsu serakahnya. Sebagai akibatnya mereka menderita berbagai macam penyakit oleh karena kerakusannya. Semua ini merupakan kekejian bagi Tuhan dan sama sekali TIDAK BERHUBUNGAN dengan kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus. Natal merupakan saat yang penuh dengan kedagingan pada tingkat yang tinggi, sementara nilai kerohaniannya rendah. Kita tahu bahwa orang-orang yang BELUM DISELAMATKAN tidak menyembah Yesus. Tetapi mereka SUNGGUH-SUNGGUH MENIKMATI NATAL! Mengapa? Oleh karena perhiasan-perhiasannya, pesta-pestanya, hadiah-hadiahnya, dsb. semua yang berkaitan dengan dagingnya. INILAH ROH NATAL yang telah mencengkeram seluruh dunia. Apakah itu Roh Tuhan? Bukan! INILAH SAATNYA bagi mereka yang hendak menjadi ANAK-ANAK ALLAH untuk meninggalkan semua sampah semacam itu..

 

Tanggapan saya:

 

1.  Ini kata-kata dari orang yang memang sudah antipati / berprasangka, dan selalu menyoroti sudut negatifnya, dan mempunyai pikiran sempit / tidak berpikiran panjang. Memang bisa ada ketidak-tulusan, berharap mendapat balasan, dan sebagainya. Tetapi apakah semua orang kristen seperti itu? Kalau hanya sebagian, bahkan hanya sebagian kecil yang seperti itu, haruskah semuanya dibuang?

 

Dalam memberi persembahan kepada Tuhan, bukankah juga banyak orang yang tidak tulus, yang mengharapkan balasan berlipat ganda dsb? Jadi, apakah acara persembahan dalam gereja harus dihapuskan?

 

Dalam segala hal yang dilakukan terhadap Tuhan, seperti berbakti, berdoa, melayani, dsb, selalu bisa ada motivasi yang salah. Ini tidak menyebabkan semua itu harus dibuang.

 

2.  Tentang adanya orang kristen yang dikatakan menghabiskan uang tabungannya, sampai berhutang dsb, menurut saya ini suatu penggambaran berlebihan (exaggeration), yang berbau fitnahan. Itu mungkin terjadi pada banyak orang Islam di Indonesia pada saat merayakan Idul Fitri, tetapi tidak pada diri orang kristen yang merayakan Natal atau memberi hadiah pada Natal. Dan kalau memang ada orang kristen seperti itu, itu kesalahan orang itu sendiri. Haruskah, karena kesalahan satu atau dua orang dalam merayakan Natal, kita membuang seluruh Natal?

 

3.  Tukar hadiah, sekalipun memang tidak boleh dijadikan suatu keharusan, bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dan mengakrabkan. Jadi ini bisa menjadi sesuatu yang memajukan persekutuan, dan karena itu bisa menjadi sesuatu yang baik. Jadi, mengapa hanya mencari-cari sudut jeleknya, dan mengabaikan sudut baiknya?

 

4.  Tentang asal usul tukar hadiah, penulis di internet di atas bertentangan dengan dirinya sendiri. Mula-mula ia mengatakan itu berasal dari perayaan Saturnalia, lalu ia mengatakan bahwa itu berasal dari pemberian orang-orang Majus kepada Kristus. Yang mana yang benar? Jelas bahwa orang bodoh ini tidak mengerti apa yang ia sendiri katakan. Dan jelas bahwa asal usul dari tukar menukar hadiah itu, tidak bisa dipastikan.

 

Di bawah akan kita lihat bahwa Edersheim mengatakan bahwa orang-orang Yahudi juga melakukan tukar hadiah pada perayaan Purim. Apakah tidak mungkin bahwa ini asal usulnya?

 

5.  Pesta dan makan tidak salah selama tidak berlebihan dan tidak disertai hal-hal yang amoral / bertentangan dengan Kitab Suci. Ini terlihat dari hal-hal sebagai berikut:

 

a.  Dalam Perjanjian Lama ada beberapa pesta / perayaan yang bahkan diharuskan!

 

Kel 23:14 - “‘Tiga kali setahun haruslah engkau mengadakan perayaan bagiKu”.

 

Im 8:33 - “Janganlah kamu pergi dari depan pintu Kemah Pertemuan selama tujuh hari, sampai kepada genapnya perayaan pentahbisan, karena perayaan pentahbisan akan berlangsung tujuh hari lamanya.

 

Bdk. Neh 8:17-19 - “(17) Maka pergilah orang mengambil daun-daun itu, lalu membuat pondok-pondok, masing-masing di atas atap rumahnya, di pekarangan mereka, juga di pelataran-pelataran rumah Allah, di lapangan pintu gerbang Air dan di lapangan pintu gerbang Efraim. (18) Seluruh jemaah yang pulang dari pembuangan itu membuat pondok-pondok dan tinggal di situ. Memang sejak zaman Yosua bin Nun sampai hari itu orang Israel tidak pernah berbuat demikian. Maka diadakanlah pesta ria yang amat besar. (19) Bagian-bagian kitab Taurat Allah itu dibacakan tiap hari, dari hari pertama sampai hari terakhir. Tujuh hari lamanya mereka merayakan hari raya itu dan pada hari yang kedelapan ada pertemuan raya sesuai dengan peraturan”.

 

b.  Ayub, yang oleh Kitab Suci dikatakan sebagai orang yang sangat saleh, tidak keberatan kalau anak-anaknya mengadakan pesta.

 

Ayub 1:4-5 - “(4) Anak-anaknya yang lelaki biasa mengadakan pesta di rumah mereka masing-masing menurut giliran dan ketiga saudara perempuan mereka diundang untuk makan dan minum bersama-sama mereka. (5) Setiap kali, apabila hari-hari pesta telah berlalu, Ayub memanggil mereka, dan menguduskan mereka; keesokan harinya, pagi-pagi, bangunlah Ayub, lalu mempersembahkan korban bakaran sebanyak jumlah mereka sekalian, sebab pikirnya: ‘Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati.’ Demikianlah dilakukan Ayub senantiasa”.

 

Alangkah berbedanya sikap Ayub ini dengan sikap orang-orang munafik yang menunjukkan sikap sok suci mereka dengan anti pesta!

 

c.  Yesus bahkan memberikan perintah yang bijaksana bagi orang-orang yang menghadiri suatu pesta.

 

Luk 14:7-11 - “(7) Karena Yesus melihat, bahwa tamu-tamu berusaha menduduki tempat-tempat kehormatan, Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka: (8) ‘Kalau seorang mengundang engkau ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan, sebab mungkin orang itu telah mengundang seorang yang lebih terhormat dari padamu, (9) supaya orang itu, yang mengundang engkau dan dia, jangan datang dan berkata kepadamu: Berilah tempat ini kepada orang itu. Lalu engkau dengan malu harus pergi duduk di tempat yang paling rendah. (10) Tetapi, apabila engkau diundang, pergilah duduk di tempat yang paling rendah. Mungkin tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu: Sahabat, silakan duduk di depan. Dan dengan demikian engkau akan menerima hormat di depan mata semua tamu yang lain. (11) Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.’”.

 

Bagaimana mungkin Yesus memberikan peraturan seperti ini kalau pesta memang dilarang?

 

d.  Kitab Suci beberapa kali menceritakan bahwa Yesus sendiri juga menghadiri pesta.

 

Yoh 2:1-11 - “(1) Pada hari ketiga ada perkawinan di Kana yang di Galilea, dan ibu Yesus ada di situ; (2) Yesus dan murid-muridNya diundang juga ke perkawinan itu. (3) Ketika mereka kekurangan anggur, ibu Yesus berkata kepadaNya: ‘Mereka kehabisan anggur.’ (4) Kata Yesus kepadanya: ‘Mau apakah engkau dari padaKu, ibu? SaatKu belum tiba.’ (5) Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: ‘Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!’ (6) Di situ ada enam tempayan yang disediakan untuk pembasuhan menurut adat orang Yahudi, masing-masing isinya dua tiga buyung. (7) Yesus berkata kepada pelayan-pelayan itu: ‘Isilah tempayan-tempayan itu penuh dengan air.’ Dan merekapun mengisinya sampai penuh. (8) Lalu kata Yesus kepada mereka: ‘Sekarang cedoklah dan bawalah kepada pemimpin pesta.’ Lalu merekapun membawanya. (9) Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu - dan ia tidak tahu dari mana datangnya, tetapi pelayan-pelayan, yang mencedok air itu, mengetahuinya - ia memanggil mempelai laki-laki, (10) dan berkata kepadanya: ‘Setiap orang menghidangkan anggur yang baik dahulu dan sesudah orang puas minum, barulah yang kurang baik; akan tetapi engkau menyimpan anggur yang baik sampai sekarang.’ (11) Hal itu dibuat Yesus di Kana yang di Galilea, sebagai yang pertama dari tanda-tandaNya dan dengan itu Ia telah menyatakan kemuliaanNya, dan murid-muridNya percaya kepadaNya”.

 

Yoh 4:45 - “Maka setelah ia tiba di Galilea, orang-orang Galileapun menyambut Dia, karena mereka telah melihat segala sesuatu yang dikerjakanNya di Yerusalem pada pesta itu, sebab mereka sendiripun turut ke pesta itu”.

 

Yoh 7:2-10 - “(2) Ketika itu sudah dekat hari raya orang Yahudi, yaitu hari raya Pondok Daun. (3) Maka kata saudara-saudara Yesus kepadaNya: ‘Berangkatlah dari sini dan pergi ke Yudea, supaya murid-muridMu juga melihat perbuatan-perbuatan yang Engkau lakukan. (4) Sebab tidak seorangpun berbuat sesuatu di tempat tersembunyi, jika ia mau diakui di muka umum. Jikalau Engkau berbuat hal-hal yang demikian, tampakkanlah diriMu kepada dunia.’ (5) Sebab saudara-saudaraNya sendiripun tidak percaya kepadaNya. (6) Maka jawab Yesus kepada mereka: ‘WaktuKu belum tiba, tetapi bagi kamu selalu ada waktu. (7) Dunia tidak dapat membenci kamu, tetapi ia membenci Aku, sebab Aku bersaksi tentang dia, bahwa pekerjaan-pekerjaannya jahat. (8) Pergilah kamu ke pesta itu. Aku belum pergi ke situ, karena waktuKu belum genap.’ (9) Demikianlah kataNya kepada mereka, dan Iapun tinggal di Galilea. (10) Tetapi sesudah saudara-saudara Yesus berangkat ke pesta itu, Iapun pergi juga ke situ, tidak terang-terangan tetapi diam-diam. ... (14) Waktu pesta itu sedang berlangsung, Yesus masuk ke Bait Allah lalu mengajar di situ. ... (37) Dan pada hari terakhir, yaitu pada puncak perayaan itu, Yesus berdiri dan berseru: ‘Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepadaKu dan minum!”.

 

Yang dilarang oleh Kitab Suci dalam ayat-ayat di bawah ini, jelas bukan seadanya pesta, tetapi pesta pora yang berlebihan.

 

¨       Luk 21:34 - “‘Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat oleh pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi dan supaya hari Tuhan jangan dengan tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti suatu jerat”.

 

¨       Ro 13:13 - “Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati”.

 

¨       Gal 5:19-21 - “(19) Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, (20) penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, (21) kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu - seperti yang telah kubuat dahulu - bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah”.

 

¨       1Pet 4:3 - “Sebab telah cukup banyak waktu kamu pergunakan untuk melakukan kehendak orang-orang yang tidak mengenal Allah. Kamu telah hidup dalam rupa-rupa hawa nafsu, keinginan, kemabukan, pesta pora, perjamuan minum dan penyembahan berhala yang terlarang”.

 

Perhatikan bahwa dalam semua ayat-ayat di atas, kata-kata ‘pesta pora’ selalu bergandengan dengan ‘kemabukan’.

 

e)  Kesibukan, tenaga dan uang yang dikeluarkan.

 

Internet: “Menimbang banyaknya kesibukan yang harus dilakukan, dan waktu, tenaga dan uang yang harus dikeluarkan, hanya untuk menikmati perayaan ini, maka adalah PEMIKIRAN YANG BIJAKSANA jika kita mau berpegang pada firman Allah”.

 

Jawaban saya:

 

Orang bodoh ini menganggap Natal tidak berguna, sehingga lalu menganggap semua kesibukan, tenaga, uang, pikiran yang dikeluarkan untuk Natal sebagai sia-sia. Tetapi kalau ia mau membuka matanya sedikit saja, maka mungkin ia bisa melihat bahwa pada perayaan Natal kita bisa memberitakan Injil, mengembalikan kasih yang semula, mengingat kembali cinta Tuhan bagi kita, mempererat persekutuan dengan sesama saudara seiman, dan seharusnya ia bisa melihat bahwa semua ini bukanlah sesuatu yang sia-sia.

 

f)  Kartu Natal.

 

Dalam persoalan mengirim kartu Natal, ini memang bisa menjadi suatu pemborosan uang. Saya sering ‘memarahi’ jemaat saya yang melakukan pemborosan uang dengan mengirim kartu Natal kepada saya, padahal mereka bertemu dengan saya dalam kebaktian. Mengapa tidak memberi selamat Natal dengan tangan saja, yang biayanya gratis? Tetapi pada saat yang sama saya tidak anti secara mutlak terhadap pengiriman kartu Natal, karena pengiriman kartu Natal itu bisa menjadi sarana penginjilan kalau kita memilih kartu yang kata-katanya bersifat penginjilan, atau kalau kita menuliskan ayat-ayat yang injili pada kartu Natal tersebut.

 

Juga sekarang, dengan adanya handphone dan SMS, maka ucapan selamat Natal bisa dilakukan melalui SMS dengan lebih cepat dan lebih murah. Hal yang sama bisa dilakukan dengan email / internet.

 

g)  Mistletoe.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Mistletoe’: “any of many species of semiparasitic green plants of the families Loranthaceae and Viscaceae, especially those of the genera Viscum, Phoradendron, and Arceuthobium, all members of the Viscaceae. Viscum album, the traditional mistletoe of literature and Christmas celebrations, is distributed throughout Eurasia from Great Britain to northern Asia. Its North American counterpart is Phoradendron serotinum. Species of the genus Arceuthobium, parasitic primarily on coniferous trees, are known by the name dwarf mistletoe. The legendary mistletoe was known for centuries before the Christian era. It forms a drooping yellowish evergreen bush, 0.6 to 0.9 m (about 2 to 3 feet) long, on the branch of a host tree. It has thickly crowded, forking branches with oval to lance-shaped, leathery leaves about 5 cm (2 inches) long, arranged in pairs, each opposite the other on the branch. The flowers, in compact spikes, are bisexual, unisexual, or regular. They are yellower than the leaves and appear in the late winter and soon give rise to one-seeded, white berries, which when ripe are filled with a sticky, semitransparent pulp. These berries, and those of other mistletoes, contain toxic compounds poisonous to animals and to humans. Most tropical mistletoes are pollinated by birds, most temperate species by flies and wind. Fruit-eating birds distribute the seeds in their droppings or by wiping their beaks, to which the seeds often adhere, against the bark of a tree. After germination a modified root (haustorium) penetrates the bark of the host tree and forms a connection through which water and nutrients pass from host to parasite. Mistletoes contain chlorophyll and can make some of their own food. Most mistletoes parasitize a variety of hosts, and some species even parasitize other mistletoes, which, in turn, are parasitic on a host. The Eurasian Viscum album is most abundant on apple trees, poplars, willows, lindens, and hawthorns. Species of Phoradendron in America also parasitize many deciduous trees, including oaks. In some parts of Europe the midsummer gathering of mistletoe is still associated with the burning of bonfires, a remnant of sacrificial ceremonies performed by ancient priests, or druids. Mistletoe was once believed to have magic powers as well as medicinal properties. Later, the custom developed in England (and, still later, the United States) of kissing under the mistletoe, an action that once was believed to lead inevitably to marriage. Mistletoes are slow-growing but persistent; their natural death is determined by the death of the hosts. They are pests of many ornamental, timber, and crop trees and are the cause of abnormal growths called ‘witches’ brooms’ that deform the branches and decrease the reproductive ability of the host. The only effective control measure is complete removal of the parasite from the host”.

 

Saya hanya menterjemahkan bagian yang saya garis-bawahi, yaitu:

“Mistletoe pernah dipercaya mempunyai kekuatan magis maupun khasiat pengobatan. Belakangan, berkembang suatu kebiasaan di Inggris (dan, lebih belakangan lagi, di Amerika Serikat) tentang penciuman di bawah mistletoe, suatu tindakan yang pernah dipercaya akan membimbing secara tak terelakkan pada pernikahan”.

 

Tradisi penciuman di Inggris dan Amerika berkenaan dengan tanaman mistletoe ini, adalah sebagai berikut: dalam suatu perayaan Natal, tanaman mistletoe ini dijadikan hiasan yang biasanya diletakkan di langit-langit rumah. Kalau ada orang yang tanpa sengaja tahu-tahu berdiri di bawah tanaman itu, maka siapapun boleh mencium orang itu. Tradisi ini boleh dikatakan tidak ada di Indonesia, dan juga tidak terlalu penting.

 

Memang jelas bahwa perayaan Natal sering dicampur aduk dengan hal-hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Natal, dan bahkan dengan hal-hal yang bertentangan dengan Kitab Suci, seperti pesta pora, mabuk-mabukan, dan khususnya Sinterklaas / Santa Claus dan lagu-lagu tentangnya, yang paling saya benci, karena merupakan suatu dusta. Hal-hal ini memang harus dibuang dari perayaan Natal. Tetapi bahwa ada orang-orang tertentu yang merayakan Natal dengan menggunakan hal-hal ini, tidak berarti bahwa kita harus membuang seluruh Natal. Sama saja kalau ada orang menggunakan mobil untuk merampok, itu tidak berarti bahwa kita tidak boleh menggunakan mobil. Juga kalau ada sebagian orang kristen berbakti dengan cara yang salah, itu tidak berarti bahwa semua kebaktian harus dibuang. Jadi, saya berpendapat perayaan Natal bukannya harus dibuang tetapi harus dimurnikan / dibersihkan. Saudara mungkin berkata bahwa tidak mungkin kita bisa memurnikan Natal. Maka saya jawab bahwa gereja juga banyak mengandung kebobrokan, dan harus dimurnikan. Apakah mungkin memurnikan gereja? Jelas tidak mungkin, tetapi kita toh tidak ragu-ragu untuk mempertahankan keberadaan gereja. Lalu apa bedanya dengan Natal?