Bolehkah Kita Merayakan Natal?

oleh: Pdt. Budi Asali M.Div.


 

5) Natal berasal dari kekafiran.

 

Internet:

 

1.  “Catatan-catatan sejarah di dalam Ensiklopedia, yang bisa kita dapatkan di perpustakaan-perpustakaan, dan yang dapat dipercaya, memberikan fakta-fakta ini: bahwa Natal berasal dari bangsa kafir. Jika ditelusuri, Natal merupakan kepanjangan dari penyembah-penyembah matahari di antara bangsa-bangsa kafir. Banyak hari kelahiran dari para pemimpin kafir dirayakan oleh bangsa Babilonia. Semua perayaan penyembahan berhala ini berasal dari bangsa kafir. Kata Christmas (Natal) berarti Misa Kristus. Kata ini kemudian disingkat menjadi Christ-Mass; dan akhirnya menjadi Christmas. Kita kenal misa ini sebagai Misa Roma Katolik. Tetapi dari mana mereka mendapatkannya? Oleh karena kita mengenalnya lewat Gereja Roma Katolik, dan tidak ada wewenang selain Gereja Roma Katolik, marilah kita selidiki Ensiklopedia Katolik, yang diterbitkan oleh denominasi ini. Di bawah judul Christmas (Natal) engkau akan menemukan kata-kata ini: Natal tidak terdapat pada perayaan-perayaan Gereja jaman dahulu … Bukti awal dari perayaan ini adalah dari Mesir. Adat kebiasaan dari para penyembah berhala yang berlangsung sekitar bulan Januari ini kemudian dijadikan Natal. ... ENSIKLOPEDIA AMERICANA, edisi 1969, berkata: Natal, nama ini berasal dari bahasa Inggris kuno Chrites Maesse dan ejaan sekarang ini nampaknya mulai digunakan pada sekitar abad ke 16. Semua gereja Kristen kecuali gereja Armenia merayakan hari kelahiran Kristus pada tanggal 25 Desember. Tanggal ini tidak dikenal di negeri Barat sampai kira-kira pertengahan abad ke 4 dan di Timur sampai kira-kira seabad kemudian”.

 

2.  “Mengikuti CARA-CARA ORANG KAFIR bukanlah persoalan mengenai mana yang harus kita lakukan atau mana yang tidak boleh kita lakukan menurut pemikiran kita sendiri. Di dalam 1 Raja-raja 11:4-11 Allah menghukum raja Salomo untuk hal yang satu ini. Allah merobek Kerajaannya darinya”.

 

Penyamaan dengan Salomo, yang memang mendukung penyembahan berhala ini merupakan kegilaan yang tidak perlu ditanggapi.

 

3.  “Tradisi ini mungkin berasal dari perayaan Saturnalia, di mana para budak menjadi sejajar dengan tuannya. Membakar kayu Natal dimasukkan menjadi adat orang Inggris yang asalnya dari adat orang Skandinavia tatkala mereka menghormati titik balik matahari pada musim dingin”.

 

4.  “Asal mula Natal. Alasan mengapa menetapkan tanggal 25 Desember sebagai Natal adalah tidak jelas, tetapi seperti yang dipercayai tanggal ini dipilih untuk menyesuaikan dengan perayaan penyembahan berhala yang berlangsung pada musim dingin waktu terjadi titik balik matahari, yaitu ketika siang hari mulai panjang, untuk merayakan lahirnya kembali sang matahari. Suku-suku bangsa Eropa Utara merayakan Natal mereka pada musim dingin waktu titik balik matahari untuk merayakan kelahiran kembali sang matahari (dewa) sebagai yang memberikan terang dan kehangatan. Saturnalia Romawi (perayaan yang dipersembahkan kepada Saturnus, dewa pertanian) juga berlangsung pada waktu tersebut, dan beberapa adat Natal diperkirakan berakar pada perayaan penyembahan berhala ini. Perayaan ini diadakan oleh beberapa orang terpelajar bahwa kelahiran Kristus sebagai Terang Dunia dianalogikan dengan kelahiran kembali sang matahari agar supaya kekristenan menjadi lebih berarti bagi para petobat baru yang dulunya menyembah matahari”.

 

Jawaban saya:

 

a)  Penulis di internet ini berbicara dengan lidah bercabang.

 

Perhatikan bagian-bagian yang saya garis bawahi dari kutipan pertama, ketiga dan keempat. Dalam kutipan pertama dia mengatakan bahwa hal itu (bahwa Natal berasal dari kekafiran) ‘dapat dipercaya’. Tetapi dalam kutipan ketiga ia mengatakan ‘mungkin’, dan dalam kutipan keempat ia mengatakan ‘Alasan mengapa menetapkan tanggal 25 Desember sebagai Natal adalah tidak jelas’ dan pada bagian akhir ia menggunakan kata ‘diperkirakan’. Yang mana yang benar?

 

b)  Asal usul Natal dari kekafiran bukanlah merupakan sesuatu yang pasti.

 

Di sini saya memberikan informasi dari Encyclopedia Britannica tentang sejarah Natal, juga tentang kata ‘Christmas’, dan asal usul tanggal 25 Desember dan perayaannya.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Christmas’: “from Old English Cristes maesse, ‘Christ’s mass’), Christian festival celebrated on December 25, commemorating the birth of Jesus Christ. It is also a popular secular holiday. According to a Roman almanac, the Christian festival of Christmas was celebrated in Rome by AD 336. In the eastern part of the Roman Empire, however, a festival on January 6 commemorated the manifestation of God in both the birth and the baptism of Jesus, except in Jerusalem, where only the birth was celebrated. During the 4th century the celebration of Christ’s birth on December 25 was gradually adopted by most Eastern churches. In Jerusalem, opposition to Christmas lasted longer, but it was subsequently accepted. In the Armenian Church, a Christmas on December 25 was never accepted; Christ’s birth is celebrated on January 6. After Christmas was established in the East, the baptism of Jesus was celebrated on Epiphany, January 6. In the West, however, Epiphany was the day on which the visit of the Magi to the infant Jesus was celebrated. The reason why Christmas came to be celebrated on December 25 remains uncertain, but most probably the reason is that early Christians wished the date to coincide with the pagan Roman festival marking the ‘birthday of the unconquered sun’ (natalis solis invicti); this festival celebrated the winter solstice, when the days again begin to lengthen and the sun begins to climb higher in the sky. The traditional customs connected with Christmas have accordingly developed from several sources as a result of the coincidence of the celebration of the birth of Christ with the pagan agricultural and solar observances at midwinter. In the Roman world the Saturnalia (December 17) was a time of merrymaking and exchange of gifts. December 25 was also regarded as the birth date of the Iranian mystery god Mithra, the Sun of Righteousness. On the Roman New Year (January 1), houses were decorated with greenery and lights, and gifts were given to children and the poor. To these observances were added the German and Celtic Yule rites when the Teutonic tribes penetrated into Gaul, Britain, and central Europe. Food and good fellowship, the Yule log and Yule cakes, greenery and fir trees, and gifts and greetings all commemorated different aspects of this festive season. Fires and lights, symbols of warmth and lasting life, have always been associated with the winter festival, both pagan and Christian. Since the European Middle Ages, evergreens, as symbols of survival, have been associated with Christmas. Christmas is traditionally regarded as the festival of the family and of children, under the name of whose patron, Saint Nicholas, or Santa Claus, presents are exchanged in many countries”.

 

Saya hanya menterjemahkan bagian yang saya garis bawahi:

“Alasan mengapa Natal sampai dirayakan pada tanggal 25 Desember tetap tidak pasti, tetapi paling mungkin alasannya adalah bahwa orang-orang kristen mula-mula ingin tanggal itu bertepatan dengan hari raya kafir Romawi yang menandai ‘hari lahir dari matahari yang tak terkalahkan’ ...; hari raya ini merayakan titik balik matahari pada musim dingin, dimana siang hari kembali memanjang dan matahari mulai naik lebih tinggi di langit. Jadi, kebiasaan yang bersifat tradisionil yang berhubungan dengan Natal telah berkembang dari beberapa sumber sebagai suatu akibat dari bertepatannya perayaan kelahiran Kristus dengan perayaan kafir yang berhubungan dengan pertanian dan matahari pada pertengahan musim dingin. ... Tanggal 25 Desember juga dianggap sebagai hari kelahiran dari dewa misterius bangsa Iran, yang bernama Mithra, sang Surya Kebenaran”.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘from church year Christmas’: “The word Christmas is derived from the Old English Cristes maesse, ‘Christ’s Mass.There is no certain tradition of the date of Christ’s birth. Christian chronographers of the 3rd century believed that the creation of the world took place at the spring equinox, then reckoned as March 25; hence the new creation in the incarnation (i.e., the conception) and death of Christ must therefore have occurred on the same day, with his birth following nine months later at the winter solstice, December 25. The oldest extant notice of a feast of Christ’s Nativity occurs in a Roman almanac (the Chronographer of 354, or Philocalian Calendar), which indicates that the festival was observed by the church in Rome by the year 336. Many have posited the theory that the feast of Christ’s Nativity, the birthday of ‘the sun of righteousness’ (Malachi 4:2), was instituted in Rome, or possibly North Africa, as a Christian rival to the pagan festival of the Unconquered Sun at the winter solstice. This syncretistic cult that leaned toward monotheism had been given official recognition by the emperor Aurelian in 274. It was popular in the armies of the Illyrian (Balkan) emperors of the late 3rd century, including Constantine’s father. Constantine himself was an adherent before his conversion to Christianity in 312. There is, however, no evidence of any intervention by him to promote the Christian festival. The exact circumstances of the beginning of Christmas Day remain obscure. From Rome the feast spread to other churches of the West and East, the last to adopt it being the Church of Jerusalem in the time of Bishop Juvenal (reigned 424-458). Coordinated with Epiphany, a feast of Eastern origin commemorating the manifestation of Christ to the world, the celebration of the incarnation of Christ as Redeemer and Light of the world was favoured by the intense concern of the church of the 4th and 5th centuries in formulating creeds and dogmatic definitions relating to Christ’s divine and human natures. Christmas is the most popular of all festivals among Christians and many non-Christians alike, and its observance combines many strands of tradition. From the ancient Roman pagan festivals of Saturnalia (December 17) and New Year’s come the merrymaking and exchange of presents. Old Germanic midwinter customs have contributed the lighting of the Yule log and decorations with evergreens. The Christmas tree comes from medieval German mystery plays centred in representations of the Tree of Paradise (Genesis 2:9). Francis of Assisi popularized the Christmas crib, or crèche, in his celebration at Greccio, Italy, in 1223. Another popular medieval feast was that of St. Nicholas of Myra (c. 340) on December 6, when the saint was believed to visit children with admonitions and gifts, in preparation for the gift of the Christ child at Christmas. Through the Dutch the tradition of St. Nicholas (Sinterklaas, hence ‘Santa Claus’) was brought to America in their colony of New Amsterdam, now New York. The sending of greeting cards at Christmas began in Britain in the 1840s and was introduced to the United States in the 1870s”.

 

Saya hanya menterjemahkan bagian yang saya garis bawahi:

Tidak ada tradisi tertentu yang pasti tentang tanggal kelahiran Kristus. Para penghitung waktu Kristen dari abad ketiga percaya bahwa penciptaan dunia / alam semesta terjadi pada musim semi di saat siang dan malam sama lamanya, yang pada saat itu dianggap sebagai tanggal 25 Maret; karena itu penciptaan baru dalam inkarnasi (yaitu ‘pembuahan’ / mulai adanya janin Kristus) dan kematian Kristus harus terjadi pada hari yang sama, dengan kelahiranNya 9 bulan berikutnya pada titik balik matahari pada musim dingin, 25 Desember. ... Banyak orang memberikan teori bahwa hari raya tentang kelahiran Kristus, hari lahir dari ‘surya kebenaran’ (Mal 4:2) ditetapkan di Roma, atau mungkin di Afrika Utara, sebagai suatu saingan Kristen terhadap hari raya kafir dari Surya yang tak terkalahkan pada titik balik matahari. ... Keadaan yang tepat tentang permulaan / asal usul hari Natal tetap kabur.

 

Perhatikan 2 hal:

 

1.  Kata-kata ‘tetap tidak pasti’, ‘tidak ada tradisi tertentu yang pasti’, dan ‘keadaan yang tepat tentang permulaan / asal usul hari Natal tetap kabur’, yang saya cetak dengan huruf besar itu. Ini menunjukkan bahwa asal usul kafir itu memang tidak bisa dipastikan. Lalu mengapa orang-orang bodoh yang anti Natal ini menuduh hanya berdasarkan suatu kemungkinan yang tidak pasti?

 

2.  Sedikitnya ada 4 asal usul tanggal 25 Desember (yang tiga dari Encyclopedia Britannica 2000 di atas, dan yang satu ditambahkan oleh Alfred Edersheim), yaitu:

 

a.  Hari raya Romawi yang memperingati titik balik matahari.

 

b.  Hari lahir dari dewa bangsa Iran.

 

c.  Itu ditentukan oleh para penghitung waktu Kristen (sekalipun dengan cara yang sangat tidak masuk akal).

 

d.  Alfred Edersheim memberikan asal usul tanggal 25 Desember yang berbeda.

 

Alfred Edersheim: “the date of the Feast of the Dedication - the 25th of Chislev - seems to have been adopted by the ancient Church as that of the birth of our blessed Lord - Christmas - the Dedication of the true Temple, which was the body of Jesus” [= tanggal dari hari raya Pentahbisan Bait Allah - bulan Kislew tanggal 25 - kelihatannya telah diadopsi oleh Gereja kuno sebagai tanggal kelahiran dari Tuhan kita yang terpuji - Natal - Pentahbisan dari Bait Allah yang sejati, yang adalah tubuh dari Yesus (bdk. Yoh 2:19-22)] - ‘The Temple, hal 334.

 

Perhatikan bahwa point c. dan d. tidak menunjukkan asal usul dari kafir!

 

Semua ini jelas menunjukkan bahwa asal usul tanggal 25 Desember sebagai hari Natal masing simpang siur dan tidak ada kepastiannya. Tetapi orang-orang bodoh yang anti Natal itu dengan beraninya (atau dengan cerobohnya / lancangnya) telah menuduh tidak karu-karuan. Menuduh tanpa fakta yang pasti, sama dengan memfitnah!

 

c)  Sekarang andaikata tanggal 25 Desember itu memang diadopsi dari hari raya kafir, kita masih harus memperhitungkan apa motivasi orang-orang kristen pada saat itu untuk melakukan hal tersebut.

 

Encyclopedia Britannica 2000 yang sudah saya kutip di atas, mengatakan bahwa ada teori yang mengatakan bahwa orang-orang kristen mengadopsi tanggal itu supaya perayaan Natal menyaingi perayaan kafir tersebut. Untuk jelasnya saya mengutip ulang bagian itu.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘from church year Christmas’: “The word Christmas is derived from the Old English Cristes maesse, ‘Christ’s Mass.’ There is no certain tradition of the date of Christ’s birth. Christian chronographers of the 3rd century believed that the creation of the world took place at the spring equinox, then reckoned as March 25; hence the new creation in the incarnation (i.e., the conception) and death of Christ must therefore have occurred on the same day, with his birth following nine months later at the winter solstice, December 25. The oldest extant notice of a feast of Christ’s Nativity occurs in a Roman almanac (the Chronographer of 354, or Philocalian Calendar), which indicates that the festival was observed by the church in Rome by the year 336. Many have posited the theory that the feast of Christ’s Nativity, the birthday of ‘the sun of righteousness’ (Malachi 4:2), was instituted in Rome, or possibly North Africa, as a Christian rival to the pagan festival of the Unconquered Sun at the winter solstice. This syncretistic cult that leaned toward monotheism had been given official recognition by the emperor Aurelian in 274. It was popular in the armies of the Illyrian (Balkan) emperors of the late 3rd century, including Constantine’s father. Constantine himself was an adherent before his conversion to Christianity in 312. There is, however, no evidence of any intervention by him to promote the Christian festival. The exact circumstances of the beginning of Christmas Day remain obscure. From Rome the feast spread to other churches of the West and East, the last to adopt it being the Church of Jerusalem in the time of Bishop Juvenal (reigned 424-458). Coordinated with Epiphany, a feast of Eastern origin commemorating the manifestation of Christ to the world, the celebration of the incarnation of Christ as Redeemer and Light of the world was favoured by the intense concern of the church of the 4th and 5th centuries in formulating creeds and dogmatic definitions relating to Christ’s divine and human natures. Christmas is the most popular of all festivals among Christians and many non-Christians alike, and its observance combines many strands of tradition. From the ancient Roman pagan festivals of Saturnalia (December 17) and New Year’s come the merrymaking and exchange of presents. Old Germanic midwinter customs have contributed the lighting of the Yule log and decorations with evergreens. The Christmas tree comes from medieval German mystery plays centred in representations of the Tree of Paradise (Genesis 2:9). Francis of Assisi popularized the Christmas crib, or crèche, in his celebration at Greccio, Italy, in 1223. Another popular medieval feast was that of St. Nicholas of Myra (c. 340) on December 6, when the saint was believed to visit children with admonitions and gifts, in preparation for the gift of the Christ child at Christmas. Through the Dutch the tradition of St. Nicholas (Sinterklaas, hence ‘Santa Claus’) was brought to America in their colony of New Amsterdam, now New York. The sending of greeting cards at Christmas began in Britain in the 1840s and was introduced to the United States in the 1870s”.

 

Saya hanya menterjemahkan bagian yang saya garis bawahi:

“Banyak orang memberikan teori bahwa hari raya tentang kelahiran Kristus, hari lahir dari ‘surya kebenaran’ (Mal 4:2) ditetapkan di Roma, atau mungkin di Afrika Utara, sebagai suatu saingan Kristen terhadap hari raya kafir dari Surya yang tak terkalahkan pada titik balik matahari.

 

Hal yang mirip dengan itu adalah, baik Nebukadnezar dan Artahsasta disebut dengan istilah ‘raja di atas segala raja’.

 

Dan 2:37 - “Ya tuanku raja, raja segala raja, yang kepadanya oleh Allah semesta langit telah diberikan kerajaan, kekuasaan, kekuatan dan kemuliaan”.

 

Ezra 7:12 - “‘Artahsasta, raja segala raja, kepada Ezra, imam dan ahli Taurat Allah semesta langit, dan selanjutnya. Maka sekarang”.

 

Tetapi gelar dari raja kafir itu lalu diberikan kepada Yesus / Allah.

 

1Tim 6:15 - “yaitu saat yang akan ditentukan oleh Penguasa yang satu-satunya dan yang penuh bahagia, Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan”.

 

Wah 17:14 - “Mereka akan berperang melawan Anak Domba. Tetapi Anak Domba akan mengalahkan mereka, karena Ia adalah Tuan di atas segala tuan dan Raja di atas segala raja. Mereka bersama-sama dengan Dia juga akan menang, yaitu mereka yang terpanggil, yang telah dipilih dan yang setia.’”.

 

Wah 19:16 - “Dan pada jubahNya dan pahaNya tertulis suatu nama, yaitu: ‘Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan.’”.

 

Mengapa bisa demikian? Jawabannya diberikan oleh Encyclopedia di bawah ini.

 

The International Standard Bible Encyclopedia, vol II: “The title ‘King of kings,’ denoting absolute authority rather than divinity per se, is used of God and Christ in the NT (always with ‘Lord of lords’: 1Tim. 6:15; Rev. 17:14; 19:16). Its use was a response by both Jews and Christians to the practice of deifying earthly political rulers [= Gelar ‘Raja segala raja’ lebih menunjukkan otoritas mutlak dari pada keilahian sendiri, digunakan terhadap Allah dan Kristus dalam PB (selalu dengan ‘Tuhan segala Tuhan’: 1Tim 6:15; Wah 17:14; 19:16). Penggunaannya merupakan suatu tanggapan baik oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen terhadap praktek pendewaan penguasa-penguasa politik duniawi] - hal 508.

 

Jadi rupanya pada jaman itu banyak raja duniawi disebut dengan istilah ‘raja di atas segala raja’. Orang-orang kristen merasakan itu sebagai tidak tepat, dan mereka menganggap hanya Yesus / Allah yang pantas memakai gelar itu, dan mereka lalu memberikan gelar itu kepada Allah / Yesus, dan bahkan setiap kali gelar itu mereka berikan kepada Allah / Yesus, maka mereka menambahi dengan kata-kata ‘Tuhan atas segala Tuhan’. Jadi mereka menampilkan Yesus / Allah sebagai saingan terhadap raja-raja kafir yang didewakan oleh rakyat kafir mereka. Apakah ini juga mau kita anggap berasal dari kafir? Kalau mau dikatakan berasal dari kafir, memang jelas berasal dari kafir. Tetapi apakah kita mau menyalahkan motivasi mereka, yang sebetulnya bisa dikatakan sebagai ‘mulia’?

 

Demikian juga, andaikata Natal memang diambil dari kafir, tetapi motivasinya adalah untuk menyaingi hari-hari raya kafir, itu adalah sesuatu yang ‘mulia’, dan bertujuan untuk memuliakan Tuhan.

 

Apa maksudnya orang-orang kristen itu menyaingi hari-hari raya kafir itu? Mungkin pada jaman itu orang-orang kristen tertentu sering menghadiri hari raya kafir, dan pada saat-saat seperti itu biasanya mereka jatuh ke dalam dosa-dosa tertentu, seperti penyembahan berhala, perzinahan, makan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala, dan sebagainya. Karena itu gereja lalu menepatkan Natal dengan tanggal tersebut, supaya orang-orang kristen itu merayakan Natal di gereja, dan tidak pergi ke perayaan-perayaan kafir.

 

Ini mirip dengan kalau gereja mengadakan acara pada malam tahun baru (tanggal 31 Desember), yang sebenarnya sama sekali bukan hari kristen / rohani, tetapi sebaliknya hanya merupakan hari sekuler. Dari pada jemaatnya pergi ke tempat-tempat hiburan yang tidak karuan, lebih baik mereka diarahkan untuk pergi ke gereja. Hanya orang bodoh dan tidak rohani yang akan menyalahkan hal seperti ini!

 

d)  Dalam kristen maupun dalam kehidupan kita sehari-hari ada banyak hal yang berasal dari kekafiran, tetapi tetap dipertahankan, setelah dibuang kekafirannya. Sebagai contoh adalah gelar ‘raja di atas segala raja’ yang sudah kita bahas di atas. Saya akan memberikan beberapa contoh lain:

 

1.  Nama ‘Lucifer’ (KJV) / ‘Bintang Timur’ (Yes 14:12), yang berasal dari astrology, suatu bentuk pemberhalaan.

 

Yes 14:12 - “‘Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa!”.

 

KJV: ‘How art thou fallen from heaven, O Lucifer, son of the morning! how art thou cut down to the ground, which didst weaken the nations!’ (= Bagaimana engkau jatuh dari surga, hai Lucifer / Bintang Timur, putera pagi / Fajar! bagaimana engkau ditebang / dijatuhkan ke tanah, yang melemahkan bangsa-bangsa!).

 

Dari ‘International Standard Bible Encyclopedia’ dengan topik ‘ASTROLOGY’:

“THE WORSHIP OF THE HEAVENLY BODIES THE FORM OF IDOLATRY TO WHICH THE ISRAELITES WERE MOST PRONE: ... 5. Lucifer, the Shining Star” (= Penyembahan terhadap benda-benda surgawi / angkasa; bentuk pemberhalaan terhadap mana bangsa Israel paling condong: ... 5. Lucifer, bintang yang bersinar).

 

Tetapi nama ‘Lucifer’ / ‘Bintang Timur’ ini akhirnya dipakai oleh Yesus untuk diriNya sendiri dalam Wah 22:16 - “‘Aku, Yesus, telah mengutus malaikatKu untuk memberi kesaksian tentang semuanya ini kepadamu bagi jemaat-jemaat. Aku adalah tunas, yaitu keturunan Daud, bintang timur yang gilang-gemilang.’”.

 

Kalau Yesus sendiri boleh menggunakan suatu nama yang berasal dari kekafiran untuk diriNya sendiri, lalu mengapa kita tidak boleh?

 

Catatan: sebetulnya merupakan sesuatu yang salah untuk mengatakan bahwa kata Lucifer itu menunjuk kepada pemimpin malaikat yang lalu jatuh dan menjadi setan.

 

·        Kata / nama ‘Lucifer’ hanya muncul satu kali dalam Kitab Suci, yaitu dalam Yes 14:12, dan itupun hanya dalam versi-versi Kitab Suci tertentu, seperti KJV, NKJV, Living Bible. Selain ketiga versi ini, saya tidak tahu apakah ada versi lain lagi yang menterjemahkannya seperti itu.

 

·        Kata / nama ‘Lucifer’, berarti ‘light-bearer’ (= pembawa terang), dan merupakan nama bahasa Latin untuk planet Venus, benda yang paling terang di langit selain matahari dan bulan, yang kelihatan sebagai suatu bintang, kadang-kadang pada malam dan kadang-kadang pada pagi (‘The New Bible Dictionary’).

 

Kata ‘Bintang Timur’ / ‘Lucifer’ dalam Yes 14:12 ini lalu ditujukan kepada Iblis / setan, karena:

 

¨       kontex dari Yes 14:12, khususnya Yes 14:12-14 yang berbunyi: “(12) Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa! (13) Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. (14) Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi!.

 

¨       dihubungkan dengan ayat-ayat seperti:

 

*        Luk 10:18 - “Lalu kata Yesus kepada mereka: ‘Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit.”.

 

*        Wah 9:1 - “Lalu malaikat yang kelima meniup sangkakalanya, dan aku melihat sebuah bintang yang jatuh dari langit ke atas bumi, dan kepadanya diberikan anak kunci lobang jurang maut”.

 

*        Wah 12:9 - “Dan naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan malaikat-malaikatnya”.

 

Tetapi, sekalipun penafsiran seperti ini sangat populer, ini adalah penafsiran yang salah, karena:

 

a.  Jelas bahwa dalam Yes 14 istilah ‘Bintang Timur’ / ‘Lucifer’ itu sebetulnya menunjuk kepada raja Babel.

 

Yes 14:4,22-23 - “(4) maka engkau akan memperdengarkan ejekan ini tentang raja Babel, dan berkata: ‘Wah, sudah berakhir si penindas sudah berakhir orang lalim! ... (22) ‘Aku akan bangkit melawan mereka,’ demikianlah firman TUHAN semesta alam, ‘Aku akan melenyapkan nama Babel dan sisanya, anak cucu dan anak cicitnya,’ demikianlah firman TUHAN. (23) ‘Aku akan membuat Babel menjadi milik landak dan menjadi air rawa-rawa, dan kota itu akan Kusapu bersih dan Kupunahkan,’ demikianlah firman TUHAN semesta alam”.

 

b.  Kejatuhan raja Babel dalam Yes 14:12-14 itu merupakan peristiwa sejarah.

 

Peristiwa sejarah tidak boleh dilambangkan / dialegorikan. Peristiwa sejarah hanya bisa menjadi TYPE, tetapi kalau demikian, maka peristiwa itu akan menunjuk ke masa depan, karena TYPE tidak pernah menunjuk ke masa lalu. Padahal kejatuhan setan terjadi di masa lalu. Karena itu, saya menganggap bahwa text tersebut (Yes 14) itu sama sekali tidak berbicara tentang setan maupun kejatuhannya. Kalau saudara merasa bahwa penggambaran tentang raja Babel (perhatikan bagian-bagian yang saya garis-bawahi dalam Yes 14:12-14) rasanya tidak menunjuk kepada seorang manusia, maka ingatlah bahwa bagian ini berbentuk suatu puisi, dan karenanya menggunakan bahasa puisi, yang tentunya tidak bisa diartikan secara hurufiah.

 

Untuk mendukung pandangan saya ini, saya memberikan 2 kutipan di bawah ini, yang merupakan komentar John Calvin dan Adam Clarke tentang Yes 14:12.

 

Calvin: “The exposition of this passage, which some have given, as if it referred to Satan, has arisen from ignorance; for the context plainly shows that these statements must be understood in reference to the king of the Babylonians. But when passages of Scripture are taken at random, and no attention is paid to the context, we need not wonder that mistake of this kind frequently arise. Yet it was an instance of very gross ignorance, to imagine that Lucifer was the king of devils, and that the Prophet gave him this name. But as these inventions have no probability whatever, let us pass by them as useless fables” (= Exposisi yang diberikan oleh beberapa orang tentang text ini, seakan-akan text ini menunjuk kepada setan / berkenaan dengan setan, muncul / timbul dari ketidak-tahuan; karena kontex secara jelas menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan ini harus dimengerti dalam hubungannya dengan raja Babel. Tetapi pada waktu bagian-bagian Kitab Suci diambil secara sembarangan, dan kontex tidak diperhatikan, kita tidak perlu heran bahwa kesalahan seperti ini muncul / timbul. Tetapi itu merupakan contoh dari ketidak-tahuan yang sangat hebat, untuk membayangkan bahwa Lucifer adalah raja dari setan-setan, dan bahwa sang nabi memberikan dia nama ini. Tetapi karena penemuan-penemuan ini tidak mempunyai kemungkinan apapun, marilah kita mengabaikan mereka sebagai dongeng / cerita bohong yang tidak ada gunanya) - hal 442.

 

Adam Clarke: “And although the context speaks explicitly concerning Nebuchadnezzar, yet this has been, I know not why, applied to the chief of the fallen angels, who is most incongruously denominated Lucifer, (the bringer of light!) an epithet as common to him as those of Satan and Devil. That the Holy Spirit by his prophets should call this arch-enemy of God and man the light-bringer, would be strange indeed. But the truth is, the text speaks nothing at all concerning Satan nor his fall, nor the occasion of that fall, which many divines have with great confidence deduced from this text. O how necessary it is to understand the literal meaning of Scripture, that preposterous comments may be prevented!” [= Dan sekalipun kontexnya berbicara secara explicit tentang Nebukadnezar, tetapi entah mengapa kontex ini telah diterapkan kepada kepala dari malaikat-malaikat yang jatuh, yang secara sangat tidak pantas disebut / dinamakan Lucifer (pembawa terang!), suatu julukan yang sama umumnya bagi dia, seperti Iblis dan Setan. Bahwa Roh Kudus oleh nabiNya menyebut musuh utama dari Allah dan manusia sebagai ‘pembawa terang’, betul-betul merupakan hal yang sangat aneh. Tetapi kebenarannya adalah, text ini tidak berbicara sama sekali tentang Setan maupun kejatuhannya, ataupun saat / alasan kejatuhan itu, yang dengan keyakinan yang besar telah disimpulkan dari text ini oleh banyak ahli theologia. O alangkah pentingnya untuk mengerti arti hurufiah dari Kitab Suci, supaya komentar-komentar yang gila-gilaan / tidak masuk akal bisa dicegah!] - hal 82.

 

2.  Kata ‘Behold’ / ‘Lihatlah’ dalam Yes 7:14 diambil dari kekafiran dan diterapkan pada kelahiran Kristus.

 

Yes 7:14 - “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel”.

 

KJV: ‘Therefore the Lord himself shall give you a sign; Behold, a virgin shall conceive, and bear a son, and shall call his name Immanuel’ (= Karena itu, Tuhan sendiri akan memberimu suatu tanda; Lihatlah, seorang perawan akan mengandung, dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan akan menamaiNya Immanuel).

 

E. J. Young: “‘Behold!’ ... It has also appeared in the texts from Ugarit. ... In Ugarit it had been used to announce the birth of gods, nonexistent beings who were a part of that web of superstition which covered the ancient pagan world. On Isaiah’s lips, however, this formula is lifted from its ancient pagan context and made to introduce the announcement of the birth of the only One who truly is God and King” (= ‘Lihatlah!’ ... Kata itu juga muncul dalam text-text dari Ugarit. ... Di Ugarit kata itu telah digunakan untuk mengumumkan kelahiran allah-allah / dewa-dewa, makhluk-makhluk yang tidak mempunyai keberadaan yang merupakan sebagian dari jaringan takhyul yang meliputi dunia kafir kuno. Tetapi di bibir Yesaya, formula ini diangkat dari kontex kafir kunonya dan digunakan untuk mengajukan pengumuman tentang kelahiran dari satu-satunya ‘Makhluk’ yang sungguh-sungguh adalah Allah dan Raja) - ‘The Book of Isaiah’, vol I, hal  284-285.

 

Kalau Yesaya boleh menggunakan kata yang berasal dari orang kafir dalam urusan berhala mereka, dan menggunakannya untuk menubuatkan kelahiran Kristus, mengapa orang Kristen jaman sekarang menolak Natal dengan alasan itu berasal dari orang kafir / penyembah berhala?

 

3.  Kata Yunani THEOS (= Allah) mungkin juga berhubungan dengan kekafiran, seperti yang dikatakan oleh Bavinck di bawah ini.

 

Herman Bavinck: “Formerly the Greek word THEOS was held to be derived from TITHENAI, THEEIN, THEASTHAI. At present some philologists connect it with Zeus, Dios, Jupiter, Deus, Diana, Juno, Dio, Dieu. So interpreted it would be identical with the Sanskrit ‘deva,’ the shinning heaven, from ‘divorce’ to shine. Others, however, deny all etymological connection between the Greek word THEOS and the Latin Deus and connect the former with the root THES in THESSASTHAI to desire, to invoke. In many languages the words ‘heaven’ and ‘God’ are used synonymously; the oldest Grecian deity Uranus was probably identical with the Sanskrit Varuna; the Tartar and Turkish word ‘Taengri’ and the Chinese word ‘Thian’ mean both heaven and God; and also in Scripture the words heaven and God are sometimes used interchangeably; e.g., in the expression ‘kingdom of heaven’ or ‘kingdom of God.’” (= Dahulu dipercaya bahwa kata Yunani THEOS diturunkan dari TITHENAI, THEEIN, THEASTHAI. Pada saat ini beberapa ahli bahasa menghubungkannya dengan Zeus, Dios, Jupiter, Deus, Diana, Juno, Dio, Dieu. Ditafsirkan demikian, maka kata itu menjadi identik dengan kata Sansekerta ‘deva’, ‘langit / surga yang berkilau / bersinar’, dan berasal dari kata ‘div’ yang berarti ‘berkilau / bersinar’. Tetapi para ahli bahasa yang lain menyangkal semua hubungan asal usul kata antara kata Yunani THEOS dan kata Latin DEUS dan menghubungkan kata THEOS itu dengan akar kata THES dalam THESSASTHAI, yang berarti ‘menginginkan’, ‘meminta / memohon’) - ‘The Doctrine of God’, hal 98-99.

 

Juga bandingkan dengan kata-kata Dabney di bawah ini.

 

R. L. Dabney: “... the Greek and Latin names of God, Zeuj and Jove. ... Now the votaries of the comparative philology of modern days, will have Zeuj derived (by a change of Z to its cognate D,) from the sanscrit root, Dis, whose root-meaning was supposed to be ‘splendour.’ To the same source they trace qeoj, Deus, Divus, Dies, &c. ... But as to Zeuj and Jove, may not another etymology be more probable? (as is confessed by some of the best Greek scholars) that Zeuj is from Zew, Zaw, ‘I live,’ and Zwh, ‘life.’ Notice, then, the strange resemblance, almost an identity, between ‘Jehovah,’ and ‘Jove.’ The latter, with ‘pater,’ makes the Latin nominative Jupiter - Jov-Pater - father Jove. If this origin is true, then we have the Greek name of the chief God, Zeuj, involving the same fundamental idea; ‘The Living One,’ - the self-existent source of life. This is much more explanatory of the early myths touching Jove, as the ‘Father of Gods and men,’ than the primary idea of the supposed sanscrit root” [= ... nama-nama Allah dalam bahasa Yunani dan Latin, Zeuj dan Jove. ... Sekarang penggemar-penggemar dari ilmu perbandingan bahasa jaman modern, menurunkan kata Zeuj (dengan suatu perubahan dari Z kepada D yang asal usulnya sama), dari akar kata Sansekerta, Dis, yang arti akar katanya dianggap sebagai ‘semarak / kemegahan’. Kepada sumber / asal usul yang sama mereka menelusuri qeoj, Deus, Divus, Dies, &c. ... Tetapi berkenaan dengan Zeuj dan Jove, tidak bisakah etymology / asal usul kata yang lain lebih memungkinkan? (seperti yang diakui oleh sebagian ahli-ahli bahasa Yunani yang terbaik) bahwa Zeuj berasal dari Zew (ZEO), Zaw (ZAO), ‘Aku hidup’, and Zwh (ZOE),  ‘kehidupan’. Lalu perhatikan kemiripan, dan bahkan hampir merupakan suatu keindetikan, yang aneh, antara ‘Yehovah’ dan ‘Jove’. Yang terakhir, dengan ‘pater’, membuat kata nominatif bahasa Latin ‘Yupiter’ - ‘Yov-Pater’ - ‘bapa Jove’. Jika asal usul ini benar, maka kita mempunyai nama Yunani dari Allah utama / tertinggi, Zeuj, melibatkan pengertian dasar yang sama; ‘Yang Hidup’, - sumber kehidupan yang ada dari dirinya sendiri. Ini lebih memberi penjelasan dari mitos-mitos mula-mula mengenai Jove, sebagai ‘Bapa dari Allah-Allah dan manusia-manusia’, dari pada pengertian utama dari akar kata Sansekerta yang diduga] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 145 (footnote).

 

Memang dalam Kitab Suci kata Elohim, Theos, dsb, dipakai, baik untuk menunjuk kepada Allah yang benar, maupun kepada dewa-dewa / berhala-berhala kafir, bahkan kepada setan (1Sam 28:13  2Kor 4:4). Apakah kita harus membuang penggunaan istilah itu?

 

1Sam 28:13 - “Maka berbicaralah raja kepadanya: ‘Janganlah takut; tetapi apakah yang kaulihat?’ Perempuan itu menjawab Saul: ‘Aku melihat sesuatu yang ilahi (Ibrani: ELOHIM) muncul dari dalam bumi.’”.

 

Istilah ELOHIM, yang biasanya diterjemahkan ‘Allah’, di sini diterjemahkan ‘sesuatu yang ilahi’, dan pasti menunjuk kepada setan.

 

2Kor 4:4 - “yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah (THEOS) zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah”.

 

Istilah ‘ilah zaman ini’ tentu menunjuk kepada setan.

 

4.  Istilah dalam Wah 1:4 yang digunakan untuk Allah juga mempunyai banyak kemiripan dengan istilah-istilah yang digunakan terhadap dewa kafir.

 

Wah 1:4 - “Dari Yohanes kepada ketujuh jemaat yang di Asia Kecil: Kasih karunia dan damai sejahtera menyertai kamu, dari Dia, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, dan dari ketujuh roh yang ada di hadapan takhtaNya”.

 

Barnes’ Notes (tentang Wah 1:4): “It is remarkable that there are some passages in pagan inscriptions and writings which bear a very strong resemblance to the language used here by John respecting God. Thus, Plutarch (De Isa. et Osir., p. 354.), speaking of a temple of Isis, at Sais, in Egypt, says, ‘It bore this inscription -- ‘I am all that was, and is, and shall be, and my vail no mortal can remove’’ -- ... . So Orpheus (in Auctor. Lib. de Mundo), ‘Jupiter is the head, Jupiter is the middle, and all things are made by Jupiter.’ So in Pausanias (Phocic. 12), ‘Jupiter was; Jupiter is; Jupiter shall be.’ [= Merupakan sesuatu yang luar biasa bahwa ada beberapa text dalam prasasti-prasasti dan tulisan-tulisan kafir yang mengandung suatu kemiripan yang sangat kuat dengan bahasa / ungkapan yang digunakan oleh Yohanes di sini berkenaan dengan Allah. Sesuai dengan itu, Plutarch (De Isa. et Osir., p 354.), berbicara tentang kuil dari Isis, di Sais, di Mesir, berkata: ‘Itu mengandung tulisan ini - ‘Aku adalah semua yang dahulu ada, dan sekarang ada, dan yang akan datang, dan tidak seorangpun bisa menyingkirkan cadar(?)ku’’ - ... Demikian juga Orpheus (in Auctor. Lib. de Mundo), ‘Yupiter adalah kepala, Yupiter adalah tengah-tengah, dan segala sesuatu dibuat oleh Yupiter’. Demikian juga dalam Pausanias (Phocic. 12), ‘Yupiter ada dahulu; Yupiter ada sekarang; Yupiter akan ada’.] - hal 1543.

 

5.  Pada jaman dahulu (Perjanjian Lama) banyak orang kafir menyembah benda-benda angkasa, termasuk bintang.

 

2Raja 23:5 - “Ia memberhentikan para imam dewa asing yang telah diangkat oleh raja-raja Yehuda untuk membakar korban di bukit pengorbanan di kota-kota Yehuda dan di sekitar Yerusalem, juga orang-orang yang membakar korban untuk Baal, untuk dewa matahari, untuk dewa bulan, untuk rasi-rasi bintang dan untuk segenap tentara langit.

 

Amos 5:26 - “Kamu akan mengangkut Sakut, rajamu, dan Kewan, dewa bintangmu, patung-patungmu yang telah kamu buat bagimu itu”.

 

Kis 7:43 - “Tidak pernah, malahan kamu mengusung kemah Molokh dan bintang dewa Refan, patung-patung yang kamu buat itu untuk disembah. Maka Aku akan membawa kamu ke dalam pembuangan, sampai di seberang sana Babel.

 

Juga bintang dipakai sebagai alat meramal (horoscope) seperti dalam Yes 47:13 - “Engkau telah payah karena banyaknya nasihat! Biarlah tampil dan menyelamatkan engkau orang-orang yang meneliti segala penjuru langit, yang menilik bintang-bintang dan yang pada setiap bulan baru memberitahukan apa yang akan terjadi atasmu!.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘nature worship’, ‘Stars and constellations’: “True star worship existed only among some ancient civilizations associated with Mesopotamia, where star worship was practiced” (= Penyembahan bintang yang sesungguhnya hanya ada di antara beberapa kebudayaan kuno yang bersekutu dengan Mesopotamia, dimana penyembahan bintang dipraktekkan).

 

Tetapi pada kelahiran Kristus, bintang dipakai oleh Allah untuk memimpin orang-orang Majus untuk bisa menemukan Kristus.

 

Mat 2:2,7,9-10 - “(2) dan bertanya-tanya: ‘Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintangNya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.’ ... (7) Lalu dengan diam-diam Herodes memanggil orang-orang majus itu dan dengan teliti bertanya kepada mereka, bilamana bintang itu nampak. ... (9) Setelah mendengar kata-kata raja itu, berangkatlah mereka. Dan lihatlah, bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada. (10) Ketika mereka melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka”.

 

Mengapa Allah mau menggunakan bintang, yang tadinya merupakan ‘alat kafir’ ini, sebagai alatNya untuk menunjukkan Kristus kepada orang-orang Majus?

 

6.  Tahun Baru dan perayaannya juga berasal dari kekafiran.

 

Saksi Yehuwa mengatakan: “Menurut ‘The World Book Encyclopedia, ‘Penguasa Roma Julius Caesar menetapkan tanggal 1 Januari sebagai Hari Tahun Baru pada tahun 46 S.M. Orang-orang Roma membaktikan hari ini kepada Yanus, dewa dari gerbang, pintu, dan awal mula. Bulan Januari disebut menurut nama Yanus, yang mempunyai dua wajah - satu melihat ke depan dan yang lainnya melihat ke belakang.’ - (1984), Jil. 14, h. 237. - ‘Bertukar Pikiran Mengenai Ayat-Ayat Alkitab’, hal 133.

 

Secara implicit Saksi Yehuwa menentang perayaan tahun baru dengan alasan ini. Dengan kata lain, mereka menentang perayaan Tahun Baru karena berbau kafir, atau berasal usul kafir. Haruskah kita mengikuti Saksi-Saksi Yehuwa yang sesat ini, dengan mulai sekarang mengabaikan Tahun Baru dan perayaannya?

 

7.  Orang kristen berbakti pada hari yang dalam bahasa Inggris disebut ‘Sunday’, yang berasal dari nama hari raya kafir.

 

Microsoft Encarta Reference Library 2003: “‘Sunday,’ first day of the week. Its English name and its German name ( Sonntag) are derived from the Latin dies solis, ‘sun’s day,’ the name of a pagan Roman holiday. In the New Testament (see Revelation 1:10) it is called the Lord’s Day (Dominica in the Latin version), from which the name of Sunday is derived in Romance languages (French Dimanche; Italian Domenica; Spanish Domingo; Roman Duminica). In the early days of Christianity, Sunday began to replace the Sabbath and to be observed to honor the resurrection of Christ. Sunday was instituted as a day of rest, consecrated especially to the service of God, by the Roman emperor Constantine the Great” [= ‘Minggu’, hari pertama dari suatu minggu. Nama bahasa Inggris dan bahasa Jermannya (Sonntag) diturunkan / didapatkan dari kata bahasa Latin ‘dies solis’, ‘hari matahari’, nama dari hari raya Roma kafir. Dalam Perjanjian Baru (lihat Wahyu 1:10) itu disebut ‘Hari Tuhan’ (‘Dominica’ dalam versi Latin), dari mana nama ‘Sunday’ didapatkan dalam bahasa-bahasa Romance (Perancis ‘Dimanche’; Italy ‘Domenica’; Spanyol ‘Domingo’; Romawi ‘Duminica’). Pada hari-hari awal dari kekristenan, Minggu mulai menggantikan Sabat dan diperingati / dihormati untuk menghormati kebangkitan Kristus. Hari Minggu ditetapkan sebagai hari istirahat, dipersembahkan secara khusus untuk pelayanan / ibadah kepada Allah, oleh kaisar Romawi Kontantin yang Agung].

 

Apakah kita tidak boleh berbakti pada hari itu, karena hari itu berasal usul dari hari raya kafir? Atau apakah kita sebagai orang-orang kristen harus mengubah nama hari itu? Apakah orang kristen tidak boleh menggunakan istilah ‘Sunday School’ (= Sekolah Minggu)?

 

Juga, semua nama hari dalam bahasa Inggris dan juga nama-nama bulan seperti Januari, dan sebagainya, berasal dari nama-nama dewa atau dari nama-nama kaisar Romawi yang didewakan. Apakah kita sebagai orang-orang kristen tidak boleh memakai nama-nama hari dan bulan itu?

 

8.  Kebiasaan melakukan ‘toast’ dalam perayaan pernikahan juga berasal dari tradisi kafir dalam penyembahan berhala. Tetapi boleh dikatakan semua orang kristen melakukan ‘toast’ tersebut.

 

Dalam tafsirannya tentang 1Kor 10:21 Albert Barnes mengatakan:

“In the feasts in honor of the gods, wine was poured out as a libation, or drank by the worshippers; .... The custom of drinking ‘toasts’ at feasts and celebrations arose from this practice of pouring out wine, or drinking in honor of the pagan gods; and is a practice that still partakes of the nature of paganism. It was one of the abominations of paganism to suppose that their gods would be pleased with the intoxicating drink. Such a pouring out of a libation was usually accompanied with a prayer to the idol god, that he would accept the offering; that he would be propitious; and that he would grant the desire of the worshipper. From that custom the habit of expressing a sentiment, or proposing a toast, uttered in drinking wine, has been derived” (= Dalam pesta-pesta untuk menghormati dewa-dewa, anggur dicurahkan sebagai suatu upacara pencurahan, atau diminum oleh penyembah-penyembah itu; ... Kebiasaan untuk minum toast pada pesta-pesta dan perayaan-perayaan muncul dari praktek pencurahan anggur ini, atau minum untuk menghormati dewa-dewa kafir; dan merupakan suatu praktek yang tetap mengambil bagian dalam sifat dasar / hakekat dari kekafiran. Merupakan sesuatu yang menjijikkan dari kekafiran untuk menganggap bahwa dewa-dewa mereka disenangkan dengan minuman yang memabukkan. Pencurahan minuman keras seperti itu biasanya disertai dengan suatu doa kepada dewa berhala, supaya ia menerima persembahan itu; supaya ia bermurah hati / senang; dan supaya ia mau mengabulkan keinginan dari si penyembah. Dari tradisi itu telah didapatkan kebiasaan untuk menyatakan suatu permohonan, atau pengajuan ‘toast’, dinyatakan dengan peminuman anggur).

 

9.  Seluruh Kanaan dulunya adalah negeri kafir yang dipenuhi dengan penyembahan berhala. Tetapi Tuhan mengambilnya dan memberikannya kepada bangsa pilihanNya, dan Kanaan lalu menjadi Holy Land, dan Bait Allah dibangun di sana.

 

10. Bahasa Yunani juga merupakan bahasa bangsa kafir, tetapi lalu diambil dan digunakan sebagai bahasa asli dari Kitab Suci.

 

Kesimpulan: karena dunia ini dulunya seluruhnya kafir, adalah mustahil bagi kita untuk menghindari hal-hal yang berasal dari kekafiran. Jadi selama kekafiran itu bisa disaring / dibersihkan, tidak jadi soal dengan hal-hal yang asal usulnya kafir itu.