DOKTRIN KRISTUS: Christology

oleh: Pdt. Budi Asali, M.Div.


 

KESUCIAN KRISTUS

 

 

I) Kesucian hidup Kristus.

 

Hal-hal yang menunjukkan kesucian hidup Kristus:

 

1)  Ayat-ayat seperti 2Kor 5:21  Ibr 4:15  Ibr 7:26  1Pet 2:22  1Pet 3:18  1Yoh 3:5.

 

2)  Sebutan ‘Yang Kudus dari Allah’ dalam Luk 4:34 dan Yoh 6:69, sebutan ‘Yang Kudus dan Benar’ dalam Kis 3:14, sebutan ‘HambaMu yang Kudus’ dalam  Kis 4:27,30.

 

3)  Yoh 10:36 mengatakan bahwa Yesus dikuduskan oleh Bapa.

 

4)  Berbeda dengan semua orang lain yang mengaku dosa pada waktu dibaptis oleh Yohanes Pembaptis (Mat 3:6), Yesus tidak mengakui dosa pada saat dibaptis oleh Yohanes Pembaptis (Mat 3:13-17).

 

Bahkan dalam sepanjang hidupNya kita tidak pernah melihat Yesus mengaku dosa atau memberi persembahan / korban penghapus dosa.

 

Kalau dalam Mat 6:12 (Doa Bapa Kami) Ia mengatakan ‘dan ampunilah kami akan kesalahan kami’ jelas bahwa Ia bukannya mengakui dosa, tetapi Ia sedang mengajarkan doa Bapa Kami itu untuk murid-muridNya. Ini terlihat dari Mat 6:9 yang berbunyi ‘Karena itu berdoalah demikian’ yang jelas menunjukkan bahwa saat itu Ia sedang mengajarkan doa itu kepada murid-muridNya.

 

5)  Bahwa Yesus itu suci / benar, diakui oleh:

 

a)  Allah Bapa (Mat 3:17).

 

Bahwa Allah Bapa berkenan kepada Yesus, jelas menunjukkan kesucian Yesus.

 

b)  Yesus sendiri (Yoh 8:29,46).

 

c)  Pontius Pilatus (Luk 23:4,14-15,22  Yoh 18:38b  Yoh 19:4).

 

d)  Istri Pontius Pilatus (Mat 27:19).

 

e)  Herodes (Luk 23:15).

 

f)  Yudas Iskariot (Mat 27:4).

 

g)  Kepala Pasukan Romawi yang menyalibkan Yesus (Luk 23:47).

 

6)  Ia berhasil menggagalkan 3 x pencobaan setan (Mat 4:1-11  Luk 4:1-13).

 

Perlu juga dijelaskan bahwa sekalipun dalam Ibr 4:15 dikata­kan bahwa ‘sama dengan kita, Ia telah dicobai’, tetapi itu hanya berhubungan dengan pencobaan dari luar. Kesucian Kristus menyebabkan Ia tidak mungkin mengalami pencobaan dari dalam seperti yang sering dialami manusia yang lain (seperti berpikir untuk berzinah, dsb), karena dalam hal ini pencobaan itu sendiri sudah merupakan dosa.

 

Karena itu Yesus sendiri bisa berkata bahwa ‘penguasa dunia ini’ (yaitu setan), tidak berkuasa sedikitpun atas diriNya (Yoh 14:30).

 

7)  Lembu / domba / kambing untuk korban penebus dosa, dan domba Paskah, yang merupakan TYPE / gambaran dari Kristus (bdk. Yoh 1:29  1Kor 5:7) selalu digambarkan sebagai tidak bercela / tidak bercacat (Im 4:3b,23b,28b,32b  Kel 12:5). Bdk. 1Pet 1:18-19.

 

8)  Penderitaan dan kematian Yesus bisa menggantikan kita untuk menerima hukuman Allah.

 

Kalau Yesus tidak suci, maka pada saat Ia mati di kayu salib Ia mati untuk dosaNya sendiri, sehingga Ia tidak mungkin bisa menggantikan kita untuk memikul hukuman dosa kita. Bahwa Ia bisa menjadi pengganti, menunjukkan bahwa Ia suci. Dengan demikian terlihat bahwa kesucian Kristus merupakan hal yang sangat vital dalam kekristenan, karena tanpa hal itu, seluruh penebusan hancur.

 

 

II) Serangan terhadap kesucian Kristus.

 

1)  Ayat-ayat yang menunjukkan Yesus marah seperti Mat 21:12-13  Mark 3:5  Yoh 2:14,15.

 

Penjelasan:

 

a)  Marah tidak mesti dianggap sebagai dosa, dan hal ini terlihat dari Ef 4:26 dan Maz 4:5.

 

b)  Kemarahan terhadap dosa justru harus ada dalam diri orang yang dikuasai Roh Kudus (Kel 32:19  1Sam 11:6).

 

Dalam Wah 2:2 ketidak-sabaran terhadap orang-orang yang jahat, justru merupakan sesuatu yang dipuji dari gereja / jemaat Efesus. Sebaliknya, dalam 2Kor 11:4 kesabaran orang Korintus terhadap nabi-nabi palsu, justru dikecam oleh Paulus. Demikian juga dalam Wah 2:20, jemaat Tiatira yang membiarkan nabi palsu, juga dikecam.

 

c)  Kemarahan Yesus adalah kemarahan yang suci, yang ditujukan kepada dosa, sehingga jelas bukan dosa.

 

Penerapan:

 

Orang Kristen harus berani marah pada saat yang tepat, misalnya pada waktu melihat ada nabi palsu atau korupsi dalam gereja.

 

2)  Tuduhan bahwa Yesus melanggar peraturan Sabat (Mat 12:9-14  Luk 14:1-6  Yoh 5:1-18  Yoh 9:14,16).

 

Untuk ini perlu diketahui bahwa:

 

a)  Yesus adalah Tuhan atas hari Sabat (Mat 12:8).

 

b)  Yesus berkata bahwa hari Sabat diciptakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat (Mark 2:27).

 

c)  Yesus berkata bahwa kita boleh berbuat baik pada hari Sabat (Mat 12:11-12  bdk. Yoh 7:22-23).

 

Yesus bukan bekerja pada hari Sabat, tetapi menyembuhkan / menolong orang / berbuat baik pada orang lain pada hari Sabat. Ini jelas bukan dosa.

 

d)  Yang dilanggar oleh Yesus bukanlah peraturan / hukum Tuhan tentang hari Sabat, tetapi penafsiran yang salah dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang peraturan Sabat.

 

3)  Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, padahal baptisan Yohanes adalah baptisan untuk pengampunan dosa (Mark 1:4).

 

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam persoalan ini:

 

a)  Berbeda dengan semua orang lain, yang mengaku dosa pada saat dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, Yesus tidak mengaku dosa (Mat 3:6,13-17).

 

b)  Yohanes Pembaptis sendiri, yang mengenali Yesus sebagai Anak Allah / Mesias, mula-mula menolak untuk membaptis Yesus, dan bahkan beranggapan bahwa ialah yang seharusnya dibaptis oleh Yesus (Mat 3:14).

 

c)  Yesus menjawab keberatan Yohanes Pembaptis itu dengan berkata bahwa Ia harus dibaptis oleh Yohanes, ‘untuk menggenapkan seluruh kehendak Allah’ (Mat 3:15).

 

Mat 3:15 (NIV): to fulfil all righteousness (= untuk menggenapkan seluruh kebenaran).

 

Jadi jelas bahwa Yesus tidak dibaptis untuk mendapatkan pengampunan dosa!

 

4)  Yesus dianggap bersikap tidak hormat kepada Maria / ibuNya, misalnya:

 

a)  Kitab Suci tidak pernah menyebutkan bahwa Yesus memanggil / menyebut Maria dengan sebutan ‘ibu / mama’. Kalau dalam Kitab Suci Indonesia ada ayat-ayat dimana Yesus menyebut / memanggil Maria dengan sebutan ‘ibu’ (seperti dalam Yoh 2:4 dan Yoh 19:26), maka perlu diketahui bahwa itu diterjemahkan dari kata Yunani GUNAI yang sebetulnya berarti ‘perempuan’.

 

b)  Sikap / kata-kata Yesus terhadap / tentang Maria dalam:

 

·        Mat 12:46-50.

 

·        Luk 2:48-49.

 

·        Yoh 2:4.

 

Untuk ini perlu diperhatikan bahwa Yesus adalah Allah dan manusia dalam satu pribadi. Sebagai manusia, Ia harus hormat dan tunduk kepada orangtuaNya, tetapi sebagai Allah, Ia justru berkuasa atas orang tuaNya, dan bahkan seharusnya orang tuanyalah yang mentaati Dia, menghormati Dia, dan menyembah Dia!

 

Illustrasi: Kalau ada seorang majikan dan pegawainya yang sama-sama menjadi majelis dari suatu gereja, maka:

 

·        dalam pekerjaan, pegawai itu harus tunduk pada majikannya.

 

·        dalam urusan gereja, pegawai itu tidak harus tunduk kepada majikannya itu, karena ia mempunyai pangkat / jabatan yang sama dengan majikannya. Dan kalau hal ini terjadi, kita pasti tidak akan mengatakan bahwa pegawai itu kurang ajar kepada majikannya!

 

Hal yang sama terjadi kalau ada seorang pendeta yang mempunyai orang tua atau mertua sebagai jemaatnya.

 

5)  Yesus takut dan gentar (Mat 26:37-38  Mark 14:33  Luk 22:44).

 

Mat 26:37: ‘sedih dan gentar’. Ini salah terjemahan!

 

NIV: ‘to be sorrowful and troubled’ (= sedih dan susah).

 

NASB: ‘to be grieved and distressed’ (= sedih dan susah).

 

Jadi, dari ayat ini hanya terlihat bahwa Yesus sedih, tetapi tidak terlihat bahwa Ia takut.

 

Sekarang mari kita perhatikan ayat-ayat paralel dari Mat 26:37 itu:

 

·        Luk 22:44: ‘Ia sangat ketakutan’. Ini juga salah terjemahan!

 

NIV: ‘being in anguish’ (= ada dalam kesedihan).

 

NASB: ‘being in agony’ (= ada dalam penderitaan).

 

Jadi dari ayat inipun tak terlihat bahwa Yesus takut.

 

·        Mark 14:33: ‘sangat takut dan gentar’.

 

NIV/NASB: ‘deeply / very distressed and troubled’ (= sangat sedih dan susah).

 

Tetapi di sini terjemahan NIV/NASB juga salah, karena kata yang diterjemahkan ‘distressed’ (= sedih) itu di dalam bahasa Yunaninya adalah EKTHAMBEISTHAI yang berasal dari kata EKTHAMBEOMAI, yang sebetulnya berarti ‘be greatly alarmed’ (= sangat takut).

 

Jadi, dari ayat ini kita bisa melihat bahwa Yesus bukan hanya sedih tetapi juga takut.

 

Hal-hal lain yang menunjukkan bahwa pada saat itu Yesus memang takut:

 

·        Doa Yesus dalam Mat 26:39 secara implicit menunjukkan bahwa Ia takut terhadap ‘cawan’ (simbol dari murka / hukuman Allah) itu.

 

·        Luk 22:44b mengatakan bahwa ia mencucurkan peluh seperti darah. Ada yang menganggap bahwa ini betul-betul adalah darah, dan orang-orang ini mengatakan bahwa hal seperti ini memang bisa terjadi (dan pernah terjadi) pada orang yang mengalami ketakutan yang luar biasa.

 

·        Ibr 5:7 (KJV): ‘... he had offered up prayers and supplica­tions with strong crying and tears unto him that was able to save him from death, and was heard in that he feared(= Ia menaikkan doa dan permohonan dengan tangisan keras dan air mata kepada Dia yang bisa melepaskanNya dari maut, dan didengarkan dalam hal yang Ia takuti).

 

Catatan: Kata-kata yang oleh KJV diterjemahkan ‘in that He feared’ (= dalam hal yang Ia takuti), diterjemahkan secara berbeda oleh Kitab Suci bahasa Inggris yang lain.

 

NIV: because of His reverent submission (= karena ketundukanNya yang penuh hormat / takut).

 

NASB: because of His piety (= karena kesalehanNya).

 

NKJV: because of His godly fear (= karena rasa takutNya yang saleh).

 

RSV: for his godly fear (= karena rasa takutNya yang saleh).

 

Sekalipun demikian ada banyak penafsir tetap mempertahankan arti yang diberikan oleh KJV.

 

Bahwa Yesus sedih, itu bukan sesuatu yang aneh, karena saat itu Ia sedang dikhianati oleh Yudas, akan ditinggal oleh murid-muridNya, akan disangkal oleh Petrus, akan ditolak oleh orang-orang Yahudi, dan akan terpisah dari Allah. Dan kesedihan itu juga bukan dosa karena ayat seperti Fil 4:4 memang tidak boleh dimutlakkan (bdk. Mat 5:4  Luk 6:21b)!

 

Tetapi bagaimana dengan rasa takut yang dialami oleh Yesus? Apakah ini bukan dosa?

 

a)  Pertama-tama perlu diketahui bahwa Ia bukan takut pada kematian atau penderitaan, tetapi takut pada murka Allah (Catatan: takut pada murka Allah jelas bukan merupakan sesuatu yang salah!) yang akan menimpaNya pada saat Ia menanggung hukuman umat manusia.

 

William Hendriksen: “Did he, perhaps, here in Gethsemane see this tidal wave of God's wrath because of our sin coming?” [= Mungkinkah Ia, di sini di Getsemani, melihat datangnya gelombang pasang (= tsunami) murka Allah karena dosa kita?] - ‘The Gospel of Mark’, hal 586.

 

Renungkan: bahwa Yesus, yang biasanya tidak pernah takut itu, bisa takut melihat murka Allah itu, menunjukkan secara jelas betapa hebatnya dan mengerikannya murka Allah atas dosa-dosa kita itu! Bdk. Wah 6:15-17. Karena itu, kalau saudara belum betul-betul percaya kepada Yesus sebagai Juruselamat dan Tuhan, cepatlah percaya, sebelum saudara harus menghadapi / mengalami murka Allah yang menakutkan itu!

 

b)  Apakah rasa takut Yesus di sini adalah dosa?

 

·        Kitab Suci jelas menunjukkan bahwa Yesus tidak pernah berbuat dosa dalam bentuk apapun (Ibr 4:15  2Kor 5:21). Karena itu jelas bahwa rasa takut di sini tidak bisa disebut sebagai dosa. Kita tidak boleh menafsirkan ayat Kitab Suci yang satu sehingga bertentang-an dengan ayat yang lain.

 

·        1Yoh 4:18 kelihatannya menunjukkan bahwa rasa takut adalah dosa, tetapi kalau kita membaca mulai 1Yoh 4:17 maka akan terlihat bahwa rasa takut yang dimaksudkan di sini adalah rasa takut terhadap hukuman Allah pada akhir jaman. Ayat ini hanya menunjukkan bahwa orang kristen sejati, yang cinta kepada Allah, pasti tidak akan mempunyai rasa takut terhadap hukuman Allah pada akhir jaman. Mengapa? Karena ia percaya bahwa semua hukumannya sudah ditanggung oleh Kristus sehingga ia tidak mungkin dihukum (Ro 8:1). Jadi jelas bahwa ayat ini tidak bisa diterapkan terhadap rasa takut Kristus pada saat ini.

 

·        Dalam tafsirannya tentang Mat 26:39, Calvin mengatakan:

“In the present corruption of our nature it is impossi­ble to find ardour of affections accompanied by modera­tion, such as existed in Christ; but we ought to give such honour to the Son of God, as not to judge him by what we find in ourselves” (= Dalam keadaan kita yang berdosa sekarang ini, tidak mungkin untuk mendapatkan perasaan yang tidak berlebihan, seperti yang ada dalam Kristus; tetapi kita harus menghormati Anak Allah dengan tidak menghakimiNya dengan apa yang kita dapatkan dalam diri kita sendiri).

 

“When Christ was struck with horror at the divine curse, the feeling of the flesh affected him in such a manner, that faith still remained firm and unshaken. For such was the purity of his nature, that he felt, without being wounded by them, those temptations which pierce us with their stings”  (= Ketika Kristus takut pada kutuk ilahi, perasaan dari daging mempengaruhiNya dengan cara sedemikian rupa, sehingga iman tetap teguh dan tak tergo­yahkan. Karena begitu murninya hakekatNya, sehingga Ia merasa tanpa terluka oleh pencobaan-pencobaan yang akan menusuk kita dengan sengatnya).

 

Jadi dengan kata-kata ini Calvin memaksudkan bahwa:

 

·        kita sebagai manusia yang berdosa, sangat berbeda dengan Kristus yang suci murni itu.

 

·        karena itu kita tak boleh menghakimi Kristus dengan apa yang ada dalam diri kita, karena Ia memang berbeda dengan kita.

 

·        pada saat Kristus takut, Ia bisa tetap beriman (kita tidak bisa seperti ini), dan karena itu Ia tetap tidak berdosa.

 

6)  Ibr 5:8 mengatakan bahwa Yesus ‘belajar menjadi taat dari apa yang telah dideritaNya’.

 

Ini dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa ada saat dimana Yesus tidak taat.

 

Penjelasan:

 

a)  Calvin mengatakan bahwa ayat ini jelas tidak berarti bahwa dulunya Yesus tidak taat, dan lalu Ia mengalami penderi­taan yang membuat Dia taat, seakan-akan Yesus adalah kuda / bagal yang baru mau menurut setelah dikendalikan dengan kekang, cambuk, dsb (bdk. Maz 32:9). Setiap orang kristen akan mengalami ketaatan seperti ini, tetapi Yesus tidak!

 

b)  John Owen mengatakan bahwa ‘belajar ketaatan’ bisa diarti­kan 3 macam:

 

·        dari tidak tahu lalu menjadi tahu tentang apa yang harus ditaati.

 

Tentu bukan ini yang dimaksud di sini.

 

·        belajar untuk melakukan ketaatan.

 

Kita semua perlu belajar ketaatan dalam arti ini, dimana kita jatuh bangun berkali-kali, sampai akhirnya kita bisa mengatasi dosa tertentu. Tentu bukan ini yang dimaksud di sini.

 

·        mendapat pengalaman ketaatan.

 

Inilah arti yang dimaksudkan di sini.

 

John Owen juga mengatakan bahwa ketaatan yang dimaksud di sini adalah ketaatan dalam mengalami penderitaan, bahkan kematian untuk menebus dosa manusia (bdk. Yes 50:5-6  Yes 53:7  Yoh 10:17-18  Fil 2:8).

 

Dengan mengalami semua itu Ia mengalami dalam diriNya sendiri betapa sukarnya ketaatan dalam penderitaan itu, dan betapa besar kasih karunia yang dibutuhkan untuk taat. Dengan demikian Ia bisa mempunyai belas kasihan dan sim­pati terhadap kita yang menderita.

 

Kalau yang dimaksud dengan ‘belajar ketaatan’ itu adalah ‘mengalami ketaatan dalam penderitaan’, maka jelaslah itu tidak menunjukkan bahwa tadinya Kristus tidak taat!

 

c)  Tyndale Commentary mengutip Griffith Thomas yang berkata:

“This is the difference between innocency and virtue. Innocency is life untested, while virtue is innocency tested and triumphant. The Son had always possessed the disposition of obedience, but for Him to possess the virtue of obedience, testing was necessary” (= Inilah perbedaan antara ketidak-bersalahan dan kebaikan / kebajikan. Ketidak-bersalahan adalah hidup yang tidak / belum diuji, sedangkan kebaikan / kebajikan adalah ketidakbersa­lahan yang telah diuji dan menang. Anak selalu mempunyai kecondongan pada ketaatan, tetapi supaya Ia mempunyai kebaikan / kebajikan dalam ketaatan, Ia harus diuji).

 

Kalau kita melihat kata-kata ini, maka terlihat bahwa ia beranggapan bahwa sebelum Yesus ‘belajar ketaatan’ Ia mempunyai innocency (= ketidak-bersalahan), tetapi setelah Yesus ‘belajar ketaatan’, Ia mempunyai virtue (= kebaikan / kebajikan). Ini lagi-lagi menunjukkan bahwa sebelum Yesus ‘belajar ketaatan’, Ia bukannya tidak taat.

 

7)  Ibr 5:9 mengatakan “sesudah Ia mencapai kesempurnaanNya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi ...”.

 

NASB: “And having been made perfect, He became ...” (= Dan setelah disempurnakan, Ia menjadi ...).

 

Ayat ini dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa ada satu saat dimana Yesus itu tidak / belum sempurna.

 

Penjelasan:

 

Kontex (Ibr 4:14-5:10) berbicara tentang Yesus sebagai Imam Besar, dan karena itu istilah ‘sempurna’ di sini harus dihu­bungkan dengan hal itu. Jadi artinya adalah: Ia jadi cocok sempurna untuk menjadi Imam Besar.

 

8)  Mark 10:17-18 menceritakan dialog antara Yesus dengan pemuda kaya, dimana ketika pemuda kaya menyebut Yesus dengan isti­lah / sebutan ‘Guru yang baik’, Yesus menjawab dengan berka­ta: ‘Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja’.

 

Ini sering dianggap sebagai pengakuan Yesus sendiri yang menyatakan bahwa Ia bukan Allah, dan Ia tidak baik.

 

Penjelasan:

 

a)  Kita tidak boleh menafsirkan satu ayat sehingga bertentangan dengan ayat yang lain. Penafsiran bahwa Mark 10:17-18 berarti bahwa Yesus bukan Allah dan Yesus tidak baik, bertentangan dengan banyak ayat Kitab Suci yang menunjukkan keilahian dan kesucian Yesus.

 

b)  Pemuda kaya itu menyebut Yesus dengan istilah ‘guru yang baik’. Dari istilah ‘guru’ jelaslah bahwa ia menganggap Yesus hanyalah manusia biasa. Dengan menambahkan istilah ‘baik’, sebetulnya ia menggunakan sebutan yang kontradik­si, karena tidak ada manusia biasa yang baik (Maz 14:1-3  Maz 53:2-4  Ro 3:10-12).

 

Kata-kata Yesus dalam Mark 10:18 itu dimaksudkan untuk membetulkan ketidakbenaran / kontradiksi dalam sebutan pemuda kaya itu. Yesus mau bahwa pemuda itu tidak hanya mengakui Dia sebagai baik, tetapi juga sebagai Allah.

 

 

III) Ketidak-bisa-berdosaan Kristus.

 

Semua orang yang Injili dan Alkitabiah setuju bahwa bahwa dalam faktanya Kristus tidak pernah berbuat dosa.

 

Tetapi yang dibicarakan sekarang, adalah: secara teoritis, adakah kemungkinan bagi Yesus untuk jatuh ke dalam dosa pada waktu Ia hidup sebagai manusia dalam dunia ini?

 

Dalam hal ini tidak ada kesatuan pendapat, bahkan dalam kalangan Reformedpun tidak ada keseragaman pendapat.

 

Sekarang mari kita menyoroti macam-macam pandangan yang ada:

 

A)  Kristus tidak bisa berdosa (non posse peccare).

 

Ini merupakan pandangan Calvin dan orang-orang Reformed pada umumnya (Catatan: sepanjang yang saya tahu, dari para ahli theologia Reformed, hanya Charles Hodge yang tidak setuju dengan pandangan ini).

 

Hal-hal yang dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa Kristus tidak bisa berbuat dosa:

 

1)  Ibr 13:8 berkata bahwa Kristus tidak berubah. Kalau Ia bisa berdosa, maka itu berarti Ia bisa berubah (dari suci menjadi berdosa).

 

2)  Ibr 10:7,9 mengatakan bahwa Kristus datang ke dunia untuk melakukan kehendak Allah. Tujuan ini tidak mungkin tidak tercapai!

 

3)  Kata-kata Kristus dalam Yoh 14:30 dimana Ia berkata bahwa Penguasa dunia ini (yaitu setan) tidak berkuasa sedikitpun atas diriNya, menunjukkan ketidak-mungkinanNya untuk berbuat dosa.

 

4)  Penebusan oleh Kristus sudah ada sejak semula dalam Rencana Allah dan Rencana Allah tidak mungkin berubah atau gagal.

 

a)  Bahwa Rencana Allah sudah ada sejak semula terlihat dari ayat-ayat seperti 2Raja-raja 19:25  Maz 139:16  Yes 37:26  Yes 46:10.

 

Kalau manusia membuat rencana, maka manusia membuatnya secara bertahap. Misalnya pada waktu kita ada di SMP kita merencanakan untuk masuk SMA tertentu, dan pada waktu di SMA baru kita merencanakan untuk masuk pergu­ruan tinggi tertentu. Setelah lulus dari perguruan tinggi, baru kita merencanakan untuk bekerja di tempat tertentu, dsb. Tidak ada manusia yang dari lahir lalu bisa merencanakan segala sesuatu dalam seluruh hidup­nya! Mengapa? Karena manusia tidak maha tahu sehingga ia tidak mampu melakukan hal itu. Manusia membutuhkan penambahan pengetahuan untuk bisa membuat rencana lanjutan.

 

Tetapi Allah yang maha tahu dan maha bijaksana, meren­canakan seluruh RencanaNya sejak semula!

 

b)  Penebusan dosa umat manusia oleh Kristus sudah termasuk dalam Rencana Allah (Kis 2:23  Kis 4:27-28  1Pet 1:20).

 

c)  Rencana Allah tidak mungkin berubah atau gagal (Ayub 42:2  Maz 33:10-11  Yes 14:24,26,27  Yes 46:10-11).

 

Orang Arminian / non Reformed percaya bahwa Allah bisa mengubah RencanaNya, dan percaya bahwa Rencana Allah bisa gagal. Sebetulnya ini suatu penghinaan bagi Allah karena ini menyamakan Allah dengan manusia, yang sering harus mengubah rencananya dan gagal dalam mencapai rencananya!

 

Ada banyak hal yang tidak memungkinkan Allah mengubah rencanaNya / gagal dalam mencapai rencanaNya:

 

·        ayat-ayat dalam point c di atas secara jelas menun­jukkan bahwa Rencana Allah tak mungkin berubah atau gagal!

 

·        kemahatahuan Allah.

 

Pada waktu Allah merencanakan, bukankah Ia sudah tahu apakah rencanaNya akan berhasil atau gagal? Kalau Ia sudah tahu bahwa RencanaNya akan gagal, lalu mengapa Ia tetap merencanakannya?

 

·        kemahabijaksanaan Allah.

 

Kebijaksanaan Allah menyebabkan Ia pasti membuat rencana yang terbaik. Kalau rencana ini diubah, maka akan menjadi bukan yang terbaik. Ini tidak mungkin!

 

·        kemahakuasaan Allah.

 

Manusia sering gagal mencapai rencananya atau terpak­sa mengubah rencananya karena ia tidak maha kuasa. Tetapi Allah yang maha kuasa tidak mungkin gagal mencapai rencanaNya atau terpaksa harus mengubah rencanaNya!

 

·        kedaulatan Allah tidak memungkinkan Ia untuk mengubah rencanaNya, karena perubahan rencana berarti Ia menjadi tergantung pada situasi dan kondisi (tidak lagi berdaulat).

 

Kalau Kristus berdosa, maka Ia harus mati untuk dosaNya sendiri, sehingga Ia tidak bisa menebus dosa umat manusia. Jadi kalau ada kemungkinan bagi Kristus untuk berdosa, maka itu berarti ada kemungkinan bagi Rencana Allah (tentang Penebusan) untuk gagal.

 

5)  Dilihat dari hakekat-hakekat yang ada dalam diri Kristus:

 

·        hakekat manusia mempunyai sifat ‘bisa berdosa’ (posse peccare).

 

·        hakekat ilahi mempunyai sifat ‘tidak bisa berdosa’ (non posse peccare).

 

Berdasarkan Communicatio Idiomatum, maka semua sifat dari hakekat manusia maupun hakekat ilahi diberikan kepada pribadi Kristus. Jadi seharusnya pribadi Kristus mempunyai sifat ‘bisa berdosa’ dan ‘tidak bisa berdosa’. Tetapi kesimpulan ini ditolak oleh orang-orang Reformed pada umumnya.

 

a)  Pandangan Louis Berkhof.

 

Adanya Communicatio Charismatum dimana hakekat manusia dari Kristus ditinggikan melebihi makhluk-makhluk ciptaan yang lain melalui pemberian karunia-karunia Roh dalam hal intelek, kehendak dan kuasa, terutama dalam hal ketidak-mungkinannya untuk berbuat dosa.

 

Jadi, Louis Berkhof beranggapan bahwa hakekat manusia Kristus itu sendiri sudah tidak bisa berbuat dosa. Dan ini menyebabkan pribadi Kristus tidak bisa berdosa.

 

b)  Pandangan W.G.T. Shedd.

 

Shedd beranggapan bahwa hakekat manusia dari Kristus bisa berdosa (posse peccare), tetapi dalam persatuan antara hakekat manusia dan hakekat ilahi dalam satu pribadi, hakekat ilahilah yang menguasai dan mengontrol hakekat manusia, dan bukan sebaliknya. Jadi kekuatan pribadi Kristus untuk melawan godaan / serangan setan setara dengan kekuatan dari hakekat ilahi untuk melawan godaan / serangan setan. Dengan demikian, apa yang bisa dilakukan oleh hakekat manusia Kristus kalau hakekat manusia itu terpisah dari hakekat ilahi (yaitu bisa berbuat dosa), tidak bisa dilakukan oleh persatuan dari hakekat manusia dan hakekat ilahi dalam pribadi Kris­tus.

 

Jadi doktrin Shedd tentang Communicatio Idiomatum adalah bahwa semua sifat dari hakekat ilahi diberikan kepada pribadi Kristus, tetapi untuk hakekat manusia, ada 1 sifat yang tidak bisa diberikan kepada pribadi Kristus, yaitu sifat ‘bisa berdosa’.

 

Alasan Shedd adalah: dalam persoalan dosa, hakekat ilahi tidak bisa membiarkan hakekat manusia pada keter­batasannya. Kalau hakekat ilahi melakukan hal itu, hakekat ilahi sendiri sudah berdosa:

“In this latter instance, the divine nature cannot innocently and righteously leave the human nature to its own finiteness without any support from the divine, as it can in other instances” (= Dalam hal yang terakhir ini, hakekat ilahi tidak bisa secara tak berdosa dan secara benar, meninggalkan hakekat manusia pada keterbatasannya tanpa pertolongan dari hakekat ilahi, seperti yang bisa dilakukan oleh hakekat ilahi dalam hal-hal lain) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 333-334.

 

c)  Pandangan R.L. Dabney.

 

Persatuan 2 hakekat itu adalah suatu perisai bagi hakekat manusia terhadap kesalahan:

“It is impossible that the person constituted in union with the eternal and immutable Word, can sin; for this union is an absolute shield to the lower nature, against error” (= Adalah tidak mungkin bahwa pribadi yang terbentuk / terdapat dalam persatuan dengan Firman yang kekal dan yang tak berubah, bisa berdosa; karena persatuan ini adalah suatu perisai yang mutlak bagi hakekat yang lebih rendah, terhadap kesalahan) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 471.

 

Dalam persatuan hakekat manusia dengan LOGOS, hakekat manusia itu dikuasai sepenuhnya oleh Roh Kudus:

“This lower nature, upon its union with the Word, was imbued with the full influence of the Holy Ghost” (= Hakekat yang lebih rendah ini, dalam persatuannya dengan Firman, dikaruniai dengan pengaruh penuh dari Roh Kudus) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 471.

 

Dabney juga memberikan dasar-dasar Kitab Suci yang menunjukkan peranan Roh Kudus dalam diri Kristus, yaitu: Maz 45:8  Yes 11:2,3  Yes 61:1 (bdk. Luk 4:21)  Luk 4:1  Yoh 1:32  Yoh 3:34.

 

Ini kelihatannya sesuai dengan pandangan Calvin, karena dalam komentarnya tentang Mat 4:1 (dimana Kristus dipenuhi oleh Roh Kudus sebelum Ia dicobai oleh setan) ia berkata sebagai berikut:

“Christ was fortified by the Spirit with such power that the darts of Satan could not pierce him” (= Kristus dibentengi oleh Roh dengan kuasa sedemikian rupa sehingga panah-panah Setan tidak bisa menusuk­Nya).

 

d)  G. C. Berkouwer mengutip seseorang yang berkata:

“The inner incapacity for sin results from the fact that the ‘I’ of the human nature is the Logos” (= Ketidak-mampuan untuk berbuat dosa merupakan akibat dari fakta bahwa ‘Aku’ dari hakekat manusia itu adalah Logos) - ‘Studies in Dogmatics: The Person of Christ’, hal 258.

 

Perlu ditambahkan kata-kata Herman Hoeksema sebagai berikut:

“My person is that which I know to be the subject of all my actions, ... It is not my nature, my body or my soul, my brain, my eye, my ear, my mouth, my feet, that acts, thinks, sees, hears, speaks, runs; but it is my person. I act, I think, I see, and I hear and speak and run, in and through my nature. ... Now in Christ this person is the Son of God, the Second Person of the Holy Trinity” (= Pribadiku adalah apa yang aku ketahui merupakan subyek dari semua tindakanku, ... Bukanlah hakekatku, tubuhku atau jiwaku, otakku, mataku, telingaku, mulutku, kakiku, yang bertindak, berpikir, melihat, mendengar, berbicara, lari; tetapi pribadikulah yang melakukannya. Aku bertindak, aku berpikir, aku melihat, dan aku mendengar dan berbicara dan berlari, di dalam dan melalui hakekatku. ... Dalam hal Kristus, pribadiNya adalah Anak Allah, pribadi yang kedua dari Tritunggal yang Kudus) - ‘Reformed Dogmatics’, hal 359-360.

 

Karena pribadi merupakan subyek dari semua tindakan, maka jelaslah bahwa Kristus tidak bisa berbuat dosa, karena pribadiNya adalah Allah Anak / LOGOS sendiri!

 

e)  G. C. Berkouwer juga memberikan pandangan Abraham Kuyper (yang kelihatannya merupakan gabungan dari pandangan c) dan d). Berkouwer berkata sebagai berikut:

“Kuyper says that owing to the human nature of Christ there was in him the possibility of sin (as it existed in Adam before the Fall). But since Jesus did not assume a human person, a ‘homo’, but human nature, and since there was in him no human ego (to realize this possibilitas) but, on the contrary, the human nature remained eternally united to the second person of the Trinity, therefore the control of this divine person makes it absolutely impossible for the possibilitas to become reality” [= Kuyper mengatakan bahwa hakekat manusia Kristus menyebabkan dalam Dia ada kemungkinan untuk berbuat dosa (seperti yang ada dalam Adam sebelum Kejatuhan dalam dosa). Tetapi karena Yesus tidak mengambil seorang pribadi manusia, seorang ‘manusia’, tetapi hakekat manusia, dan karena dalam Dia tidak ada ego manusia (untuk mewujudkan kemungkinan ini) tetapi, sebaliknya, hakekat manusia itu tetap bersatu secara kekal dengan pribadi kedua dari Trinitas, karena itu kontrol dari pribadi ilahi ini menyebabkan ketidakmung­kinan mutlak untuk terwujudnya kemungkinan tersebut] - ‘Studies in Dogmatics: the Person of Christ’, hal 259.

 

Sekalipun pandangan-pandangan tersebut di atas (a - e) berbeda satu sama lain, tetapi kesimpulannya adalah sama, yaitu: pribadi Kristus tidak bisa berdosa.

 

B)  Kristus bisa berdosa (posse peccare).

 

1)  Charles Hodge berkata:

“The sinlessness of our Lord, however, does not amount to absolute impeccability. ... If He was a true man He must have been capable of sinning. ... Temptation implies the possibility of sin. If from the constitution of his person it was impossible for Christ to sin, then his temptation was unreal and without effect, and He cannot sympathize with his people” (= Tetapi, ketidak-berdosaan Tuhan kita, tidak berarti ketidak-bisa-berdosaan yang mutlak. ... Jika Ia adalah seorang manusia yang sungguh-sungguh Ia pasti bisa berdosa. ... Pencobaan secara tak langsung menunjukkan kemungkinan untuk berbuat dosa. Jika pembentukan pribadiNya menyebabkan Kristus tidak mungkin berbuat dosa, maka pencobaanNya tidak nyata dan tidak berguna, dan Ia tidak bisa bersimpati dengan umatNya) - ‘Systematic Theology’, vol II, hal 457.

 

Jadi, alasan yang diberikan oleh Charles Hodge untuk mendukung pandangan ini adalah:

 

·        Kalau Kristus menjadi manusia yang sama seperti kita (Ibr 2:14-17), maka Ia juga harus bisa berbuat dosa, sama seperti kita.

 

Jawab:

 

Ini bisa dijawab dengan point A no 5 di atas.

 

·        Kalau Kristus tidak bisa berbuat dosa, Ia tidak bisa dicobai. Dengan kata lain, fakta bahwa Kristus dicobai, menunjukkan bahwa Ia bisa berbuat dosa.

 

Jawab:

 

Pandangan ini tidak benar, karena bahwa suatu pasukan tidak bisa dikalahkan, tidak berarti bahwa pasukan itu tidak bisa diserang. Jadi analoginya adalah: bahwa Kristus tidak bisa berdosa, tidak berarti Ia tidak bisa dicobai.

 

·        Kalau Kristus tidak bisa berbuat dosa, maka pencobaan yang Ia alami tidak nyata dan tidak berguna, dan Ia tidak bisa bersimpati dengan umatNya.

 

Jawab:

 

·        Sekalipun Kristus tidak bisa berbuat dosa, ini tidak berarti bahwa pencobaan yang dialami oleh Kristus adalah  sepele /  ringan  (bdk.  Mat 26:36-46  Ibr 2:18  Ibr 4:15  Ibr 5:7-8).

 

Tentang hal ini Berkouwer berkata:

“Christ’s sinlessness does not nullify the temptation but rather demonstrates its superiority in the teeth of temptation” (= ketidak-berdosaan Kristus tidak meniada­kan pencobaan tetapi sebaliknya menunjukkan kesuperiorannya dalam gigitan pencobaan) - ‘Studies in Dogmatics: the Person of Christ’, hal 263.

 

·        Pada waktu membahas tentang pencobaan di padang gurun dalam Injil Lukas, Norval Geldenhuis (NICNT) mengutip Westcott yang mengomentari Ibr 2:18 dengan kata-kata sebagai berikut:

“Sympathy with the sinner in his trial does not depend on the experience of sin, but on the experience of the strength of the temptation to sin, which only the sinless can know in its full intensity. He who falls yields before the last strain” (= Simpati dengan orang berdosa dalam pencobaannya tidak tergantung pada pengalaman tentang dosa, tetapi pada pengalaman tentang kekuatan pencobaan kepada dosa, yang hanya orang yang tak berdosa bisa mengetahuinya dalam intensitasnya sepenuhnya. Ia yang jatuh, menyerah sebelum tekanan terakhir) - hal 157.

 

Geldenhuis juga mengutip Plummer yang berkata:

“... a righteous man, whose will never falters for a moment, may feel the attractiveness of the advantage more keenly than the weak man who succumbs; for the latter probably gave way before he recognised the whole of the attractiveness” (= ... orang yang benar, yang tidak pernah goyah sesaatpun, bisa merasakan daya tarik dari keuntungan dengan lebih hebat / keras dari pada orang lemah yang menyerah / mengalah; karena yang terakhir ini mungkin menyerah sebelum ia mengenal seluruh daya tarik itu) - hal 157.

 

Dari 2 kutipan di atas ini Geldenhuis menyimpulkan:

“If we bear these considerations in mind we shall realise that the Saviour experienced the violence of the attacks of temptation as no other human being ever did, because all others are sinful and therefore not able to remain standing until the temptations have exhausted all their terrible violence in assailing them” (= Jika kita mengingat pertimbangan-pertimbangan ini, kita akan menyadari bahwa sang Juruselamat mengalami hebatnya serangan pencobaan yang tidak pernah dialami oleh orang lain, karena semua yang lain adalah orang berdosa dan karena itu tidak bisa tetap berdiri sampai pencobaan-pencobaan itu menghabiskan seluruh kekuatannya dalam menyerang mereka) - hal 157.

 

Illustrasi dan contoh:

 

o       Kalau seorang petinju yang tidak terlalu tahan pukul menghadapi Mike Tyson, maka mungkin sekali bahwa baru satu kali terkena pukulan Mike Tyson ia sudah KO, sehingga ia tidak merasakan seluruh kekuatan Mike Tyson. Tetapi petinju lain yang betul-betul tahan pukulan, tidak jatuh sekalipun terkena banyak pukulan Tyson, sehingga ia betul-betul merasakan seluruh kekuatan Tyson.

 

o       Orang yang mengalami godaan sex. Kalau begitu ada godaan ia langsung menyerah, maka jelas bahwa ia tidak merasakan seluruh kekuatan godaan itu. Tetapi kalau ia bertahan, maka orang yang menggodanya itu akan menggunakan bermacam-macam cara dan taktik untuk menjatuhkannya, sehingga ia akan merasakan seluruh kekuatan godaan itu.

 

2)  Ada juga yang membuktikan bahwa Kristus bisa berbuat dosa dengan menggunakan Mat 26:53 dimana Yesus berkata: “Atau kausangka, bahwa Aku tidak dapat berseru kepada BapaKu, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku?”.

 

Ayat ini dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa saat itu Yesus ada di persimpangan jalan. Ia bisa memilih untuk tunduk pada kehendak Allah, dengan membiarkan diriNya ditangkap dan dibunuh. Tetapi Ia bisa juga memilih untuk tidak tunduk pada kehendak Allah, dengan berdoa kepada BapaNya supaya BapaNya mengirim lebih dari 12 pasukan malaikat membantu Dia. Sekalipun akhirnya / dalam fakta­nya Ia memilih untuk taat pada kehendak Allah, tetapi ayat ini dianggap sebagai dasar untuk menunjukkan bahwa sebetulnya Ia bisa saja tidak tunduk pada kehendak Allah.

 

Jawab:

 

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

 

·        Yesus mengucapkan Mat 26:53 ini hanya untuk meluruskan pemikiran / tindakan dari Petrus yang berusaha ‘meno­long Yesus’ dengan membacok telinga hamba Imam Besar.

 

·        Calvin beranggapan bahwa dalam Mat 26:53 ini Yesus hanya mengandaikan.

 

Jadi maksudnya adalah sebagai berikut: Andaikata saja hal itu tidak bertentangan dengan kehendak Allah, maka dari pada dibantu oleh Petrus menggunakan pedangnya, Yesus mempunyai cara yang lebih baik, yaitu berdoa kepada Bapa untuk mengirim lebih dari 12 pasukan malai­kat.

 

·        Mat 26:53 tidak boleh dipisahkan dari Mat 26:54 yang berbunyi: “Jika begitu, bagaimanakah mungkin akan digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci, yang mengata­kan bahwa harus terjadi demikian?”.

 

Kata ‘harus’ menunjukkan bahwa penangkapan terhadap Kristus dan kematianNya, tidak bisa tidak terjadi!

 

·        kita juga harus mengingat doa Yesus dalam taman Getsemani dimana Ia berdoa: “Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan itu lalu dari padaKu” (Mat 26:39a). Tetapi karena kesucianNya, yang tidak memungkinkan Dia untuk menentang kehendak Allah, Ia lalu menambahkan: “Tetapi janganlah seperti yang Kuke­hendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat 26:39b).

 

Karena itu, andaikatapun Yesus di sini berdoa meminta Bapa mengirim pasukan malaikat, tidakkah Ia juga akan menambahkan kata-kata dalam Mat 26:39 itu?

 

C)  Kristus bisa tidak berdosa (posse non peccare).

 

Pandangan ini berkata bahwa Kristus bukannya ‘tidak bisa berdosa’ (non posse peccare), juga bukannya ‘bisa berdosa’ (posse peccare), tetapi ‘bisa tidak berdosa’ (posse non peccare).

 

Jawab:

 

Pandangan ini juga tidak logis, karena memiliki sifat ‘bisa tidak berdosa’ tanpa memiliki sifat ‘bisa berdosa’ adalah sama dengan memiliki sifat ‘tidak bisa berdosa’.

 

          PNP                                 PNP              NPP

½                                     ½                ½

½        A                  B       ½        C      ½         D

¾¾¾+¾¾¾¾¾+¾¾¾¾¾¾+¾¾¾¾¾+¾¾¾¾¾¾

½                 ½                  ½

½                 ½                  ½

PP                NPNP            PP

 

Keterangan gambar:

PP   = posse peccare = possible to sin = bisa berdosa.

PNP  = posse non peccare = possible not to sin = bisa tidak berdosa.

NPNP = non posse non peccare = not possible not to sin = tidak bisa tidak berdosa.

NPP  = non posse peccare = not possible to sin = tidak bisa berdosa.

 

A = Adam dan Hawa sebelum jatuh ke dalam dosa. Mereka ‘bisa berdosa’ dan ‘bisa tidak berdosa’.

B = orang dalam dosa yang masih di luar Kristus. Mereka ‘tidak bisa tidak berdosa’.

C = orang yang ada dalam Kristus. Mereka dikembalikan kepada kondisi Adam dan Hawa sebelum jatuh ke dalam dosa, yaitu ‘bisa berdosa’ dan ‘bisa tidak berdosa’.

D = orang kristen di surga. Mereka ‘tidak bisa berdosa’.

 

Sekarang perhatikan hanya bagian C dan D saja. Pada waktu ada di C, manusia ‘bisa berdosa’ dan ‘bisa tidak berdosa’. Pada waktu masuk ke D, ‘bisa berdosa’ hilang, tetapi yang tertinggal bukanlah ‘bisa tidak berdosa’, melainkan berubah menjadi ‘tidak bisa berdosa’.

 

Dari sini jelas bahwa ‘bisa tidak berdosa’ tanpa disertai ‘bisa berdosa’, menjadi ‘tidak bisa berdosa’.