Eksposisi Wahyu kepada Yohanes

oleh : Pdt. Budi Asali M.Div.


Wahyu 2:12-17

Surat kepada jemaat / gereja pergamus

 

 

Ay 12: “Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Pergamus: Inilah firman Dia, yang memakai pedang yang tajam dan bermata dua:”.

 

1)   Kota ‘Pergamus’.

 

a)   Perbedaan nama ‘Pergamus’ dan ‘Pergamum’.

 

KJV: Pergamos.

 

RSV/NIV/NASB: Pergamum.

 

William Barclay: “Pergamos is the feminine form of the name and Pergamum the neuter. In the ancient world it was known by both forms but Pergamum was much the commoner and the newer translations are right to prefer it” (= Pergamos adalah bentuk perempuan dari nama itu dan Pergamum adalah bentuk netralnya. Dalam dunia purba kota itu dikenal dengan kedua bentuk itu, tetapi Pergamum jauh lebih lazim, dan terjemahan-terjemahan yang lebih baru bertindak benar pada waktu memilihnya) - hal 87.

 

b)   Keadaan / situasi kota Pergamus.

 

Pergamus adalah ibukota dari propinsi Asia. Steve Gregg mengatakan bahwa kalau Efesus adalah ‘New York dari Asia’ (kota terbesar di Asia), maka Pergamus adalah ‘Washington D.C. dari Asia’ (ibukota Asia).

 

Kota Pergamus mempunyai perpustakaan terbesar kedua di dunia, yang mempunyai 200.000 ‘buku’. Ini hanya kalah oleh perpustakaan di Alexandria, Mesir.

 

Catatan: Barclay mengatakan bukan ‘buku’ tetapi ‘parchment rolls’ / gulungan kulit / perkamen. Dan A. T. Robertson (hal 303) mengatakan bahwa kata ‘parchment’ (charta Pergamena) diturunkan dari kata Pergamum.

 

Pergamus adalah kota tertua di Asia, dan kota ini:

 

·        adalah kota yang pertama-tama mendirikan kuil bagi Kaisar Agustus.

 

Karena Pergamus adalah ibukota Asia, maka Pergamus merupakan pusat penyembahan terhadap kaisar. Di kota ini orang-orang kristen diperintahkan untuk mempersembahkan dupa / kemenyan kepada patung kaisar sambil mengatakan ‘Kaisar adalah Tuhan’.

 

·        mempunyai kuil bagi Dewa Zeus.

 

·        mempunyai kuil bagi Dewa Asclepius / Aesculapius yang berbentuk ular dan dianggap sebagai dewa penyembuh.

 

Karena itu, banyak orang datang ke Pergamus mencari kesembuhan, sehingga Steve Gregg mengatakan bahwa kota ini seperti ‘Lourdes’ (= kota kesembuhan orang Katolik) bagi dunia purba.

 

Herman Hoeksema: “because of this imaginary power of this god, he was generally known as Soter, that is, Savior. ... the serpent, the symbol of the devil, was hailed as the savior of men and was worshipped as such” (= karena kuasa, yang sebenarnya hanya merupakan khayalan, dari allah / dewa ini, ia pada umumnya dikenal sebagai SOTER, yaitu Juruselamat. ... ular, simbol dari setan, dipanggil / disebut / diterima dan disembah sebagai juruselamat manusia) - hal 83.

 

Herman Hoeksema: “Satan, the serpent, is honored and worshipped as the savior of men instead of Christ; and Caesar, man, is worshipped as lord of all instead of Him to Whom all power is given in heaven and on earth. ... the prince of darkness is the ruler of this age. And he still exercises dominion over the kingdoms of the world. He is, in principle, hailed as the savior wherever the Christ is rejected; and the divinity of man is proclaimed wherever the divinity of the Son of Man is not acknowledged (= Setan, sang ular, dan bukannya Kristus, dihormati dan disembah sebagai juruselamat manusia; dan Kaisar, manusia, disembah sebagai tuhan dari semua sebagai ganti dari Dia kepada siapa semua kuasa di surga dan di bumi diberikan. ... pangeran kegelapan adalah penguasa jaman ini. Dan ia tetap berkuasa atas kerajaan-kerajaan dunia. Pada dasarnya, ia diterima sebagai juruselamat dimanapun Kristus ditolak; dan keilahian manusia diproklamirkan dimanapun keilahian Anak Manusia tidak diakui) - hal 84.

 

Catatan: bagian terakhir (yang saya garisbawahi) perlu dicamkan oleh gereja-gereja / pendeta-pendeta dari kalangan Liberal, yang sudah ada yang berani mengatakan bahwa Yesus bukanlah Juruselamat satu-satunya, dan bahkan bukan Allah.

 

George Eldon Ladd: “Pergamum, while not as important a commercial city as Ephesus and Smyrna, was nevertheless more important as a political and religious center. ... Pergamum was a stronghold of both pagan religion and emperor worship and provided an unusually difficult environment for a Christian church (= Pergamum, sekalipun tidak sepenting Efesus dan Smirna sebagai kota perdagangan, tetapi lebih penting sebagai pusat politik dan agama. ... Pergamum merupakan kubu dari agama kafir dan penyembahan kaisar dan memberikan lingkungan yang luar biasa sukarnya untuk suatu gereja Kristen) - hal 45.

 

Semua ini menyebabkan Yesus mengatakan bahwa jemaat Pergamus diam ‘di tempat takhta Iblis / dimana Iblis diam’ (ay 13).

 

2)   Asal usul ‘jemaat / gereja di Pergamus’.

 

Matthew Poole: “Pergamos was a famous city of Troas; we read of Pergamos no where else in Scripture, but of Troas we read of Paul’s being there, Acts 16:8,11; 20:5,6, and preaching Christ there, 2Cor. 2:12” (= Pergamus adalah kota yang termasyhur di Troas; kita tidak membaca tentang Pergamus di tempat lain dalam Kitab Suci, tetapi tentang Troas kita membaca tentang keberadaan Paulus di sana, Kis 16:8,11; 20:5,6, dan mengkhotbahkan Kristus di sana, 2Kor 2:12) - hal 954.

 

Jadi ada kemungkinan bahwa gereja di Pergamus merupakan hasil penginjilan rasul Paulus.

 

3)   ‘Inilah firman Dia, yang memakai pedang yang tajam dan bermata dua’.

 

Homer Hailey: “The sword, recognized by the Romans as the symbol of authority and judgment, belongs to Christ and not to Rome” (= Pedang, diakui oleh orang Romawi sebagai simbol dari otoritas dan penghakiman, merupakan milik Kristus dan bukan milik Roma) - hal 130.

 

Geoffrey B. Wilson: “It was important that those who were living under the threat of the Roman sword should be reminded that Christ wielded a far more powerful sword (1:16), with which he would visit the unfaithful in summary of judgement (v. 16)” [= Adalah penting bahwa mereka, yang sedang hidup di bawah ancaman dari pedang Romawi, untuk diingatkan bahwa Kristus memegang dan menggunakan pedang yang jauh lebih kuat / berkuasa (1:16), dengan mana ia akan mengunjungi orang yang tidak setia dalam penghakiman yang cepat / tidak ditunda (ay 16)] - hal 34.

 

Robert H. Mounce (NICNT): “In the context of life in a provincial capital where the proconsul was granted the ‘right of the sword’ (ius gladii), the power to execute at will, the sovereign Christ with the two-edged sword would remind the threatened congregation that ultimate power over life and death belongs to God” [= Dalam kontex kehidupan dalam suatu ibukota propinsi dimana prokonsul / gubernur Romawi diberi ‘hak pedang’ (ius gladii), kuasa untuk menjalankan hukuman mati sekehendaknya, Kristus yang berdaulat dengan pedang bermata dua akan mengingatkan jemaat yang terancam bahwa kuasa terakhir / tertinggi atas kehidupan dan kematian ada pada Allah] - hal 96.

 

Penerapan:

 

Ini juga perlu untuk kita renungkan, khususnya pada saat ini dimana kita hidup pada masa yang sangat berbahaya (banyak kejahatan, perampokan, kerusuhan, dsb). Lebih-lebih kalau misalnya nanti situasi politik dan pemerintahan di Indonesia berkembang sedemikian rupa sehingga kekristenan betul-betul ditindas / dianiaya. Dalam keadaan seperti ini kita memang harus hati-hati / tidak gegabah, karena bertindak gegabah / sok beriman adalah sama dengan mencobai Tuhan. Tetapi sebaliknya kita tidak boleh takut. Kita harus ingat bahwa nasib kita ada di tangan Kristus / Tuhan, dan bukan di tangan manusia.

 

Bandingkan dengan Mat 10:28-30 - “(28) Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka. (29) Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak BapaMu. (30) Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya”.

 

Perhatikan bahwa sekalipun dalam ay 28nya Yesus berkata bahwa manusia bisa membunuh tubuh kita, tetapi dalam ay 29-30nya terlihat bahwa tanpa kehendak Tuhan hal itu tidak mungkin terjadi.

 

 

Ay 13: “Aku tahu di mana engkau diam, yaitu di sana, di tempat takhta Iblis; dan engkau berpegang kepada namaKu, dan engkau tidak menyangkal imanmu kepadaKu, juga tidak pada zaman Antipas, saksiKu, yang setia kepadaKu, yang dibunuh di hadapan kamu, di mana Iblis diam”.

 

1)   ‘Aku tahu di mana engkau diam’.

 

Barclay menterjemahkan: ‘I know where you stay.

 

William Barclay: “The word for ‘to stay’ is here KATOKEIN; and it means to have one’s permanent residence in a place. It is a very unusual word to use of Christians in the world. Usually the word used of them is PAROKEIN, which means to be a sojourner. ... Here is something very important. The principle of the Christian life is not escape, but conquest. We may feel it would be very much easier to be a Christian in some other place and in some other circumstances but the duty of the Christian is to witness for Christ where life has set him. ... The more difficult it is to be a Christian in any set of circumstances, the greater the obligation to remain within these circumstances. If in the early days Christians had run away every time they were confronted with a difficult engagement, there would have been no chance of a world for Christ” (= Kata untuk ‘diam / tinggal’ di sini adalah KATOKEIN; dan itu berarti ‘mempunyai tempat tinggal tetap / permanen di suatu tempat’. Itu merupakan kata yang sangat tidak lazim untuk digunakan terhadap orang-orang Kristen di dunia ini. Biasanya kata yang digunakan terhadap mereka adalah PAROKEIN, yang berarti ‘tinggal untuk sementara’. ... Di sini ada sesuatu yang sangat penting. Prinsip dari kehidupan Kristen bukanlah lari / meloloskan diri, tetapi penaklukan. Kita mungkin merasa bahwa akan jauh lebih mudah untuk menjadi orang Kristen di tempat lain dan dalam keadaan yang lain, tetapi kewajiban orang Kristen adalah bersaksi bagi Kristus dimana kehidupan telah meletakkannya. ... Makin sukar untuk menjadi orang Kristen dalam suatu keadaan yang ditentukan, makin besar kewajiban untuk tetap tinggal dalam keadaan ini. Jika dalam jaman awal orang-orang Kristen telah lari setiap kali mereka dihadapkan pada pertempuran yang sukar, maka tidak mungkin akan ada suatu dunia bagi Kristus) - hal 91-92.

 

Herman Hoeksema: “The question might be raised whether it were not advisable for the little church to migrate out of that wicked city where the devil had his throne and dwelling-place. It might be more safe for it in other cities in the vicinity. But that is not the message John must deliver to the church, nor is it the attitude of Scripture in general. ... the Scriptures never tell us that the church of Christ as such must emigrate from the world and live in literal and local isolation” (= Bisa ditanyakan suatu pertanyaan apakah tidak sebaiknya gereja kecil itu pindah tempat keluar dari kota yang jahat dimana Iblis bertakhta dan berdiam. Adalah lebih aman baginya di kota lain di sekitarnya. Tetapi itu bukanlah pesan yang harus diberikan oleh Yohanes kepada gereja itu, juga itu bukan sikap dari Kitab Suci pada umumnya. ... Kitab Suci tidak pernah mengatakan kepada kita bahwa gereja Kristus seperti itu harus beremigrasi dari dunia dan secara hurufiah hidup di suatu tempat yang terpencil) - hal 85.

 

Penerapan:

 

Apakah keadaan di Indonesia pada saat ini menyebabkan saudara ingin pindah keluar negeri? Atau ingin pindah keluar negeri andaikata mempunyai uang untuk itu? Memang bisa dimengerti bahwa manusia berusaha mencari tempat yang lebih aman dan lebih menyenangkan, tetapi kita perlu mengingat beberapa hal:

 

·        keamanan diri kita sebetulnya tidak tergantung tempat / sikon dimana kita berada, tetapi tergantung kepada Tuhan. Tuhan bisa melindungi dan membebaskan Petrus, yang dikelilingi oleh musuh-musuhnya (Kis 5:18-dst), dan Tuhan bisa membunuh Herodes ditengah-tengah para pendukung / pengagumnya (Kis 12:21-23).

 

·        kita tidak boleh hidup demi kesenangan diri kita, tetapi demi kesenangan dan kemuliaan Tuhan. Inilah penyangkalan diri (bdk. Mat 16:24).

 

·        kita harus menjadi ‘terang’ (Mat 5:14), dan makin gelap suatu tempat, makin dibutuhkan terang. Jadi negara kita yang sedang kacau ini justru sangat membutuhkan keberadaan kita sebagai terang di sini.

 

Tetapi pada saat yang sama saya juga berpendapat bahwa kata-kata Barclay dan Hoeksema di atas tidak boleh dimutlakkan, seakan-akan dalam keadaan apapun kita tidak boleh pindah. Bandingkan dengan:

 

¨      Kej 46:1-7 dimana Yakub pindah ke Mesir, dengan restu dari Allah, karena adanya bahaya kelaparan.

 

¨      Kis 9:22-26 dimana Paulus lari dari Damsyik ke Yerusalem, karena mau dibunuh.

 

¨      Mat 24:15-21, khususnya ay 16 dan ay 20 dimana kata ‘melarikan diri’ muncul 2 x. Di sini / dalam situasi ini Tuhan bahkan memerintahkan untuk lari.

 

Dari semua ini saya menyimpulkan bahwa kita boleh lari / pindah, kalau:

 

*        betul-betul mau dibunuh / akan mati kalau tidak pindah, bukan sekedar pada waktu mengalami keadaan sukar.

 

*        kita diyakinkan dalam pergumulan kita, bahwa Tuhan mengijinkan / menyuruh kita lari.

 

2)   ‘di tempat takhta Iblis ... dimana Iblis diam’.

 

Kata-kata ‘takhta Iblis’ bisa menunjuk kepada pemerintah Romawi yang ada di Pergamus (ingat kota ini adalah ibukota propinsi), atau menunjuk kepada penyembahan berhala dan semua praktek setan di kota ini. Tetapi kebanyakan penafsir seperti Barclay, Leon Morris, George Eldon Ladd, Robert H. Mounce, dsb., menganggap bahwa kota ini disebut ‘takhta Iblis’ karena kota ini merupakan pusat penyembahan kepada kaisar di Asia.

 

Pulpit Commentary: “The ruins of it even now attest its greatness in ancient times, when it stood high on the roll of famous cities. It was the abode of royalty; it was the metropolis of heathen divinity. Our Lord looks at it as the place ‘where Satan’s throne is.’ ... Not that the beautiful in art, and the costly in material, and the strong in structure, are not reckoned by Christ at their real value; but that where men worship these things for their own sake, where they are used to hide corruption, and where impurity of motive and of life poison all, material beauty is forgotten in the world badness. ‘Man looketh on the outward appearance; the Lord looketh on the heart.’” (= Bahkan reruntuhannya sekarang memperlihatkan / membuktikan kebesarannya pada jaman kuno, pada waktu ia menonjol dalam daftar kota-kota yang termasyhur. Ia merupakan tempat tinggal raja, ia adalah kota besar dari keilahian kafir. Tuhan kita memandangnya sebagai tempat ‘dimana takhta Iblis ada’. ... Bukan bahwa keindahan seni, dan mahalnya bahan, dan kuatnya struktur, tidak diperhitungkan oleh Kristus sesuai dengan nilai mereka yang sebenarnya; tetapi dimana manusia menyembah hal-hal ini demi diri mereka sendiri, dan hal-hal itu digunakan untuk menyembunyikan kejahatan, dan dimana ketidakmurnian motivasi dan hidup meracuni semua, maka keindahan materi dilupakan dalam kejelekan dunia. ‘Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati’) - hal 72-73.

 

Catatan: bagian terakhir dikutip dari 1Sam 16:7b.

 

Adam Clarke: “It was a maxim among the Jews, that where the law of God was not studied, there Satan dwelt; but he was obliged to leave the place where a synagogue or academy was established” (= Merupakan suatu pepatah di antara orang Yahudi, bahwa dimana hukum Allah tidak dipelajari, di sana Setan tinggal / diam; tetapi ia harus meninggalkan tempat dimana sebuah sinagog / tempat ibadah Yahudi atau suatu akademi didirikan) - hal 978.

 

Pepatah ini jelas merupakan pepatah bodoh. Justru di tempat dimana Tuhan dikasihi, diajarkan / diberitakan, maka di sanalah setan senang untuk tinggal dan menggoda orang-orang itu.

 

John Stott: “Let us rid our minds of the medieval caricature of Satan. Forget the horns, the hooves and the tail, and we are left with the Biblical portrait of a spiritual being, highly intelligent, immensely powerful and utterly unscrupulous” (= Marilah kita membuang dari pikiran kita karikatur tentang setan dari abad pertengahan. Lupakanlah tanduk, kuku dan ekor, dan kita mempunyai gambaran yang Alkitabiah tentang seorang makhluk rohani, sangat pandai, sangat kuat / berkuasa dan jahat secara total) - hal 60.

 

Stott juga mengatakan bahwa baru-baru ini ada suatu pengumpulan pendapat di Inggris yang menunjukkan bahwa hanya 24 % dari orang-orang Inggris yang berusia di bawah 21 tahun yang percaya akan adanya setan.

 

Dan Stott lalu mengatakan: “How delighted he must be!” (= Alangkah senangnya ia!) - hal 60.

 

3)   ‘engkau berpegang kepada namaKu’.

 

a)   Di kota ini nama Yesus tak diakui / dihormati. Yang diakui dan dihormati adalah nama Dewa Asclepius / Aesculapius dan nama Kaisar. Tetapi orang kristen Pergamus tetap setia kepada nama Kristus! Ini menunjukkan bahwa orang bisa tetap setia kepada Kristus, sekalipun keadaan sekitarnya begitu sukar. Kalau mereka bisa mengapa kita tidak?

 

b)   Ini menunjukkan bahwa mereka bukan hanya setia kepada nama Kristus, tetapi juga memberitakan nama Kristus.

 

Herman Hoeksema: “It were conceivable that they kept the faith and clung to the name of Jesus, but that they kept it all for themselves, that they lived in seclusion, and that they carefully avoided an open clash with the wicked environment. But once more, this is not the calling of the church of Christ. ... It may not hold its peace, even when the world threatens with devilish fury. The church must confess; and not to confess is to deny” (= Merupakan sesuatu yang bisa dimengerti jika mereka memelihara iman dan berpegang erat-erat pada nama Yesus, tetapi mereka memelihara semua itu untuk diri mereka sendiri, hidup dalam pengasingan, dan dengan hati-hati menghindari perselisihan / bentrokan terbuka dengan lingkungan yang jahat. Tetapi sekali lagi, ini bukan panggilan dari gereja Kristus. ... Gereja tidak boleh berdiam diri, bahkan pada waktu dunia mengancam dengan kemarahan yang besar sekali / jahat / dari setan. Gereja harus mengaku, dan tidak mengaku berarti menyangkal) - hal 86.

 

4)   ‘engkau tidak menyangkal imanmu kepadaKu’.

 

a)   ‘imanmu kepadaKu’.

 

NIV: ‘your faith in me’ (= imanmu kepadaKu).

 

KJV/RSV/NASB/Lit: ‘my faith’ (= imanKu).

 

John Stott: “Commentators are agreed that, grammatically speaking, ‘my faith’ means ‘your faith in me’” (= Para penafsir setuju bahwa berbicara secara gramatika, ‘imanku’ berarti ‘imanmu kepadaKu’) - hal 56.

 

b)   ‘tidak menyangkal’.

 

Kata ‘menyangkal’ ada dalam aorist tense (= past tense / bentuk lampau), dan karena itu rupanya kata-kata ‘tidak menyangkal’ menunjuk pada satu kejadian tertentu di masa lampau, dimana jemaat dihadapkan pada pemaksaan untuk menyangkal Yesus. Rupanya pada peristiwa itu juga Antipas mengalami kematian syahid. Tetapi jemaat Pergamus tetap tidak mau menyangkal Kristus.

 

Pulpit Commentary: “Here is one of the million proofs that man’s moral character is not necessarily formed by external circumstances, however antagonistic those circumstances may be” (= Di sini ada satu dari jutaan bukti bahwa karakter moral manusia tidak harus dibentuk oleh keadaan luar, betapapun bermusuhannya keadaan itu) - hal 101-102.

 

5)   ‘juga tidak pada zaman Antipas, saksiKu, yang setia kepadaKu, yang dibunuh di hadapan kamu’.

 

a)   ‘Antipas’.

 

Ada yang menganggap bahwa nama ‘Antipas’ ini adalah nama asli seseorang; tetapi ada juga yang menganggap bahwa sama seperti nama-nama lain dalam Kitab Wahyu, ini hanya bersifat simbolis, yang menunjuk kepada segolongan orang yang ‘anti Paus’.

 

Catatan: lihat di depan tentang penafsiran simbolis dari ke tujuh gereja (hal 1-2, point no 1,c dari buku ini).

 

Matthew Poole: “Our being able from no history to give an account of this martyr, hath inclined some to think this epistle wholly prophetical, and that Antipas signifieth not any particular person, but all those who opposed the pope, as if it were Antipapa” (= Ketidakmampuan kita memberikan catatan / cerita dari sejarah tentang martir ini, telah mencondongkan beberapa orang untuk berpikir bahwa surat ini sepenuhnya bersifat nubuat, dan bahwa Antipas tidak berarti seseorang yang tertentu, tetapi semua mereka yang menentang Paus, seakan-akan kata itu adalah Antipapa) - hal 954-955.

 

Steve Gregg: Some who take this approach have suggested that Antipas does not refer to an individual, but to a class of men opposed (‘anti’) to the popes (‘papas’), which men were martyred in great numbers in Rome and Constantinople” [= Sebagian dari orang-orang yang mengambil arti ini mengusulkan bahwa Antipas tidak menunjuk kepada seorang individu, tetapi kepada segolongan orang yang menentang (‘anti’) Paus (‘papas’), yaitu orang-orang yang mati syahid dalam jumlah besar di Roma dan Constantinople] - hal 70.

 

Saya berpendapat bahwa Antipas adalah nama orang.

 

b)   Ada yang menterjemahkan kata-kata ‘saksiKu yang setia’ dengan ‘martirKu yang setia’.

 

William Barclay: “The Risen Christ calls Antipas my faithful MARTUS. We have translated that ‘martyr’; but MARTUS is the normal Greek word for ‘witness’. In the early church to be a martyr and to be a witness were one and the same thing. ‘Witness’ meant so often ‘martyrdom’” (= Kristus yang bangkit menyebut Antipas ‘MARTUS-Ku yang setia’. Kita telah menterjemahkannya ‘martir’, tetapi MARTUS adalah kata Yunani yang normal untuk ‘saksi’. Dalam gereja mula-mula menjadi ‘martir’ dan menjadi ‘saksi’ adalah hal yang satu dan sama) - hal 92.

 

Catatan: A. T. Robertson mengatakan (hal 305) bahwa arti ‘martir’ adalah arti modern yang baru muncul pada abad ke 3.

 

c)   Kematian Antipas.

 

Adam Clarke: “There is a work extant called ‘The Acts of Antipas’, which makes him bishop of Pergamos, and states that he was put to death by being enclosed in a burning brazen bull. But this story confutes itself, as the Romans, under whose government Pergamos then was, never put any person to death in this way. It is supposed that he was murdered by some mob, who chose this way to vindicate the honour of their god Aesculapius, in opposition to the claims of our Lord Jesus” (= Ada suatu karya yang masih ada yang disebut ‘Perbuatan / Kisah Antipas’, yang membuatnya sebagai uskup dari Pergamus, dan menyatakan bahwa ia dibunuh dengan dimasukkan ke dalam sapi dari kuningan yang dibakar. Tetapi cerita ini menentang dirinya sendiri, karena orang Romawi, dibawah pemerintahan siapa Pergamus saat itu, tidak pernah membunuh seseorang dengan cara ini. Diduga bahwa ia dibunuh oleh suatu gerombolan, yang memilih cara ini untuk mempertahankan kehormatan dari dewa mereka Aesculapius, dalam pertentangan dengan tuntutan dari Tuhan Yesus kita) - hal 978.

 

d)   Tak diingat dalam sejarah, tetapi diingat oleh Kristus.

 

Pulpit Commentary: “Of Antipas we know nothing more than is named here. No historic roll, save this, refers to him. But Christ never forgets. To be remembered by him is fame enough” (= Tentang Antipas kita tidak mengetahui apapun lebih dari yang disebutkan di sini. Tidak ada catatan sejarah, kecuali ini, yang menunjuk kepadanya. Tetapi Kristus tidak pernah lupa. Diingat oleh Dia adalah cukup masyhur / populer) - hal 73.

 

Mungkin kalau ini terjadi pada jaman sekarang, orang kristen sendiri bahkan akan mengecam Antipas sebagai orang kristen yang extrim. Tetapi Yesus justru memuji Antipas dengan sebutan ‘saksiKu yang setia’. Perlu diingat bahwa istilah ‘saksiKu yang setia’ yang diberikan kepada Antipas, merupakan istilah yang sama dengan yang ditujukan kepada Kristus sendiri dalam Wah 1:5. Jadi ini merupakan suatu pujian yang sangat tinggi.

 

e)   A. T. Robertson mengatakan (hal 305) bahwa kematian syahid Antipas ini disusul oleh beberapa orang lain di Pergamum, yaitu Agathonice, Attalus, Carpus, dan Polybus. Seringkali orang digoda setan dengan berpikir: ‘Dari pada mati secara sia-sia, lebih baik menyangkal Yesus / berkompromi’. Tetapi dari cerita tentang Antipas ini terlihat bahwa kematian syahid tidaklah sia-sia. Pertama, kesetiaan sampai mati itu menyenangkan Allah, dan kedua, itu memotivasi orang kristen lain untuk juga berani mati demi Kristus.

 

Tetapi sebaliknya kalau kita menyangkal Kristus, berkompromi dengan dunia, dsb, kita menghancurkan motivasi orang kristen lain untuk menderita dan mati demi Kristus!

 

 

Ay 14: “Tetapi Aku mempunyai beberapa keberatan terhadap engkau: di antaramu ada beberapa orang yang menganut ajaran Bileam, yang memberi nasihat kepada Balak untuk menyesatkan orang Israel, supaya mereka makan persembahan berhala dan berbuat zinah”.

 

1)   ‘Tetapi Aku mempunyai beberapa keberatan terhadap engkau: di antaramu ada beberapa orang yang menganut ajaran Bileam’.

 

a)   Perhatikan bahwa bukan seluruh gereja Pergamus, tetapi hanya sebagian / beberapa orang yang menganut ajaran Bileam.

 

b)   ‘menganut’.

 

Kata Yunani yang diterjemahkan ‘menganut’ di sini sama dengan kata Yunani yang diterjemahkan ‘berpegang’ dalam ay 13 (berpegang kepada namaKu’), juga dengan ‘berpegang’ dalam ay 15 (berpegang kepada ajaran pengikut Nikolaus’). Jadi kalau sebagian mereka berpegang pada nama Kristus (ay 13), maka sebagian yang lain justru berpegang pada ajaran Bileam (ay 14) dan / atau pada ajaran Nikolaus (ay 15).

 

2)   ‘Ajaran Bileam, yang memberi nasihat kepada Balak untuk menyesatkan orang Israel, supaya mereka makan persembahan berhala dan berbuat zinah’.

 

a)   Bileam dan ajarannya.

 

Ayat-ayat Kitab Suci tentang Bileam: Bil 22-25  Bil 31:16  2Pet 2:15  Yudas 11.

 

Bileam terkenal karena ketamakannya (2Pet 2:15  Yudas 11), yang menyebabkannya menawar larangan Tuhan (Bil 22:10-20). Tetapi yang dipersoalkan dalam Wah 2:14 ini bukanlah ketamakannya, tetapi siasatnya yang ia ajarkan kepada Balak untuk menghancurkan bangsa Israel menggunakan perempuan-perempuan Moab (Bil 31:16  Bil 25:1-9).

 

William R. Newell: “You know the history of Balaam, the mysterious prophet of Numbers 22,23,24, who, prevented from cursing God’s nation Israel, counselled the king of Moab to entice Israel into Moab’s heathen idolatry, with its obscenities and abominations (Numbers 25), bringing death by plague on twenty-four thousand Israelites! Satan, failing to overthrow the church by persecution in Smyrna days, snares the Pergamum church into idolatry and fornication” [= Engkau mengetahui sejarah Bileam, nabi misterius dari Bil 22,23,24, yang setelah dihalangi untuk mengutuk bangsa Allah, yaitu Israel, lalu menasehati raja Moab untuk membujuk / memikat Israel ke dalam penyembahan berhala kafir dari orang Moab, dengan percabulan dan hal-hal yang menjijikkan (Bil 25), membawa kematian oleh wabah pada 24.000 orang Israel! Setan, gagal untuk menjatuhkan gereja dengan penganiayaan pada jaman Smirna, menjerat gereja Pergamum ke dalam penyembahan berhala dan percabulan] - hal 49.

 

Catatan: Newell percaya bahwa setiap gereja dari ke 7 gereja dalam Wah 2-3 menunjuk pada jaman tertentu.

 

George Eldon Ladd: “In our text Balaam is a prototype of those who compromise with paganism in idolatry and immorality” (= Dalam text kita Bileam adalah model mula-mula dari mereka yang berkompromi dalam penyembahan berhala dan ketidak-bermoralan) - hal 47.

 

b)   ‘yang memberi nasihat kepada Balak untuk menyesatkan orang Israel’.

 

NIV: ‘who taught Balak to entice the Israelites to sin (= yang mengajar Balak untuk membujuk / memikat orang-orang Israel kepada dosa). Ini jelas merupakan terjemahan yang tidak hurufiah. Bandingkan dengan terjemahan-terjemahan bahasa Inggris yang lain di bawah ini.

 

KJV: ‘who taught Balac to cast a stumblingblock before the children of Israel’ (= yang mengajar Balak untuk memberikan batu sandungan di depan anak-anak Israel).

 

NASB: ‘who kept teaching Balak to put a stumbling block before the sons of Israel’ (= yang terus mengajar Balak untuk meletakkan batu sandungan di depan anak-anak Israel).

 

RSV: ‘who taught Balak to put a stumbling block before the sons of Israel’ (= yang mengajar Balak untuk meletakkan batu sandungan di depan anak-anak Israel).

 

Leon Morris (Tyndale): “The stumblingblock (SKANDALON) was the bait stick of a trap, the stick which triggered off the trapping mechanism when a bird perched on it” [= Batu sandungan (SKANDALON) adalah tongkat umpan pada sebuah jebakan / jerat, yang memicu mekanisme jebakan / jerat pada saat seekor burung bertengger / hinggap padanya] - hal 67.

 

Penerapan:

 

Siasat setan semacam itu tetap banyak digunakan pada jaman sekarang. Ia memancing kita dengan hal-hal duniawi yang nikmat, seperti sex, uang, kesenangan lain, tetapi begitu kita mulai menikmati hal-hal itu, jerat / jebakan setan itu bekerja dan menghancurkan kita. Karena itu hati-hatilah dengan segala sesuatu yang nikmat!

 

c)   ‘supaya mereka makan persembahan berhala dan berbuat zinah’.

 

Sebetulnya makan persembahan berhala tidak membawa keuntungan ataupun kerugian rohani apapun bagi kita (1Kor 8:8), kecuali kalau mereka makan dengan kepercayaan tertentu pada makanan itu (1Kor 8:7). Tetapi pada waktu kita makan persembahan berhala, itu bisa membuat orang lain jatuh ke dalam dosa dengan ikut makan sambil percaya pada makanan itu. Karena itulah Paulus mengatakan jangan makan persembahan berhala (1Kor 8:9-13).

 

Selanjutnya Paulus lalu memberikan beberapa situasi tentang makan persembahan berhala, dan boleh atau tidaknya kita makan dalam situasi tersebut:

 

·        makan daging persembahan berhala dalam upacara penyembahan berhala dari agama kafir. Ini jelas dilarang oleh Paulus dalam 1Kor 10:21-22.

 

·        makan daging bekas persembahan berhala yang lalu dijual di pasar. Tentu seseorang tidak bisa tahu mana daging yang bekas persembahan dan mana yang tidak. Paulus berkata bahwa ini boleh dimakan dengan bebas (1Kor 10:25).

 

·        makan suguhan yang diberikan oleh orang yang mengundang kita. Ini terbagi dalam 2 kemungkinan:

 

*        kalau orang yang mengundang itu tidak mengatakan apa-apa (apakah makanan itu bekas persembahan berhala atau bukan), maka kita boleh makan apa saja yang dihidangkan (1Kor 10:27).

 

*        kalau orang yang mengundang itu berkata bahwa itu adalah persembahan berhala, maka itu tidak boleh dimakan (1Kor 10:28-33).

 

Catatan: saya berpendapat bahwa situasi ke 3 ini juga berlaku kalau kita diberi makanan oleh orang lain.

 

Perlu diketahui bahwa pada jaman itu perayaan-perayaan kafir boleh dikatakan selalu mencakup kedua hal itu, yaitu ‘makan persembahan berhala’ dan ‘perzinahan’ (bdk. Kis 15:20).

 

Karena dalam Wah 2:14 ini ‘makan persembahan berhala’ itu dikecam, dan digandengkan dengan ‘berbuat zinah’, maka hampir pasti yang dimaksud dengan ‘makan persembahan berhala’ di sini adalah makan dalam upacara penyembahan berhala agama kafir, yang jelas-jelas dilarang oleh Paulus (1Kor 10:21-22).

 

3)   Sebagian berkompromi, dan yang lain tidak mendisiplin orang-orang yang berkompromi ini.

 

a)   Godaan untuk mengikuti pesta-pesta kafir bukanlah godaan yang ringan.

 

William Hendriksen: “the trades had their tutelary deities which would be worshipped at the feasts. Refusal to join in these feasts often meant that a man would lose his job, his trade; he would become an outcast” (= perdagangan mempunyai dewa penjaga / pelindung yang disembah pada pesta-pesta itu. Penolakan untuk bergabung dalam pesta-pesta ini sering berarti bahwa seseorang akan kehilangan pekerjaannya dan langganannya; dan ia akan menjadi orang buangan / orang yang diusir dari masyarakat) - hal 67.

 

b)   Sebagian berkompromi.

 

Karena godaan yang begitu kuat itu, sebagian orang-orang kristen Pergamus mulai berkompromi dan mungkin mereka berargumentasi bahwa seseorang boleh ikut dalam pesta kafir itu, dan ikut makan daging yang telah dipersembahkan kepada berhala, dan bahkan ikut mempersembahkan dupa / kemenyan kepada berhala, asal mereka tetap sadar bahwa berhala itu bukan apa-apa (bdk. 1Kor 8:4-7).

 

Karena itu beberapa orang jemaat mulai menghadiri pesta-pesta kafir dan terlihat dalam hal-hal tak bermoral di sana.

 

George Eldon Ladd: “Although the Pergamum Christians has held fast to Jesus’ name and did not renounce their faith in him under the pressure of threatened persecution, they allowed pagan morals to influence them” (= Sekalipun orang-orang Kristen Pergamum berpegang erat-erat pada nama Yesus dan tidak meninggalkan iman mereka kepadaNya di bawah tekanan dari ancaman penganiayaan, mereka membiarkan / mengijinkan moral kafir mempengaruhi mereka) - hal 47.

 

Penerapan:

 

Hati-hati untuk tidak menjadi orang yang hanya benar dalam kepercayaan, pengakuan dan ajaran, tetapi berantakan dalam hal moral.

 

c)   Tidak ada pendisiplinan terhadap orang-orang yang berkompromi itu.

 

Gereja seharusnya melakukan disiplin / siasat gerejani terhadap orang-orang itu (bdk. Mat 18:15-17  1Kor 5:1-13  2Tes 3:6,14-15), tetapi ternyata gereja tidak melakukannya.

 

Hendriksen (hal 66-67) mengatakan bahwa gereja Pergamus terlalu menekankan keselamatan individual, sehingga mengabaikan disiplin gereja.

 

Herman Hoeksema: “the church in Pergamos bears with evil men, and therefore is the church which is growing lax in discipline” (= gereja Pergamus sabar terhadap orang jahat, dan karena itu merupakan gereja yang menjadi lalai dalam disiplin) - hal 82.

 

Herman Hoeksema: “the church in Pergamos was defective in discipline, the discipline of its own members. ... Discipline is the Christ-ordained guard in the church of Jesus. It is the sentinel, standing watch by the purity of doctrine according to the Word of God and by the holiness of the sacraments, as well as by the walk of believers. Where that sentinel is not placed on guard, or where he is sleeping while on duty, the church is exposed to the evil, seducing influence of false doctrine, as well as to the degenerating influence of the world upon the life of its individual members” (= gereja Pergamus cacat dalam disiplin, disiplin terhadap anggota-anggotanya sendiri. ... Disiplin adalah penjaga yang ditentukan Kristus dalam gereja Yesus. Itu adalah pengawal, penjaga yang mempertahankan kemurnian ajaran sesuai dengan Firman Allah, dan kekudusan sakramen, dan juga kehidupan orang percaya. Dimana penjaga itu tidak ada di tempatnya, atau dimana ia tidur pada waktu sedang bertugas, maka gereja terbuka terhadap hal-hal yang jahat, pengaruh memikat dari ajaran sesat / palsu, dan juga terhadap pengaruh yang merusak moral dari dunia terhadap kehidupan anggota-anggota gereja) - hal 87-88.

 

Tidak diketahui dengan pasti apa sebabnya gereja Pergamus ini tidak melakukan disiplin gerejani, tetapi ada beberapa kemungkinan:

 

·        Karena kesukaran dan penderitaan sudah terlalu banyak.

 

Pendisiplinan gereja dikuatirkan akan menambah problem dan membuat gereja lebih lemah.

 

·        Prinsip salah yang seringkali dianut gereja: ‘Gereja harus mengasihi dan menyelamatkan, bukan menolak / mengeluarkan’.

 

·        Karena sungkan atau tidak mau repot.

 

4)   Kebenaran dan kasih.

 

John Stott: “It is specially striking that if in these letters love is the first mark of a true and living church, truth is the third, because the Scriptures hold love and truth together in perfect balance. Some Christians are so resolved to make love paramount, that they forget the sacredness of revealed truth. ‘Let us drown our doctrinal differences’, they urge, ‘in the ocean of brotherly love!’ Others are equally mistaken in their pursuit of truth at the expense of love. So dogged is their zeal for God’s word that they become harsh and bitter and unloving. Love becomes sentimental if it is not strengthened by truth, and truth becomes hard if it is not softened by love. We need to preserve the balance of the Bible which tells us to hold the truth in love, to love others in the truth, and to grow not only in love but in discernment (Eph. 4:15; 3Jn. 1; Phil. 1:9)” [= Adalah sesuatu yang sangat menyolok bahwa jika dalam surat-surat ini, kasih adalah ciri pertama dari gereja yang benar dan hidup, maka kebenaran adalah yang ketiga, karena Kitab Suci menjaga kesatuan dari kasih dan kebenaran dalam keseimbangan yang sempurna. Sebagian orang Kristen begitu teguh dalam keputusannya untuk membuat kasih sebagai hal yang terpenting, sehingga mereka lupa akan ke-sakral-an dari kebenaran yang diwahyukan. ‘Marilah kita menenggelamkan perbedaan doktrinal kita’, desak mereka, ‘dalam lautan kasih persaudaraan!’. Orang Kristen yang lain sama salahnya karena mereka mengejar kebenaran dengan mengorbankan kasih. Begitu mantap semangat mereka untuk firman Allah sehingga mereka menjadi keras / kasar dan pahit dan tidak kasih. Kasih menjadi sentimentil / emosionil jika itu tidak dikuatkan oleh kebenaran, dan kebenaran menjadi keras jika itu tidak dilembutkan oleh kasih. Kita perlu menjaga / memelihara keseimbangan dari Alkitab yang berkata kepada kita untuk memegang kebenaran dalam kasih, untuk mengasihi orang lain dalam kebenaran, dan untuk bertumbuh bukan hanya dalam kasih tetapi juga dalam ketajaman untuk membedakan (Ef 4:15; 3Yoh 1; Fil 1:9)] - hal 53-54.

 

John Stott lalu melanjutkan, dan sekarang ia menekankan ‘kebenaran’:

“Let those who say that it does not matter what you believe so long as you live well and love all, read, mark, learn and inwardly digest this epistle. Let them consider the attitude and gain the mind of our Lord Jesus Christ. He does not share the lack of doctrinal concern exhibited by such. He called Himself ‘the truth’ and ‘the light of the world’. ... He told Pontius Pilate that He had come into the world to bear witness to the truth (Jn. 14:6; 8:12,31-32; 18:37). He loves the truth, He speaks the truth, He is the truth. Then how can we be indifferent to it?” [= Biarlah mereka, yang mengatakan bahwa tidak jadi soal apa yang kaupercaya selama engkau hidup dengan benar dan mengasihi semua, membaca, memperhatikan, mempelajari dan mencerna / menyelami surat ini dalam hati. Biarlah mereka mempertimbangkan sikap Tuhan kita Yesus Kristus dan mendapatkan pikiranNya. Ia tidak mempunyai ‘sikap tidak memperhatikan doktrin’ seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang seperti itu. Ia menyebut diriNya sendiri ‘kebenaran’ dan ‘terang dunia’. ... Ia berkata kepada Pontius Pilatus bahwa Ia telah datang ke dalam dunia untuk memberi kesaksian tentang kebenaran (Yoh 14:6; 8:12,31-32; 18:37). Ia mengasihi kebenaran, Ia mengucapkan kebenaran, Ia adalah kebenaran. Lalu bagaimana kita bisa acuh tak acuh terhadap kebenaran?] - hal 54.

 

John Stott: “We must learn to preserve unity in essentials, liberty in non-essentials and charity in all things. Many of our troubles in inter-church relations arise from our lack of proportion. We minimize the central and magnify the circumferential. We often make concessions on clearly revealed truths which should never be surrendered, and yet insist upon secondary matters or even on trivialities which are neither revealed nor required by God” (= Kita harus belajar untuk menjaga / memelihara kesatuan dalam hal-hal yang pokok / dasar, kebebasan dalam hal-hal yang bukan pokok / dasar, dan kasih dalam segala hal. Banyak dari problem kita dalam hubungan antar gereja timbul dari kurangnya proporsi. Kita meminimumkan hal yang di tengah / penting dan membesarkan hal yang di tepi / kurang penting. Kita sering membuat kelonggaran dalam kebenaran yang dinyatakan secara jelas, dimana kita tidak pernah boleh menyerah / mengalah, tetapi berkeras dalam hal-hal sekunder atau bahkan dalam hal-hal yang remeh yang tidak dinyatakan / diwahyukan maupun dituntut oleh Allah) - hal 55.

 

John Stott: “We cannot have Christian fellowship with those who deny the divinity of Christ’s person or the satisfactoriness of His work on the cross for our salvation. These are defence positions we cannot yield. There is no room for negotiation or appeasement here. To deny that Jesus of Nazareth was both human and divine, ‘the Christ come in the flesh’ is antichrist, wrote John, while to preach any other gospel than the gospel of Christ’s saving grace is to deserve Paul’s anathema (1Jn. 2:22; 4:2,3; 2Jn. 7-11; Gal 1:6-9)” [= Kita tidak dapat mempunyai persekutuan Kristen dengan mereka yang menyangkal keilahian pribadi Kristus atau dengan mereka yang menganggap bahwa pekerjaanNya pada kayu salib tidak cukup untuk keselamatan kita. Ini adalah posisi-posisi pertahanan dimana kita tidak boleh menyerah. Tidak ada tempat untuk ‘negosiasi / perundingan’ atau ‘ketundukan terhadap tuntutan untuk menghindari kesukaran’ di sini. Menyangkal bahwa Yesus dari Nazaret adalah manusia dan ilahi, ‘Kristus datang dalam daging’, adalah anti Kristus, tulis Yohanes, sedangkan memberitakan injil yang lain dari pada injil kasih karunia Kristus yang menyelamatkan, adalah layak untuk mendapatkan kutukan Paulus (1Yoh 2:22; 4:2,3; 2Yoh 7-11; Gal 1:6-9)] - hal 56.

 

 

Ay 15: “Demikian juga ada padamu orang-orang yang berpegang kepada ajaran pengikut Nikolaus”.

 

1)   Terjemahan KJV yang berbeda.

 

KJV: ‘So hast thou also them that hold the doctrine of the Nicolaitans, which thing I hate (= Demikian juga ada padamu mereka yang memegang ajaran pengikut Nikolaus, yang adalah hal yang Kubenci).

 

RSV: ‘So you also have some who hold the teaching of the Nicolaitans’ (= Demikian juga ada padamu beberapa orang yang memegang ajaran pengikut Nikolaus).

 

NIV: ‘Likewise you also have those who hold to the teaching of the Nicolaitans’ (= Demikian juga ada padamu mereka yang berpegang pada ajaran pengikut Nikolaus).

 

NASB: ‘Thus you also have some who in the same way hold the teaching of the Nicolaitans’ (= Demikian juga ada padamu beberapa orang yang dengan cara yang sama memegang ajaran pengikut Nikolaus).

 

Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan manuscript, dimana ada yang menuliskan HO MISO (= ‘which I hate’ / ‘yang aku benci’), dan ada yang menuliskan OMOIOS (= ‘in like manner’ / dengan cara yang sama). Yang terakhirlah yang harus diambil karena didukung oleh semua manuscript yang terbaik (Pulpit Commentary, hal 63).

 

Catatan: Pulpit mengatakan OMISO, tetapi Barnes (hal 1560) HO MISO. Mounce (hal 98) sama dengan Barnes.

 

2)   Apakah ‘pengikut Nikolaus’ dan ‘penganut ajaran Bileam’ ini merupakan golongan yang sama atau berbeda?

 

Tentang apakah ‘pengikut Nikolaus’ dan ‘penganut ajaran Bileam’ ini merupakan golongan yang sama atau berbeda telah saya bahas secara panjang lebar pada waktu membahas Wah 2:6. Karena itu di sini saya hanya membahasnya sepintas saja.

 

Ada yang menafsirkan bahwa kata HOUTOS [= So (= demikian); In this manner / In this way / In the same way (= dengan cara yang sama)] di awal ay 15 ini berarti bahwa ajaran Nikolaitan dan Balaam adalah sama.

 

Tetapi ada yang justru berpandangan sebaliknya.

 

Homer Hailey: “Though some eminent scholars hold that Balaam and the Nicolaitans are identical, John’s introduction of the Nicolaitans with ‘also’ and ‘in like manner’ argues for two separate groups. They may have had much in common, but they appear to have been two distinct parties” (= Sekalipun beberapa sarjana yang terkenal percaya bahwa Bileam dan pengikut Nikolaus itu identik, perkenalan Yohanes tentang pengikut Nikolaus dengan ‘juga’ dan ‘dengan cara yang sama’ menunjukkan bahwa mereka adalah 2 grup yang terpisah. Mereka mungkin mempunyai banyak persamaan, tetapi mereka adalah 2 golongan yang berbeda) - hal 132.

 

Saya lebih condong pada pandangan Hailey ini.

 

3)   Setan berganti siasat; sekarang ia bertujuan menghapus perbedaan gereja dengan dunia.

 

Herman Hoeksema: “It is not impossible that these Nicolaitans were antinomians, people who deliberately taught that it mattered not how the Christian lived here upon earth since Christ fulfilled the law and the old Adam was doomed to destruction anyway. They were not very scrupulous as to their lives. ... In a word, they were a class of people that threatened by their doctrine and life to obliterate the distinction between the church and the world in Pergamos, ... The purpose and subtilty of the devil in this scheme is transparent. In the recent past he had made an attempt to wipe out the church and make it unfaithful to its Lord by subjecting it to bloody persecution. But in this he had failed. For the time being he now abandoned this course of action, in order to try the method of corrupting the church and thus wiping out the distinction between the church and the world” (= Bukannya mustahil bahwa pengikut Nikolaus ini adalah orang yang anti hukum, orang yang dengan sengaja mengajar bahwa tidak jadi soal bagaimana orang Kristen hidup di dunia ini karena Kristus telah menggenapi hukum dan bagaimanapun juga Adam yang lama pasti akan dihancurkan. Mereka tidaklah terlalu teliti / cermat berkenaan dengan hidup mereka. ... Singkatnya, mereka adalah segolongan orang yang dengan ajaran dan hidup mereka mengancam untuk menghapuskan perbedaan antara gereja dan dunia di Pergamus, ... Tujuan dan kelicinan dari setan dalam rencana jahatnya ini adalah jelas. Pada masa yang baru lalu ia telah berusaha untuk menghancurkan gereja dan membuatnya tidak setia kepada Tuhannya dengan menjadikan mereka sasaran dari penganiayaan berdarah. Tetapi dalam hal ini ia gagal. Sekarang ia meninggalkan jalan itu, dan mencoba metode yang merusak kehidupan gereja dan dengan demikian menghapus perbedaan antara gereja dan dunia) - hal 89-90.

 

Penerapan:

 

Kalau saudara digoda dengan godaan seperti ini, ingatlah akan Ro 12:2a yang berbunyi: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini”.

 

4)   Tentang ‘penganut ajaran Bileam’ dan ‘pengikut Nikolaus’, James B. Ramsey, yang menganggap mereka sebagai golongan yang satu dan yang sama, berkata sebagai berikut:

“Sin changes its forms, but not its principles. There are no temples of Diana, and Venus, or of Boodh and Vishnu among us, enticing back to their licentious indulgences those who were once devoted worshippers there. But the temples of Mammon, of Pleasure, of Ambition, rear their alluring fronts and open their wide portals along every walk of life” [= Dosa berubah dalam bentuknya, tetapi tidak dalam prinsipnya. Sekarang tidak ada kuil Diana, dan Venus, atau dari Boodh / Buddha (?) dan Wisnu di antara kita, memikat kita untuk kembali kepada pemuasan nafsu yang tak bermoral dari mereka yang dulu merupakan penyembah-penyembah yang berbakti di sana. Tetapi kuil dari Mammon, dari Kesenangan, dari Ambisi, membangun penampilan yang menarik dan membuka lebar-lebar pintu-pintu gerbang mereka di sepanjang jalan kehidupan] - hal 143.

 

 

Ay 16: “Sebab itu bertobatlah! Jika tidak demikian, Aku akan segera datang kepadamu dan Aku akan memerangi mereka dengan pedang yang di mulutKu ini”.

 

1)   Seluruh gereja diperintahkan untuk bertobat.

 

Herman Hoeksema mengatakan bahwa perintah untuk bertobat ini tidak hanya ditujukan kepada orang yang menganut ajaran Bileam dan Nikolaus saja, tetapi juga untuk seluruh gereja karena merekapun berdosa dengan tidak melakukan disiplin gerejani.

 

George Eldon Ladd: “The entire church is summoned to repent for a sin of which only a few were actually guilty. The sin of the Ephesians was harsh intolerance; the sin of the Pergamum church was tolerance and laxity” (= Seluruh gereja dipanggil untuk bertobat dari suatu dosa dimana hanya beberapa orang yang betul-betul bersalah. Dosa dari gereja Efesus adalah ketidaktoleranan yang keras; dosa dari gereja Pergamum adalah toleransi dan kelalaian dalam mendisiplin) - hal 49.

 

Penerapan:

 

Gereja / orang kristen selalu diserang / digoda setan untuk menjadi extrim kanan atau extrim kiri.

 

2)   Tetapi bagaimanapun Kristus membedakan antara orang yang betul-betul mengikuti ajaran Bileam dan Nikolaus, dan orang-orang kristen yang tidak mengikuti ajaran-ajaran sesat itu tetapi tidak mendisplin mereka.

 

Ini terlihat dari pembedaan ‘mu’ dan ‘mereka’ dalam ay 16 ini.

 

Ay 16: “Sebab itu bertobatlah! Jika tidak demikian, Aku akan segera datang kepadamu dan Aku akan memerangi mereka dengan pedang yang di mulutKu ini”.

 

James B. Ramsey: “Observe, however, how tenderly and carefully He discriminates between His church, defective and censurable as she was in the discharge of her duty, and those unworthy members who, by their worldliness, places stumblingblocks in the way of their brethren. ‘I will come unto thee quickly,’ but, ‘I will fight against them,’ not against thee” (= Tetapi perhatikan betapa lembutnya dan hati-hatinya Ia membedakan antara gerejaNya, sekalipun cacat dan layak dicela dalam pelaksanaan kewajibannya, dan anggota-anggota gereja yang tak berharga itu, yang oleh keduniawian mereka, meletakkan batu sandungan di jalan saudara-saudara mereka. ‘Aku akan segera datang kepadamu’, tetapi ‘Aku akan berperang terhadap mereka’, bukan terhadap kamu) - hal 145.

 

Barnes’ Notes: “He would come against the church for tolerating them, but his opposition would be primarily directed against the Nicolaitanes themselves” (= Ia akan datang menentang gereja karena menoleransi mereka, tetapi oposisinya terutama ditujukan terhadap pengikut Nikolaus sendiri) - hal 1560.

 

Ini tidak berarti bahwa orang-orang yang tidak mendisiplin itu lalu tidak diapa-apakan sama sekali. Mereka memang tidak akan diperlakukan seperti pengikut Bileam dan Nikolaus, yaitu ‘diperangi dengan pedang di mulutKu’, tetapi mereka pasti juga dihajar atas kelalaian mereka melakukan disiplin dalam gereja.

 

3)   ‘Aku akan memerangi mereka dengan pedang yang di mulutKu ini’.

 

a)   Apa maksudnya ‘memerangi mereka dengan pedang di mulutKu’?

 

Ada yang menafsirkan bahwa ini artinya mempertobatkan mereka.

 

William Barclay: “The conquest of Christ is his power to win men to the love of God” (= Penaklukan Kristus adalah kuasaNya untuk memenangkan manusia kepada kasih Allah) - hal 94.

 

Tetapi ini jelas merupakan penafsiran yang salah. Kata ‘memerangi’ menunjukkan bahwa pedang / Firman di sini tidak digunakan untuk mempertobatkan, seperti yang dikatakan oleh Barclay di atas. Arti yang benar adalah: Firman dipakai untuk menghancurkan.

 

William Hendriksen: “We do not believe that this refers to a merely verbal condemnation. The verbal condemnation is contained in this epistle. It signifies destruction” (= Kami tidak percaya bahwa ini menunjuk pada semata-mata penghukuman dengan kata-kata. Penghukuman dengan kata-kata terkandung dalam surat ini. Ini berarti penghancuran) - hal 67.

 

Barnes’ Notes: “That is, he would give the order, and they would be cut as if by a sword. Precisely in what way it would be done he does not say; but it might be by persecution, or heavy judgments. To see the force of this, we are to remember the power which Christ has to punish the wicked by a word of his mouth. By a word in the last day he will turn all the wicked into hell” (= Yaitu, ia akan memberikan perintah, dan mereka akan dipotong seakan-akan dengan pedang. Bagaimana persisnya hal itu akan dilakukan Ia tidak mengatakan; tetapi itu mungkin melalui penganiayaan, atau penghakiman yang berat. Melihat kekuatan dari kata-kata ini, kita harus mengingat kuasa yang dimiliki Kristus untuk menghukum orang jahat melalui kata-kata / firman dari mulutNya. Dengan satu kata pada hari terakhir ia akan membuang semua orang jahat ke dalam neraka) - hal 1560.

 

John Stott: “The sword of Christ’s word would devour them. This being interpreted means that the very gospel of Christ which saves those who obey it destroys those who disobey it” (= Pedang firman Kristus akan menelan mereka. Penafsiran seperti ini berarti bahwa injil Kristus, yang menyelamatkan mereka yang mentaatinya, menghancurkan mereka yang tidak mentaatinya) - hal 64.

 

Leon Morris (Tyndale): “This word is either a comfort and a strength to us, or else it destroys us” (= firman ini, atau merupakan penghiburan dan kekuatan bagi kita, atau itu menghancurkan kita) - hal 68.

 

Bdk. 2Kor 2:14-16a - “Tetapi syukur kepada Allah, yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenanganNya. Dengan perantaraan kami Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana. Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan”.

 

Calvin, dalam tafsirannya tentang bagian ini berkata:

“The Gospel is preached for salvation: this is what properly belongs to it; but believers alone are partakers of that salvation. In the mean time, its being an occasion of condemnation to unbelievers - that arise from their own fault. ... He is a Rock, for a foundation, but he is also to many a stone of stumbling. (Isaiah 8:14.) We must always, therefore, distinguish between the proper office of the Gospel, and the accidental one (so to speak) which must be imputed to the depravity of mankind, to which it is owing, that life to them is turned to death” [= Injil diberitakan untuk keselamatan: ini adalah apa yang seharusnya termasuk padanya; tetapi hanya orang percaya saja yang mengambil bagian dari keselamatan itu. Sementara itu, bahwa Injil itu menyebabkan penghukuman terhadap orang yang tidak percaya, itu muncul karena kesalahan mereka sendiri. ... Ia adalah Batu karang, untuk suatu fondasi, tetapi Ia juga adalah batu sandungan bagi banyak orang (Yes 8:14). Karena itu kita harus selalu membedakan fungsi yang benar dari Injil, dan fungsi tambahan (boleh dikatakan begitu) yang harus dianggap berasal dari kebejatan umat manusia, yang menyebabkan adanya hal itu, bahwa kehidupan bagi mereka dibalikkan menjadi kematian] - hal 161.

 

b)   Jadi ini menunjukkan bahwa karena gereja tidak menjalankan disiplin gerejani, maka Kristus sendiri akan menghakimi dengan menghancurkan orang-orang sesat dalam gereja itu.

 

James B. Ramsey: “If the church neglects its duty, He will take this matter of its discipline into His own hands, and by His purifying judgments cleanse it” (= Jika gereja mengabaikan kewajibannya, Ia sendiri akan menangani pendisiplinannya, dan membersihkannya dengan penghakimanNya yang menyucikan) - hal 145.

 

Bandingkan dengan Im 20:2,4,5 - “‘Engkau harus berkata kepada orang Israel: Setiap orang, baik dari antara orang Israel maupun dari antara orang asing yang tinggal di tengah-tengah orang Israel, yang menyerahkan seorang dari anak-anaknya kepada Molokh, pastilah ia dihukum mati, yakni rakyat negeri harus melontari dia dengan batu. ... Tetapi jikalau rakyat negeri menutup mata terhadap orang itu, ketika ia menyerahkan seorang dari anak-anaknya kepada Molokh, dan tidak menghukum dia mati, maka Aku sendiri akan menentang orang itu serta kaumnya dan akan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya dan semua orang yang turut berzinah mengikuti dia, yakni berzinah dengan menyembah Molokh”.

 

Tetapi awas, ini tidak berarti bahwa kita boleh ‘mencuci tangan’ terhadap kewajiban untuk melakukan disiplin gerejani, dengan alasan kalau kita tidak melakukannya toh Kristus akan melakukannya. Jangan lupa bahwa gereja ini juga dipersalahkan dan diperintahkan bertobat, karena mereka tidak menjalankan disiplin dalam gereja.

 

c)   Kata ‘pedang’ mungkin secara tidak langsung juga berhubungan dengan Bileam.

 

Pulpit Commentary: “It is possible that there is here another allusion to Balaam. It was with a drawn sword that the angel of the Lord withstood him (Numb. 22:23), and with the sword that he was slain (Numb. 31:8; Josh. 13:22). Those who follow Balaam in his sin shall follow him in his punishment” [= Adalah mungkin bahwa di sini ada hubungan tidak langsung dengan Bileam. Adalah dengan pedang terhunus malaikat Tuhan menghadangnya (Bil 22:23), dan dengan pedang ia dibunuh (Bil 31:8; Yos 13:22). Mereka yang mengikuti Bileam dalam dosanya akan mengikutinya dalam hukumannya] - hal 63.

 

John Stott: “Balaam himself was killed with the sword (Num. 31:8; Josh. 13:22), and the Balaamites in Pergamum would suffer the same fate, unless they repented” [= Bileam sendiri dibunuh dengan pedang (Bil 31:8; Yos 13:22), dan para pengikut Bileam di Pergamum akan menderita / mengalami nasib yang sama, kecuali mereka bertobat] - hal 64.

 

 

Ay 17: “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Barangsiapa menang, kepadanya akan Kuberikan dari manna yang tersembunyi; dan Aku akan mengaruniakan kepadanya batu putih, yang di atasnya tertulis nama baru, yang tidak diketahui oleh siapapun, selain oleh yang menerimanya”.

 

1)   ‘Barangsiapa menang, kepadanya akan Kuberikan dari manna yang tersembunyi’.

 

a)   Tradisi tentang ‘manna yang tersembunyi’.

 

Steve Gregg mengatakan bahwa ada suatu tradisi di kalangan orang Yahudi yang mengatakan bahwa sebelum Babilonia menyerang Yerusalem, nabi Yeremia telah mengambil tabut perjanjian, yang berisikan guci emas berisi manna (Kel 16:32-34  Ibr 9:4  2Makabe 2:4-dst), lalu membawanya ke Mesir. Beberapa orang Yahudi mengajar bahwa nanti Yeremia akan kembali dengan membawa tabut berisi manna itu, dan akan mengadakan pesta dengan manna yang sudah berumur ratusan tahun itu. Karena adanya tradisi inilah maka ada yang mengira bahwa Yesus adalah Yeremia (Mat 16:14). Juga waktu Yesus memberi makan 5000 orang, maka orang lalu berkata: ‘Dia ini adalah benar-benar nabi yang akan datang ke dalam dunia’ (Yoh 6:14).

 

Tetapi Adam Clarke memberikan tradisi yang agak berbeda, dimana ia berkata bahwa raja Yosia, dan bukan Yeremia, yang menyembunyikan manna itu.

 

Adam Clarke: “It was a constant tradition of the Jews that the ark of the covenant, the tables of stone, Aaron’s rod, the holy anointing oil, and the pot of manna, were hidden by King Josiah when Jerusalem was taken by the Chaldeans; and that these shall all be restored in the days of the Messiah. This manna was hidden, but Christ promises to give it to him that is conqueror. Jesus is the ark, the oil, the rod, the testimony, and the manna. He who is partaker of his grace has all those things in their spiritual meaning and perfection” (= Merupakan tradisi tetap dari orang-orang Yahudi bahwa tabut perjanjian, loh batu, tongkat Harun, minyak pengurapan kudus, dan guci manna, disembunyikan oleh raja Yosia pada waktu Yerusalem diduduki oleh orang Babilonia; dan bahwa ini semua akan dipulihkan pada jaman Mesias. Manna ini disembunyikan, tetapi Kristus berjanji akan memberikannya kepada dia yang menang. Yesus adalah tabut, minyak, tongkat, kesaksian, dan manna itu. Ia yang ikut ambil bagian dalam kasih karuniaNya mempunyai semua hal itu dalam arti rohani dan dalam kesempurnaan dari hal-hal itu) - hal 979.

 

b)   Arti dari pemberian ‘manna yang tersembunyi’ bagi orang yang menang.

 

·        William Hendriksen mengatakan bahwa ‘manna yang tersembunyi’ ini berarti ‘Kristus dalam segala kepenuhannya’ (Yoh 6:33,35), tersem-bunyi bagi dunia, tetapi dinyatakan kepada orang-orang percaya.

 

·        Tetapi George Eldon Ladd mengatakan bahwa pemberian manna yang tersembunyi kepada orang-orang yang menang ini menunjuk pada ‘perjamuan kawin Anak Domba’ dalam Wah 19:9.

 

Ini memang merupakan suatu tafsiran yang sangat memungkinkan, mengingat bahwa orang-orang itu digoda oleh pesta / perayaan kafir. Sekarang kepada mereka ditawarkan ‘perjamuan kawin Anak Domba’. Memang sama seperti Kristus, setelah menolak cara mendapatkan makanan yang ditawarkan oleh setan (Mat 4:2-4) lalu mendapatkan makanan melalui pelayanan malaikat (Mat 4:11b), demikian juga kalau kita bisa menolak kenikmatan dunia yang ditawarkan oleh setan, akan menerima kenikmatan surgawi yang ditawarkan oleh Tuhan.

 

·        John Stott kelihatannya menggabungkan kedua pandangan di atas.

 

Ia beranggapan bahwa manna itu menunjuk kepada Kristus (Yoh 6:31-35,48-51), tetapi ia juga mengatakan bahwa ini juga menunjuk pada pesta di surga.

 

John Stott: “the promised reward with which each of the seven letters closes is a reward to be inherited in heaven, not on earth. So it is that our souls which already on earth taste Christ, our spiritual manna, will feast upon Him for ever in heaven. Denying ourselves the luxury of idol-meats in this life, the banquet will be the richer in the next” (= pahala yang dijanjikan dengan mana setiap surat dari ketujuh surat itu diakhiri adalah pahala untuk diwarisi di surga, bukan di dunia. Demikianlah jiwa kita yang di dunia ini sudah mengecap Kristus, manna rohani kita, akan berpesta atas / dengan Dia untuk selama-lamanya di surga. Dengan menyangkal diri kita sendiri terhadap kemewahan dari daging persembahan berhala dalam hidup ini, maka pesta makan akan lebih mewah dalam hidup yang akan datang) - hal 65.

 

2)   ‘dan Aku akan mengaruniakan kepadanya batu putih, yang di atasnya tertulis nama baru, yang tidak diketahui oleh siapapun, selain oleh yang menerimanya’.

 

a)   ‘Aku akan mengaruniakan kepadanya batu putih’.

 

Apa yang dimaksud dengan ‘batu putih’? Untuk ini ada bermacam-macam penafsiran:

 

·        Leon Morris (Tyndale): “This has puzzled commentators for centuries. At least seven suggestions have been made with some confidence. ... We simply do not know what the white stone signified, though clearly it did convey some assurance of blessing” (= Ini telah membingungkan para penafsir selama berabad-abad. Sedikitnya ada 7 gagasan / usul yang telah dibuat dengan keyakinan. ... Kami benar-benar tidak tahu apa arti dari batu putih itu, sekalipun itu jelas menyampaikan keyakinan akan adanya berkat) - hal 68,69.

 

·        Barclay memberikan banyak sekali arti tentang batu putih (hal 95-99). Menurut dia, yang paling memungkinkan adalah penjelasan sebagai berikut: Pada jaman itu merupakan kebiasaan yang sangat umum untuk membawa semacam jimat. Kadang-kadang jimat itu merupakan logam mulia atau batu mulia, tetapi seringkali hanya berupa sebuah batu biasa (pebble). Pada batu itu tertulis nama seorang dewa, yang akan menolong pembawa jimat itu. Jimat itu dianggap akan menjadi 2 x lebih efektif, jika tidak seorangpun selain pemiliknya mengetahui nama dewa apa yang tertulis di sana. Jadi maksud Yohanes dengan batu putih yang bertuliskan nama baru adalah: orang kafir membawa batu yang bertuliskan nama dewa, yang mereka anggap bisa menolong mereka. Sebagai orang kristen, kamu tidak membutuhkan semua itu. Baik hidup maupun mati kamu aman karena kamu mengenal nama satu-satunya Allah yang benar.

 

·        Ini adalah tanda yang diberikan kepada peserta pertandingan yang telah menyelesaikan perlombaan mereka.

 

·        Ini menunjuk pada praktek seorang hakim pada jaman dahulu, yang pada waktu menjatuhkan keputusan, akan memberikan ‘batu hitam’ sebagai tanda penghukuman, atau memberikan ‘batu putih’ sebagai tanda pembebasan. Jadi dengan diberikannya ‘batu putih’ di sini, ditunjukkan bahwa sekalipun dalam persidangan duniawi / Romawi orang kristen bisa dinyatakan bersalah dan lalu dijatuhi hukuman, tetapi di hadapan pengadilan Allah ia dibenarkan.

 

Bandingkan ini dengan kata-kata Paulus dalam 1Kor 4:3a,4b - “Bagiku sedikit sekali artinya entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu penghakiman manusia. ... Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan”.

 

·        Homer Hailey: “The word ‘stone’ is from PSEPHOS, ‘a small, worn, smooth stone; pebble.’ ... The word occurs only twice in the New Testament, here and in Acts 26:10. In the latter passage Paul is recorded as saying, ‘I gave my vote (literally, my pebble of voting) against them.’ ... white is the color of holiness and purity, ... The white stones ... indicates total acquittal” [= Kata ‘batu’ berasal dari PSEPHOS, ‘batu kecil, usang, halus; kerikil’. ... Kata itu hanya muncul 2 x dalam Perjanjian Baru, di sini dan dalam Kis 26:10. Dalam text terakhir ini dicatat bahwa Paulus berkata: ‘Aku juga setuju jika mereka dihukum mati / Aku memberikan suara / hak pilihku (secara hurufiah: ‘kerikil dari suaraku / hak pilihku’) menentang mereka’. ... putih adalah warna kesucian dan kemurnian, ... Batu putih ... menunjukkan pembebasan total] - hal 134.

 

Catatan:

 

Kis 26:10b - ‘aku juga setuju, jika mereka dihukum mati’.

 

KJV: ‘I gave my voice against them’ (= Aku memberikan suaraku menentang mereka).

 

·        William Hendriksen: “Now this stone is white. This indicates holiness, beauty, glory (Rev 3:4; 6:2). The stone itself symbolizes durability, imperishability. The white stones, therefore, indicates a being, free from guilt and cleansed from all sin, and abiding in this state for ever and ever” [= Batu ini putih. Ini menunjukkan kesucian, keindahan, dan kemuliaan (Wah 3:4; 6:2). Batu itu sendiri menyimbolkan ketahan-lamaan, ketidak-bisa-binasaan. Karena itu, batu putih itu menunjukkan seseorang yang bebas dari kesalahan dan dibersihkan dari semua dosa, dan tetap ada dalam keadaan ini selama-lamanya.] - hal 68.

 

·        Ini adalah tanda masuk ke dalam pesta.

 

Geoffrey B. Wilson: “There are many explanations of what is signified by the ‘white stone’, but the suggestion that it is the ‘tessera’ or token that gives admission to the heavenly banquet is the one best suited to the context (‘hidden manna’)” [= Ada banyak penjelasan tentang apa arti dari ‘batu putih’, tetapi gagasan bahwa itu adalah ‘tessera’ atau tanda yang memberikan ijin masuk kepada pesta perjamuan surgawi adalah yang paling cocok dengan kontex (‘manna yang tersembunyi’)] - hal 36.

 

Robert H. Mounce (NICNT): “In the context of a messianic feast (the ‘hidden manna’) it seems best to take the white stone as a tessera which served as a token for admission to the banquet” [= Dalam kontex dari pesta perjamuan Mesias (‘manna yang tersembunyi’), kelihatannya merupakan hal yang terbaik untuk menganggap bahwa batu putih itu adalah tessera yang berfungsi sebagai tanda masuk kepada pesta perjamuan itu] - hal 99.

 

Saya berpendapat bahwa arti ‘tanda masuk ke dalam pesta’ sesuai dengan bagian sebelumnya, yaitu ‘pesta perjamuan Anak Domba’ (‘manna yang tersembunyi’), tetapi arti ‘kesucian / pembenaran’ sesuai dengan bagian sesudahnya, yaitu ‘pemberian nama baru’ (lihat di bawah). Jadi saya condong untuk menerima salah satu atau gabungan dari 2 arti itu.

 

b)   ‘yang di atasnya tertulis nama baru, yang tidak diketahui oleh siapapun, selain oleh yang menerimanya’.

 

·        Kata ‘nya’ di sini jelas bukan menunjuk pada ‘batu putih’ tetapi kepada ‘nama baru’.

 

·        ‘nama baru’.

 

‘Nama baru’ ini nama siapa?

 

*        Nama Kristus.

 

William Hendriksen: “According to the second interpretation the pellucid, precious stone - a diamond? - is inscribed with the name of Christ. Receiving this stone with its new name means that in glory the conqueror receives a revelation of the sweetness of fellowship with Christ - in His new character, as newly crowned Mediator - a fellowship which only those who receive it can appreciate” (= Menurut penafsiran yang kedua, batu berharga yang bening / jernih - berlian? - ditulisi dengan nama Kristus. Menerima batu dengan nama baru ini berarti bahwa dalam kemuliaan si pemenang menerima wahyu tentang manisnya persekutuan dengan Kristus - dalam karakterNya yang baru, sebagai Pengantara yang baru dinobatkan - suatu persekutuan yang hanya mereka yang menerimanya yang bisa menghargainya) - hal 69.

 

Catatan: Hendriksen mengatakan ‘penafsiran yang kedua’ karena ia meletakkan ‘nama orangnya’ sebagai penafsiran pertama. Tetapi saya membalik urutan itu.

 

Argumentasinya:

 

Þ      dalam Kitab Wahyu, semua ayat yang berbicara tentang nama baru, menunjuk kepada nama Allah / Kristus. Nama ini dikatakan akan ditulis pada dahi orang percaya (3:12  14:1  22:4). Wah 3:12 yang juga berbicara tentang ‘namaKu yang baru’, yang akan dituliskan pada orang yang menang, dan dalam Wah 3:12 ini jelas bahwa nama itu menunjuk kepada nama Kristus.

 

Þ      Hendriksen juga mambandingkan dengan Harun yang di dahinya juga ditulisi nama Allah / Yahweh (Kel 28:36-38).

 

Keberatan terhadap pandangan ini adalah:

 

Þ      nama Kristus tidak bisa dikatakan ‘tidak diketahui oleh siapapun selain oleh yang menerimanya’. Perlu juga diperhatikan bahwa kata ‘yang menerimanya’ dalam bahasa Yunaninya ada dalam bentuk tunggal / singular.

 

Þ      kata ‘baru’, dalam bahasa Yunaninya adalah KAINOS.

 

William Barclay: “In Greek there are two words for ‘new’. There is NEOS, which means new in point of time. A thing can be NEOS, and yet exactly like any number of things. On the other hand there is KAINOS, which is new not only in point of time but also in point of quality; nothing like it has ever been made before. So in the Revelation there is the new Jerusalem (3:12); the new song (5:9); the new heavens and the new earth (21:1); and God makes all things new (21:5).” [= Dalam bahasa Yunani ada 2 kata untuk ‘baru’. Ada kata NEOS, yang berarti baru dalam hal waktu. Sesuatu bisa NEOS, tetapi persis seperti banyak hal lain. Selain itu ada kata KAINOS, yang adalah baru bukan hanya dalam hal waktu tetapi juga dalam hal kwalitas; tidak ada hal seperti itu yang pernah dibuat sebelumnya. Demikianlah dalam kitab Wahyu ada Yerusalem yang baru (3:12), lagu / nyanyian yang baru (5:9); langit dan bumi yang baru (21:1); dan Allah membuat segala sesuatu baru (21:5)] - hal 98.

 

Dengan pengertian tentang kata ‘baru’ yang seperti ini, saya berpendapat sukar untuk bisa menafsirkan ‘nama baru’ itu sebagai ‘nama Kristus’. Tetapi kalau ini ditujukan kepada ‘nama orangnya’, maka ini cocok karena nanti setiap orang percaya akan diperbaharui / dikuduskan.

 

*        Nama orangnya.

 

Kitab Suci sering menggunakan kata ‘nama’ untuk menunjuk pada karakter orangnya. Karena itu orang yang karakternya berubah lalu diberi nama baru (bdk. Mat 16:17-18). Dalam kemuliaan nanti, kita akan disucikan, dan karena itu diberi nama baru.

 

William Hendriksen: “The new name written upon the stone indicates the person who receives the stone. It expresses the real, inner character of the person; his distinct, individual personality” (= Nama baru yang ditulis di atas batu itu menunjukkan orang yang menerima batu itu. Itu menyatakan karakter di dalam yang merupakan karakter yang sebenarnya dari orang itu; kepribadiannya yang berbeda dan individual / unik) - hal 68.

 

Kalau ini benar, maka ini menunjukkan bahwa di surga nanti setiap orang tetap memiliki kepribadian masing-masing yang berbeda satu sama lain.

 

Herman Hoeksema: “not all the saints shall be alike, so that there should be an endless monotony of identically the same beings. The difference between one individual and another shall not be obliterated in perfection” (= bukan bahwa semua orang kudus akan menjadi serupa, sehingga di sana akan ada kemonotonan tanpa akhir tentang makhluk-makhluk yang persis sama) - hal 94.

 

·        ‘yang tidak diketahui oleh siapapun, selain oleh yang menerimanya’.

 

Hoeksema (hal 94) mengatakan artinya adalah bahwa orang yang mengenal kepribadiannya dengan sempurna hanyalah orangnya sendiri.

 

 

-AMIN-

 


 

email us at : gkri_exodus@lycos.com