Eksposisi Injil Yohanes

oleh: Pdt. Budi Asali MDiv.


 

Yohanes 13:1-17

 

Ay 1:

 

1)   ‘sebelum hari raya Paskah mulai’.

 

NIV: ‘It was just before the Passover Feast’ (= Itu persis sebelum hari raya Paskah).

 

Thomas Whitelaw berkata:

“this phrase does not necessarily and exclusively mean ‘the day before’: it may also signify ‘immediately before’” (= ungkapan ini tidak harus berarti ‘satu hari sebelumnya’: itu juga bisa berarti ‘sesaat sebelumnya / persis sebelumnya’) - hal 286.

 

Thomas Whitelaw juga berkata:

“the term ‘feast,’ though occasionally signifying the eating of the Paschal lamb (Exod. 12:14), yet commonly denotes the entire festival of which the eating of the passover was the introduction” [= Istilah ‘hari raya’ sekalipun kadang-kadang menunjuk pada ‘makan domba Paskah’ (Kel 12:14), tetapi biasanya menunjuk pada seluruh perayaan dimana makan Paskah merupakan pendahuluan] - hal 286.

           

2)   ‘saatNya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa’.

 

Sebelum ini telah 2 x dikatakan bahwa waktunya belum tiba, yaitu dalam 7:30 dan 8:20. Tetapi sekarang dikatakan bahwa waktunya sudah tiba.

 

3)   ‘Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-muridNya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kesudahannya’.

 

NASB: ‘he loved them to the end’ (= Ia mengasihi mereka sampai akhir).

 

NIV: ‘he now showed them the full extent of his love’ (= sekarang Ia menunjukkan kepada mereka kasihNya dengan sepenuhnya).

 

Tasker (Tyndale): “The expression translated ‘unto the end’, EIS TELOS, can equally well mean ‘completely’; and that is the sense which should probably be given to it here” (= Ungkapan yang diterjemahkan ‘sampai kepada kesudahannya’, EIS TELOS, juga bisa berarti ‘dengan sepenuhnya’; dan mungkin itu adalah arti yang harus diberikan kepada ungkapan itu di sini).

 

F. F. Bruce: “a phrase which combines the senses ‘to the end’ and ‘absolutely’” (= suatu ungkapan yang menggabungkan arti ‘sampai akhir’ dan ‘secara mutlak’) - hal 278.

 

4)   Kalau ada saat dimana orang biasanya menujukan pikirannya kepada dirinya sendiri, maka itu adalah saat ia menghadapi bahaya, penderitaan, dan kematian. Tetapi Yesus tidak demikian! Dalam keadaan menghadapi penderitaan dan kematian, Ia tetap menujukan pikirannya kepada murid-muridNya, dan melakukan hal-hal bagi kepentingan mereka.

Ay 2:

 

1)   ‘Mereka sedang makan bersama’.

 

a)   Kesalahan dari KJV.

 

KJV: ‘And supper being ended’ (= Dan makan malam telah selesai).

 

Ini merupakan terjemahan dari manuscript yang berbeda, yang jelas adalah salah karena dari ay 26 , dimana Yesus memberikan roti kepada Yudas, terlihat bahwa makan malam itu belum selesai.

 

NIV: ‘The evening meal was being served’ (= Makan malam sedang disiapkan).

 

RSV/NASB: ‘And during supper’ (= Dan pada saat / selama makan malam itu).

 

b)   Ini adalah makan malam yang sama dengan yang diceritakan oleh ketiga Injil yang lain (Mat 26:20  Mark 14:22  Luk 22:14). Alasannya: pada makan malam yang sama terjadi:

 

·        pengungkapan pengkhianatan Yudas (ay 21  Mat 26:21  Mark 14:18  Luk 22:21).

 

·        nubuat tentang penyangkalan Petrus (ay 38  Mat 26:34  Mark 14:30  Luk 22:34).

 

c)   Perbedaan saat makan Paskah antara Yesus dan orang-orang Yahudi.

 

Yesus makan Paskah lebih dulu dibandingkan dengan orang-orang Yahudi yang lain. Yesus dan murid-muridNya makan Paskah pada hari Kamis malam, setelah pk. 18.00 (bagi orang Yahudi ini sudah termasuk hari Jum’at, karena pergantian hari bagi mereka adalah pk 18.00). Tetapi dari Yoh 18:28 dan Yoh 19:14, terlihat bahwa pada saat Yesus diadili (hari Jum’at), orang-orang Yahudi yang lain belum makan Paskah. Karena itu jelas bahwa Yesus memang makan Paskah sebelum orang-orang yang lain. Tetapi berapa banyak perbedaan waktunya? Apakah ini hanya menyangkut perbedaan jam, atau perbedaan hari? Ada 2 pandangan:

 

1.   Ada orang-orang yang berpendapat bahwa orang-orang lain makan Paskah pada hari Jum’at sore (sebelum pk 18.00). Ini berarti bahwa sekalipun Yesus dan murid-muridNya makan Paskah lebih dulu dari orang-orang lain, tetapi Yesus tetap makan Paskah pada hari yang sama dengan mereka, yaitu hari Jum’at.

 

2.   Kebanyakan penafsir menganggap bahwa orang-orang lain makan Paskah pada hari Jum’at malam setelah pk. 18.00 (bagi orang Yahudi ini sudah termasuk hari Sabtu). Itu berarti bahwa Yesus dan murid-muridNya makan Paskah 1 hari lebih dahulu dibandingkan dengan orang-orang yang lain.

 

Kalau ini yang benar, apa alasan Yesus untuk makan Paskah 1 hari lebih dulu dari orang-orang yang lain? Perlu diingat bahwa hari untuk makan Paskah ditentukan oleh Tuhan sendiri (bdk. Kel 12:2-6  Im 23:5  Bil 9:4-5), dan karena itu tidak boleh diubah semaunya sendiri. Lalu mengapa Yesus mengubahnya menjadi 1 hari lebih dulu?

 

Ada orang yang memberikan alasan: karena Yesus tahu bahwa sebentar lagi Ia akan ditangkap, dan besoknya Ia sudah akan mati.

 

Tetapi Calvin dan George Hutcheson mengatakan bahwa adalah tradisi orang Yahudi, kalau suatu hari raya terjadi pada hari Jum’at, maka supaya mereka tidak libur 2 hari berturut-turut (ingat bahwa hari Sabtu adalah hari Sabat / hari libur), maka mereka mengundurkan perayaan hari raya itu 1 hari, dan mereka menggabungkan hari raya itu dengan hari Sabat. Jadi mungkin sekali bahwa pada saat itu Paskah seharusnya terjadi pada hari Jum’at, tetapi orang-orang Yahudi mengundurkannya 1 hari dan merayakannya pada hari Sabat / Sabtu. Tetapi Kristus tidak mau menuruti tradisi yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan, dan karena itu, Ia tetap merayakan Paskah pada hari Jum’at. Kalau ini benar, maka dari sini kita bisa belajar bahwa Kristus berusaha mentaati Firman Tuhan / hukum Taurat sampai yang sekecil-kecilnya (bdk. Mat 5:17-19).

 

Catatan: jika ingin melihat pembahasan yang sangat panjang lebar tentang apakah Paskah saat itu terjadi pada hari Kamis atau Jum’at, lihat Thomas Whitelaw, ‘Commentary on John’, hal 286-289.

 

2)   ‘Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Dia’ (ay 2b).

 

Calvin mengatakan bahwa sekalipun memang tidak ada kejahatan yang dilakukan oleh manusia yang tidak digerakkan oleh setan, tetapi manusia itu sendiri memang jahat, dan ia menerima dengan senang hati gerakan / dorongan setan itu, dan karena itu manusia tetap layak untuk dihukum.

 

Kata-kata Calvin ini perlu dicamkan pada waktu menghadapi ajaran dari orang-orang tertentu, yang berdasarkan Yak 1:14 (“Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya”), mengatakan bahwa ada dosa-dosa dimana setan sama sekali tidak ikut campur, dan karenanya itu murni merupakan kesalahan manusia itu sendiri. Tetapi saya berpendapat bahwa Yak 1:14 ini tidak berarti bahwa ada dosa-dosa yang terjadi tanpa campur tangan setan! Dalam Yak 1:14 ini Yakobus tidak membahas tentang peranan setan terse­but, karena ia menginginkan supaya kita tidak mencari kambing hitam.

 

Pendapat Calvin di atas sesuai dengan Luk 4:13 dan 1Pet 5:8 yang menunjukkan bahwa setan selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkan kita ke dalam dosa.

 

Tetapi juga perlu dicamkan bahwa sekalipun setan selalu berperan dalam terjadinya dosa, tetapi pada saat terjadi dosa manusia yang melakukannya tetap salah!

 

Jadi harus ada keseimbangan dalam persoalan ini. Di satu sisi jangan membersihkan setan dari kesalahannya, tetapi di lain pihak, jangan menimpakan seluruh kesalahan kepada setan saja dengan menyatakan bahwa orang yang berbuat dosa itu tidak salah.

Ay 3-5:

 

1)   Pada saat itu memang diperlukan suatu pembasuhan kaki.

 

Mengapa? Karena pada saat itu orang makan dengan cara ‘recline’ (= berbaring / bersandar). Ini sebetulnya terlihat dalam ay 12, tetapi Kitab Suci Indonesia salah terjemahan.

 

Ay 12: ‘kembali ke tempatNya‘.

 

NASB: reclined at the table again’ (= berbaring / bersandar pada meja lagi).

 

Untuk mengetahui posisi duduk mereka pada saat itu, mari kita bandingkan dengan:

 

a)   Yoh 13:23,25,28 (bdk. Yoh 21:20).

 

·        Yoh 13:23 (NASB): ‘There was reclining on Jesus’ breast one of His disciples, whom Jesus loved’ (= disana bersandar pada dada Yesus, seorang dari murid-muridNya, yang dikasihi oleh Yesus).

 

·        Yoh 13:25 (NASB): ‘He, leaning back thus on Jesus’ breast, said to Him ...’ (= Ia, kembali bersandar demikian pada dada Yesus, berkata kepadaNya ...).

 

·        Yoh 13:28 (NASB): ‘Now, no one of those reclining at the table knew for what purpose He had said this to him’ (= tidak seorang­pun dari mereka yang bersandar pada meja tahu apa maksud Yesus mengatakan ini kepadanya).

 

b)   Luk 7:36,37,38 (Catatan: ini memang bukan makan Paskah, tetapi pada saat itu mereka duduk dengan cara yang sama seperti pada waktu makan Paskah).

 

·        Luk 7:36 (NASB): ‘He entered the Pharisee’s house and reclined at the table ...’ (= Ia masuk ke rumah orang Farisi itu dan bersan­dar pada meja).

 

·        Luk 7:37 (NASB): ‘... and when she learned that He was reclining at the table in the Pharisee's house ...’ (= ... dan ketika ia tahu bahwa Yesus sedang bersandar pada meja dalam rumah orang Farisi ...).

 

·        Luk 7:38 (NASB): ‘and standing behind Him at His feet, weeping, she began to wet His feet with her tears, ...’ (= dan berdiri di belakangNya pada kakiNya, sambil menangis ia mulai membasahi kakiNya dengan air matanya ...).

 

Dari istilah ‘recline’ yang berarti ‘berbaring / bersandar’, dan juga dari cerita dalam Yoh 13:23-28 dan Luk 7:36-38, terlihat dengan jelas bahwa posisi mereka pada waktu duduk makan, tidaklah sama seperti kalau kita duduk makan! Kalau posisi duduk mereka sama seperti kita pada waktu duduk makan, maka:

 

1.      Bagaimana Yohanes bisa duduk makan sambil bersandar pada dada Yesus?

 

2.      bagaimana perempuan dalam Luk 7 itu bisa berdiri di belakang Yesus, tetapi toh dikatakan pada / dekat kaki Yesus, dan bisa membasahi kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya?

 

Dari semua ini, dan juga dari tradisi Yahudi, maka para penafsir mengatakan bahwa posisi duduk mereka pada saat makan Paskah adalah sebagai berikut:

 

a.      Mereka duduk pada semacam dipan / bangku panjang, yang tidak mempunyai sandaran.

 

b.      Di depan dipan / bangku panjang itu ada meja.

 

c.      Posisi badan mereka miring ke kiri, dengan siku kiri terletak di meja dan tangan kiri menahan kepala. Kedua kaki ada di sebelah kanan dan diletakkan di atas dipan; kedua lutut ditekuk dan kedua telapak kaki menghadap ke belakang. Ini menyebabkan perempuan yang berdiri di belakang Yesus itu bisa berada dekat kaki Yesus dan bisa membasahi kaki Yesus dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya (Luk 7:38)!

 

d.      Badan dan wajah agak menghadap ke sebelah kanan.

 

Karena itulah Yohanes bisa bersandar pada dada Yesus (Yoh 13:23,25)! Tetapi ini tidak berarti bahwa punggung Yohanes menempel pada dada Yesus terus menerus! Harus ada jarak antara dada Yesus dengan punggung / kepala Yohanes yang ada di sebelah kanannya, supaya tangan kanan Yesus bebas untuk mengambil makanan dan memasukkan makanan itu kemulutNya. Sekalipun demikian, dengan hanya sedikit mencondongkan kepala ke kiri, Yohanes bisa menempelkan kepalanya pada dada Yesus.

 

Penjelasan ini juga bisa mendapatkan dukungan dari:

 

·        Amos 6:4 - “yang berbaring di tempat tidur dari gading dan duduk berjuntai di ranjang; yang memakan anak-anak domba dari kumpulan kambing domba dan anak-anak lembu dari tengah-tengah kawanan binatang yang tambun”.

 

KJV: ‘That lie upon beds of ivory, and stretch themselves upon their couches, and eat the lambs out of the flock, and the calves out of the midst of the stall’ (= yang berbaring di atas ranjang dari gading, dan merentangkan tubuh mereka sendiri di atas dipan, dan makan anak domba dari kawanan ternak, dan anak sapi dari tengah-tengah kandang).

 

RSV: ‘Woe to those who lie upon bed of ivory, and stretch themselves upon their couches, and eat lambs from the flock, and calves from the midst of the stall’ (= Celakalah mereka yang berbaring di atas ranjang dari gading, dan merentangkan tubuh mereka sendiri di atas dipan, dan makan anak domba dari kawanan ternak, dan anak sapi dari tengah-tengah kandang).

 

NASB: ‘Those who recline on beds of ivory And sprawl on their couches, And eat lambs from the flock And calves from the midst of the stall’ (= Mereka yang berbaring di atas ranjang dari gading Dan merentangkan tubuh dengan relax di atas dipan mereka, Dan makan anak domba dari kawanan ternak Dan anak sapi dari tengah-tengah kandang).

 

Ayat ini menunjukkan orang yang makan sambil berbaring.

 

·        Mat 8:11 - “Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak, dan Yakub di dalam Kerajaan Sorga”.

 

NASB: ‘many shall come from east and west, and recline at the table with Abraham, and Isaac, and Jacob, in the kingdom of heaven’ (= banyak orang akan datang dari timur dan barat, dan bersandar / berbaring di meja dengan Abraham, dan Ishak, dan Yakub, di dalam Kerajaan sorga).

 

·        Luk 16:22-23 - “Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya.

 

Sama seperti dalam kasus Yoh 1:18, Kitab Suci Indonesia secara salah menterjemahkan ‘pangkuan’. NASB menterjemahkan lebih benar yaitu ‘bosom’ (= dada), dan tidak mempunyai kata ‘duduk’. Bagian ini mungkin hanya menunjukkan bahwa Lazarus ada di pelukan Abraham, tetapi mungkin juga bagian ini menggambarkan Perjamuan Besar di surga dimana posisi Lazarus dan Abraham sama seperti posisi Yohanes dan Yesus dalam Yoh 13, dimana kepala Yohanes bisa ada di dada Yesus.

 

Sekarang perlu dipertanyakan, mengapa mereka duduk dengan posisi seperti itu?

 

¨      Pada Paskah I, terlihat dari Kel 12:11 (“Dan beginilah kamu memakannya: pinggangmu berikat, kasut pada kakimu dan tongkat di tanganmu; buru-burulah kamu memakannya; itulah Paskah bagi TUHAN”) bahwa mereka harus makan dengan berdiri. Ini disebabkan karena pada saat itu mereka terbu­ru-buru, karena sebentar lagi mereka akan diusir oleh Firaun / orang Mesir.

 

¨      Pada Paskah-paskah yang berikutnya (untuk memperingati Paskah I itu), mereka tidak sedang terburu-buru untuk meninggalkan Mesir dan mereka bukan lagi budak seperti pada waktu mereka ada di Mesir. Karena itu, mereka sengaja makan Paskah dengan posisi duduk santai, bahkan dengan posisi duduk yang paling menyulitkan untuk berdiri! Posisi duduk seperti ini memang disengaja untuk melam­bangkan bahwa mereka tidak terburu-buru, dan juga bahwa mereka bukan lagi budak!

 

¨      Posisi duduk santai seperti ini merupakan tradisi mereka, dan ini diharuskan hanya pada saat makan Paskah. Kalau bukan makan Paskah, posisi duduk bebas (boleh duduk biasa, boleh juga seperti pada saat makan Paskah).

 

Andaikata mereka duduk makan dengan posisi seperti kalau kita duduk makan, maka kaki yang kotor tidak terlalu menjadi problem. Tetapi dengan posisi duduk mereka dalam Perjamuan Paskah, jelas bahwa kaki yang kotor (apalagi yang bau!) akan sangat tidak menyenangkan untuk tetangga yang duduk makan di sebelah kanannya. Karena itu pembasuhan kaki sangat diperlukan.

 

2)   Tetapi ternyata tidak seorang muridpun yang rela merendahkan diri untuk melakukan pembasuhan kaki tersebut.

 

Charles Swindoll: “the room was filled with proud hearts and dirty feet. Interestingly, those disciples were willing to fight for a throne, but not a towel” (= ruangan itu dipenuhi dengan hati yang sombong dan kaki yang kotor. Sesuatu yang menarik adalah bahwa murid-murid itu mau berkelahi untuk suatu takhta, tetapi tidak untuk sebuah handuk / lap kaki) - ‘Improving Your Serve’, hal 163,164.

 

Bdk. Luk 22:24  Mark 9:33-34  Mat 20:20-28 dimana murid-murid itu ‘mau berkelahi’ untuk suatu takhta.

 

3)   Yesus melakukan pembasuhan kaki (ay 4-5).

 

a)   Tindakan mengikat pinggang dengan kain dan menggunakannya untuk membasuh kaki ini merupakan sikap dan pelayanan dari seorang hamba / budak (Luk 17:8  1Sam 25:41).

 

F. F. Bruce mengatakan bahwa ini mengilustrasikan kata-kata Paulus dalam Fil 2:5b-7 yang berbunyi:

“... Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”.

 

Tetapi F. F. Bruce lalu cepat-cepat menambahi:

“The from of God was not exchanged for the form of servant; it was revealed in the form of a servant” (= Rupa Allah ini tidak ditukar dengan rupa seorang hamba / pelayan; itu dinyatakan dalam rupa seorang hamba / pelayan) - hal 280.

 

b)   Yesus juga membasuh kaki Yudas Iskariot, yang Ia tahu akan mengkhianatiNya!

 

Kalau ada orang menjahati kita, sudah cukup sukar untuk diam dan tidak membalas. Tetapi Kristus tetap mengasihi, bersikap ramah dan tetap melayani orang yang menjahatiNya. Apa yang Yesus lakukan bagi Yudas sesuai dengan:

 

·        ajaran Yesus sendiri dalam Mat 5:38-48.

 

·        kata-kata Paulus dalam Ro 12:17-21.

 

Dan Ia berkata bahwa hal ini harus diteladani (ay 14-15).

 

4)   Apa yang Yesus lakukan ini ternyata tidak membawa perbaikan bagi Yudas, dimana ia bukan saja tidak bertobat, tetapi bahkan tetap melakukan rencana pengkhianatannya.

 

Ini menunjukkan dengan jelas bagaimana bejatnya Yudas!

Ay 6-11:

 

1)   Ay 6: Petrus menolak untuk dibasuh kakinya oleh Yesus.

 

Ketika ia melihat Yesus membasuh kaki murid-murid yang lain, ia pasti sudah merasa sangat tidak enak. Dan ketika Yesus mau membasuh kakinya, ia tidak bisa menahan rasa tidak enak itu lebih lama lagi, dan ia menolak pembasuhan itu. Mungkin sekali murid-murid yang lain juga merasa tidak enak melihat Yesus membasuh kaki mereka, tetapi hanya Petrus, yang memang adalah orang yang vocal / berani bicara dan mengutarakan pendapat, yang mengutarakan perasaannya itu.

 

2)   Ay 7: “Jawab Yesus kepadanya: ‘Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.’”.

 

Barnes’ Notes: “And we may remark here, that God often does things which we do not fully understand now, but which we may hereafter. He often afflicts us, he disappoints us, he frustrates our plans. Why it is, we do not know now, but we shall learn that it was for our good, and designed to teach us some important lesson of humility and piety. So he will, in heaven, scatter all doubts, remove all difficulties, and show us the reason of the whole of his mysterious dealings in his leading us in the way to our future rest. We ought also, in view of this, to submit ourselves to him; to hush every murmur, and to believe that he does all things well. It is one evidence of piety when we are willing to receive affliction at the hand of God, the reason of which we cannot see, content with the belief that we may see it hereafter; or even if we never do, still having so much confidence in God as to believe that what he does is right” (= Dan kita bisa memperhatikan di sini bahwa Allah sering melakukan hal-hal yang tidak kita mengerti sepenuhnya sekarang, tetapi yang mungkin akan kita mengerti nanti. Ia sering membuat kita menderita, mengecewakan kita, menggagalkan rencana kita. Mengapa Ia melakukan itu, kita tidak mengertinya sekarang, tetapi kita akan belajar bahwa itu adalah untuk kebaikan kita, dan dimaksudkan untuk mengajar kita pelajaran yang penting tentang kerendahan hati dan kesalehan. Di surga Ia akan membuyarkan semua keragu-raguan, menyingkirkan semua kesukaran, dan menunjukkan kepada kita semua alasan dari seluruh perlakuanNya yang misterius dalam memimpin kita di jalan yang membawa kita kepada perhentian yang akan datang. Mengingat hal ini, kita juga harus menundukkan diri kita sendiri kepadaNya; mendiamkan / menghentikan setiap sungut-sungut, dan percaya bahwa Ia melakukan segala hal dengan baik. Merupakan bukti kesalehan pada waktu kita mau menerima penderitaan dari tangan Allah, yang tidak bisa kita lihat alasannya, merasa puas dengan kepercayaan bahwa kita akan melihatnya nanti; atau bahkan jika kita tidak pernah melihatnya, tetap mempunyai keyakinan begitu besar kepada Allah sehingga percaya bahwa apa yang Ia lakukan adalah benar) - hal 329.

 

Dalam buku Saat Teduh yang saya gunakan ada cerita sebagai berikut:

“James McConkey tells how he was once crossing a great glacier while on a sight-seeing trip in Switzerland. The path was extremely narrow and winding and seemingly filled with unnecessary detours. At one place especially it appeared as if the guide should have proceeded straight ahead, but instead he turned sharply and began to take a roundabout course. One man, evidently annoyed, resolved to take a shortcut, so he went straight ahead instead of following the leader. Immediately the guide rushed back, grasped him by the collar, and with no gentle hand dragged him back. Then he pointed to a patch of snow upon which the man had intended to walk. Instead of being a sure foothold, it was a mere crust of ice covering a great crevasse opening into the deep recesses of the glacier. The shortcut would have ended in disaster. Says McConkey, ‘A similar peril besets the believer’s walk. Sometimes our Guide seems to slow for us ... and indeed seems to lead us by devious paths; but it pays us far better to take the detours with Him, than to take the shortcuts without Him!’” (= James McConkey bercerita bagaimana suatu kali ia menyeberangi sebuah gletsyer / sungai es yang besar pada waktu mengikuti suatu perjalanan untuk melihat-lihat pemandangan di Swiss. Jalanannya sangat sempit dan berliku-liku dan kelihatannya dipenuhi dengan banyak jalan memutar yang tidak perlu. Khususnya pada satu tempat kelihatannya penunjuk jalan seharusnya berjalan lurus, tetapi ternyata ia berbelok dengan tajam dan mulai mengambil jalan memutar. Seorang yang jelas sekali jengkel, memutuskan untuk mengambil jalan pintas, dan ia berjalan lurus dan tidak mengikuti sang pemimpin. Penunjuk jalan itu segera kembali, memegang orang itu pada kerah bajunya, dan dengan kasar / keras menariknya kembali. Lalu ia menunjuk pada suatu bagian salju dimana orang itu bermaksud untuk berjalan. Ternyata itu bukannya merupakan tempat berpijak yang kuat tetapi merupakan lapisan es yang tipis yang menutupi sebuah celah terbuka yang besar ke dalam lubang / bagian yang dalam dari gletsyer / sungai es itu. Jalan pintas itu akan berakhir dengan bencana. Kata McConkey: ‘Bahaya yang serupa mengelilingi / mengepung jalan orang percaya. Kadang-kadang Penunjuk jalan kita kelihatannya terlalu lambat untuk kita ... dan kelihatannya memimpin kita melalui jalan-jalan yang berliku-liku; tetapi jauh lebih baik bagi kita untuk mengambil jalan memutar bersama dengan Dia, dari pada mengambil jalan pintas tanpa Dia!’) - ‘Bread For Each Day’, tgl 10 November.

 

Bdk. Kel 13:17-18.

 

3)   Ay 8a: Petrus tetap menolak, bahkan dengan lebih keras.

 

a)   Untuk kata ‘tidak akan’ dalam ay 8a ini digunakan kata-kata OU ME, yang merupakan ‘double negatives’ (2 x kata ‘tidak’), untuk menekankan penolakannya terhadap pembasuhan itu.

 

b)   Ini merupakan sikap hormat / kasih yang salah.

 

Barnes’ Notes: “This was a decided and firm expression of his reverence for his Master. And yet it was improper” (= Ini merupakan pernyataan yang nyata / jelas dan tegas dari hormatnya pada Guru / Tuannya. Sekalipun demikian, itu merupakan sesuatu yang tidak pantas) - hal 329.

 

Karena itu, hati-hatilah dengan sikap seperti ini. Sekalipun itu keluar dari hati yang mengasihi dan hormat kepada Tuhan, tetapi tetap salah!

 

Hal yang sama kalau seseorang menolak untuk melayani Tuhan / menjadi hamba Tuhan, dengan alasan ‘aku tidak layak’, padahal ia tahu jelas bahwa Tuhan memanggilnya untuk hal itu.

 

Kalau kita tahu dengan jelas akan kehendak Tuhan, maka kita harus tunduk sekalipun kita tidak mengerti bagaimana tindakan itu bisa menye-nangkan dan memuliakan Tuhan.

 

c)   ‘Ketidakmauan menerima’ mungkin menunjukkan adanya kesombongan.

 

Charles Swindoll: “Being willing to receive sometimes takes more grace than giving to others. And our reluctance to do so really exposes our pride, doesn’t it?” (= Mau menerima kadang-kadang membutuhkan lebih banyak kasih karunia dari pada memberi kepada orang lain. Dan keseganan kita untuk menerima betul-betul menyingkapkan kesombongan kita) - ‘Improving your serve’, hal 165.

 

Kata-kata Swindolll ini belum tentu benar untuk diri / kasus Petrus di sini, tetapi itu sering benar dalam kasus yang lain. Banyak orang yang tidak bisa menerima suatu pemberian, dan kalau terpaksa menerima sesuatu lalu merasa harus membalas dengan sama banyaknya atau bahkan dengan lebih banyak. Ini bisa disebabkan karena kesombongan yang tidak disadari. Orang yang seperti ini harus mengingat kata-kata Yesus yang dikutip oleh Paulus dalam Kis 20:35 - “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima”.

 

KJV/RSV/NIV/NASB: ‘It is more blessed to give than to receive’ (= Adalah lebih diberkati memberi dari pada menerima).

 

Memang sebetulnya ayat ini menekankan bahwa orang harus mau memberi, bukan hanya menerima saja. Tetapi dari kata-kata ini juga bisa disimpulkan bahwa kalau kita menolak untuk menerima pemberian, maka:

 

·        itu berarti kita menolak berkat, karena ‘menerima’ juga ‘diberkati’.

 

·        kita tidak mengijinkan orang yang mau memberi itu mengalami keadaan ‘lebih diberkati’ itu.

 

4)   Ay 8b: “Jawab Yesus: ‘Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku’”.

 

a)   Kata-kata Yesus ini menunjukkan bahwa pembasuhan kaki yang Yesus lakukan itu bukanlah sekedar merupakan tindakan yang rendah hati / teladan dalam kerendahan hati, tetapi juga mempunyai arti simbolis tertentu. Pembasuhan kaki ini merupakan simbol dari penyucian dosa.

 

Tasker (Tyndale):

 

·        “the feet-washing was an acted parable” (= pembasuhan kaki ini meru-pakan perumpamaan yang diperagakan).

 

·        “in this sacramental action Jesus is illustrating the cleansing power of His death” (= dalam tindakan sakramen ini Yesus sedang mengilustrasikan kuasa pencucian dari kematianNya).

 

b)   Yesus berkata bahwa orang yang tidak mau dibasuh kakinya tidak mendapat bagian dalam Dia, artinya tidak mempunyai persekutuan dengan Yesus, atau tidak selamat.

 

Pembasuhan kaki itu sendiri memang tidak menyucikan orang yang dibasuh, dan ini terbukti dari tidak disucikannya Yudas. Tetapi kalau Petrus tetap berkeras menolak untuk dibasuh, maka itu menunjukkan bahwa penyucian rohani, yang disimbolkan dengan pembasuhan kaki itu, tidak terjadi pada diri Petrus.

 

Ada banyak bagian dalam Kitab Suci yang harus diartikan secara sama.

 

·        Baptisan. Orang yang dibaptis tidak pasti selamat, tetapi orang yang menolak baptisan menunjukkan bahwa dirinya tidak pernah selamat.

 

·        Mengampuni orang lain (Mat 6:12,14-15). Kita memang tidak diampuni karena kita mengampuni orang lain. Tetapi, kalau kita tidak mengampuni orang lain, itu menunjukkan bahwa kita belum diampuni.

 

·        Tindakan kasih bagi Tuhan (Luk 7:41-50). Seseorang tidak diampuni karena melakukan tindakan kasih bagi Tuhan. Tetapi orang yang tidak mau melakukan tindakan kasih bagi Tuhan menunjukkan bahwa ia belum diampuni.

 

·        Perbuatan baik (Mat 25:31-46). Domba-domba dalam Mat 25 ini selamat bukan karena melakukan perbuatan baik, tetapi kambing-kambing itu tidak melakukan perbuatan baik, dan itu menunjukkan mereka tidak beriman kepada Kristus, dan karenanya tidak selamat.

 

5)   Ay 9: “Kata Simon Petrus kepadaNya: ‘Tuhan, jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku!’”.

 

a)   Ada sesuatu yang baik di sini, yaitu bahwa Petrus ingin disucikan seluruhnya.

 

Penerapan:

 

Apakah saudara mempunyai keinginan untuk disucikan / diampuni seluruhnya? Tetapi ingat bahwa penyucian dosa harus disertai usaha pengudusan. Apakah saudara melakukan usaha pengudusan dalam seluruh segi kehidupan saudara?

 

b)   Pulpit Commentary: “Chrysostom says, ‘In his deprecation he was vehement, in his yielding more vehement, but both came from his love’” (= Chrysostom berkata: ‘Dalam ketidak-setujuannya / protesnya ia berapi-api, dalam penyerahannya lebih berapi-api, tetapi keduanya keluar dari kasihnya).

 

Tadi Petrus mengambil sikap extrim kanan, sekarang extrim kiri, tetapi kedua extrim itu muncul dari hati yang betul-betul mengasihi Tuhan dan berkobar-kobar bagi Tuhan, dan karenanya ia bisa / mudah diperbaiki. Yang celaka adalah kalau hati yang mengasihi itu tidak ada (kehilangan kasih yang semula). Sekalipun tindakannya benar, tetapi kalau kasih / semangat tidak ada, itu menjadi sesuatu yang salah, yang lebih sukar untuk diperbaiki.

 

6)   Ay 10-11: “Kata Yesus kepadanya: ‘Barangsiapa telah mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya. Juga kamu sudah bersih, hanya tidak semua’. Sebab Ia tahu, siapa yang akan menyerahkan Dia. Karena itu Ia berkata: ‘Tidak semua kamu bersih’”.

 

a)   ‘Mandi’ dan ‘membasuh kaki’.

 

Ada yang menafsirkan ‘mandi’ di sini sebagai baptisan, yang tidak perlu diulang. Sedangkan ‘membasuh kaki’ ada yang menafsirkan sebagai Perjamuan Kudus, dan ada pula yang menafsirkan sebagai ‘sakramen’ pengakuan / pengampunan dosa (Roma Katolik).

 

F. F. Bruce (hal 282) mengatakan lebih tepat kalau ditafsirkan bahwa ‘mandi’ menunjuk pada pertobatan / penerimaan Kristus sebagai Juruselamat, yang menyebabkan pencucian / pengampunan dosa, sedangkan ‘membasuh kaki’ menunjuk pada pengakuan dosa pada saat jatuh ke dalam dosa. Saya setuju dengan F. F. Bruce.

 

b)   ‘hanya tidak semua’ (ay 10b).

 

Dari ay 11 terlihat dengan jelas bahwa ini menunjuk kepada Yudas Iskariot.

 

Adam Clarke: “no external ablutions can purify a hypocrite or a traitor, therefore Judas still remain unclean” (= tidak ada pencucian lahiriah yang bisa memurnikan seorang munafik atau seorang pengkhianat, dan karena itu Yudas tetap najis / tidak bersih).

 

c)   Yesus tahu Yudas akan mengkhianatiNya (ay 11), tetapi Yesus tetap melayaninya dan bahkan juga membasuh kakinya.

 

William Barclay: “The astounding thing was that the more men hurt him, the more Jesus loved them” (= Hal yang mengherankan adalah bahwa makin manusia menyakitiNya, makin Yesus mengasihi mereka).

 

Penerapan:

 

·        kalau saudara adalah guru sekolah minggu, maukah saudara tetap mengasihi dan melayani murid yang nakal, yang suka mengacau dan tidak pernah memperhatikan di kelas saudara?

 

·        kalau saudara adalah hamba Tuhan, maukah saudara tetap mengasihi dan melayani jemaat yang suka menyerang / mengkritik saudara, bahkan kalau ia melakukannya untuk menghancurkan saudara?

 

·        kalau ada orang (tetangga, keluarga, teman sekerja, dsb) yang menjengkelkan / menyakiti hati saudara, maukah saudara tetap mengasihi dan melayaninya?

Ay 12:

 

1)   ‘pakaianNya’.

 

Kata Yunani yang digunakan sama dengan yang diterjemahkan ‘jubahNya’ dalam ay 4.

 

2)   ‘dan kembali ke tempatnya’.

 

NASB: ‘and reclined at the table again’ (= dan bersandar pada meja lagi).

Ay 13-15:

 

1)   Yesus baru saja melakukan pelayanan seorang hamba, tetapi lalu bisa mengucapkan kata-kata yang menunjukkan otoritas / wibawaNya.

 

William Barclay: “That man is truly great who has this regal humility, which makes him both servant and king among men” (= Orang itu sungguh-sungguh besar / agung yang mempunyai kerendah-hatian seperti raja / yang agung, yang membuatNya menjadi pelayan dan raja di antara manusia).

 

Penerapan:

 

Orang kristen, dan khususnya hamba Tuhan / pendeta, juga harus demikian. Memang kita harus mau melayani dalam suatu pelayanan yang rendah, sabar, suka mengalah, dsb. Tetapi ini tidak berarti bahwa kita harus mau dijadikan keset kaki! Mengapa? Karena kalau demikian tidak ada hormat lagi terhadap diri kita, dan akibatnya pelayanan kitapun tidak akan dihargai! Jadi ada saat untuk merendah, tetapi ada saat untuk menunjukkan otoritas / wibawa!

 

2)   Waktu Yesus mengucapkan ay 14 mungkin murid-murid mengharapkan kata-kata seperti ini: “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib membasuh kakiKu. Tetapi ternyata Yesus tidak berkata demikian. Yesus berkata: “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu.

 

Leon Morris (NICNT) mengutip kata-kata Temple:

“We would gladly wash the feet of our Divine Lord; but He disconcertingly insists on washing ours, and bids us wash our neighbour’s feet” (= Kita dengan gembira mau membasuh kaki Tuhan kita yang ilahi; tetapi Ia secara membingungkan berkeras untuk membasuh kaki kita, dan meminta kita untuk membasuh kaki sesama kita) - hal 621.

 

3)   Penekanan bahwa diriNya adalah Guru dan Tuhan dimaksudkan supaya tidak ada orang kristen yang merasa terlalu tinggi untuk meneladani apa yang Ia baru lakukan.

 

Calvin: “he who is the Master and Lord of all gave an example to be followed by all the godly, that none might grudge to descend to do a service to his brethren and equals, however mean and low that service might be” (= Ia yang adalah Guru dan Tuhan dari semua memberikan contoh untuk diikuti oleh semua orang saleh, supaya tidak seorangpun merasa segan untuk merendahkan diri untuk melayani saudara-saudaranya dan orang-orang yang sederajat dengannya, betapapun hinanya dan rendahnya pelayanan itu).

 

4)   Kristus menyuruh kita meneladani apa yang baru Ia lakukan (ay 14-15).

 

Calvin: “It deserves our attention that Christ says that he gave an example; for we are not at liberty to take all his actions, without reserve, as subjects of imitation” (= Harus kita perhatikan bahwa Kristus berkata bahwa Ia memberi suatu teladan / contoh; karena kita tidak boleh menjadikan semua tindakanNya, tanpa kecuali, untuk ditiru).

 

Charles Hodge, dalam komentarnya tentang 1Kor 11:23 (tentang Perjamuan Kudus), berkata:

“Protestants, however, do not hold that the church in all ages is bound to do whatever Christ and the apostles did, but only what they designed should be afterwards done. It is not apostolic example which is obligatory, but apostolic precept, whether expressed in words or in examples declared or evinced to be preceptive. The example of Christ in celebrating the Lord’s supper is binding as to everything which enters into the nature and significancy of the institution; for those are the very things which we are commended to do” (= Tetapi orang Protestan, tidak mempercayai bahwa gereja dalam sepanjang jaman harus melakukan apapun yang diperbuat oleh Kristus dan rasul-rasul, tetapi hanya apa yang mereka maksudkan untuk harus dilakukan setelah itu. Bukanlah teladan / kehidupan rasul yang merupakan kewajiban, tetapi perintah rasul, baik yang dinyatakan dalam kata-kata atau di dalam contoh / teladan yang dinyatakan atau ditunjukkan secara jelas bahwa itu merupakan perintah. Teladan Kristus dalam merayakan Perjamuan Kudus, mengi­kat / merupakan keharusan berkenaan dengan semua hal yang termasuk dalam inti / sifat dasar dan hal-hal yang mempunyai arti dari sakramen itu, karena itu adalah hal-hal yang harus kita lakukan) - ‘I & II Corinthians’, hal 223.

 

Contoh hal-hal yang dilakukan Kristus / rasul-rasul tetapi tidak perlu ditiru:

 

·        berpuasa 40 hari.

 

·        melakukan Perjamuan Kudus pada malam hari.

 

5)   Apakah ay 14-15 ini harus diartikan secara hurufiah, dalam arti kita orang kristen betul-betul harus saling membasuh kaki?

 

Perlu diketahui bahwa ada orang yang ingin menjadikan pembasuhan kaki sebagai sakramen.

 

Pulpit Commentary: “Bernard of Clairvoux tried to convert the ceremony into a sacrament, but without success” (= Bernard dari Clairvoux berusaha untuk mengubah upacara ini menjadi sakramen, tetapi tanpa hasil) - hal 189.

 

Gereja Roma Katolik mentaati perintah ini secara hurufiah, karena setiap hari Kamis sebelum Paskah, Paus melakukan pembasuhan kaki 12 orang. Tentang hal ini Calvin memberikan komentar sebagai berikut:

“Every year they have a fashion of washing some people’s feet, as if it were a farce which they were playing on the stage; and so, when they have performed this idle and unmeaning ceremony, they think that they have fully discharged their duty, and reckon themselves at liberty to despise their brethren during the rest of the year. But - what is far worse - after having washed the feet of twelve men, they subject every member of Christ to cruel torture, and thus spit on Christ’s face. This display of buffoonery, therefore, is nothing else than a shameful mockery of Christ. At all events, Christ does not here enjoin an annual ceremony, but bids us be ready, throughout our whole life, to wash the feet of our brethren and neighbours” (= Setiap tahun mereka mempunyai semacam pembasuhan kaki beberapa orang, seakan-akan itu merupakan sandiwara yang mereka mainkan di panggung; dan pada waktu mereka telah melakukan upacara yang tak ada harganya dan tak berarti ini, mereka mengira bahwa mereka telah melaksanakan kewajiban mereka dengan sepenuhnya, dan menganggap diri mereka sendiri bebas untuk menghina / merendahkan saudara-saudara mereka sepanjang sisa tahun itu. Tetapi yang lebih jelek adalah bahwa setelah membasuh kaki dari 12 orang, mereka menaklukkan setiap anggota Kristus pada penyiksaan yang kejam, dan dengan demikian meludahi wajah Kristus. Karena itu, pertunjukan lawak ini tidak lain dari ejeken / penghinaan yang memalukan terhadap Kristus. Bagaimanapun juga, di sini Kristus tidak memerintahkan suatu upacara tahunan, tetapi meminta kita siap dalam sepanjang hidup kita untuk membasuh kaki dari saudara-saudara dan tetangga kita).

 

Pulpit Commentary: “The example is in the principle, not in the specific act. The Roman Catholic Church practically misrepresents our Lord’s act by a literal obedience to our Lord’s commands. The pope washes the feet of twelve poor men on the Thursday of Passion week. (a) But why should it be done only once a year? The act is to be constantly imitated by true disciples. (b) Why should it be done only by the pope? It is to be done by all Christians one to another” [= Teladan / contoh ini ada dalam prinsipnya, bukan dalam tindakan spesifik tersebut. Gereja Roma Katolik secara praktis menyalah-artikan tindakan Tuhan kita dengan suatu ketaatan hurufiah terhadap perintah Tuhan kita. Paus membasuh kaki dari 12 orang miskin pada hari Kamis dari Minggu Sengsara. (a) Tetapi mengapa hal itu dilakukan hanya sekali setahun? Tindakan ini harus ditiru terus menerus oleh murid-murid yang sejati. (b) Mengapa hal itu dilakukan hanya oleh Paus? Hal itu harus dilakukan oleh semua orang Kristen satu terhadap yang lain] - hal 199.

 

William Hendriksen: “It should, however, be stressed that what Jesus had in mind was not an outward rite but an inner attitude, that of humility and eagerness to serve” (= Tetapi harus ditekankan bahwa apa yang Yesus pikirkan bukanlah suatu upacara lahiriah tetapi sikap hati / batin, yaitu sikap hati yang rendah hati dan mau melayani).

 

Leon Morris (NICNT): “Though on occasion disciples ought to perform this needful service for one another, the point of Jesus’ saying is rather that they should have a readiness to perform the lowliest service (= Sekalipun kadang-kadang murid-murid harus melakukan pelayanan yang berguna ini satu terhadap yang lain, tujuan kata-kata Yesus adalah bahwa mereka harus mempunyai kesediaan untuk melakukan pelayanan yang paling rendah) - hal 621.

 

Catatan: saya tidak terlalu mengerti apa yang ia maksudkan dengan ‘kadang-kadang murid-murid harus melakukan pelayanan yang berguna ini satu terhadap yang lain’. Mungkin pada saat tertentu dimana hal itu memang dibutuhkan. Misalnya ada orang yang kecelakaan, dan kakinya luka dan kotor terkena tanah dsb, maka kita harus mau membasuh kaki itu untuk membersihkan kotoran itu sebelum kita membalut lukanya.

 

Leon Morris (NICNT): “It is the spirit and not the action which is to be imitated” (= Adalah artinya dan bukan tindakannya yang harus ditiru) - hal 621.

 

Pulpit Commentary: “The service demanded is the self-forgetting ministry of love, which places the interests of self behind and below those of others. Nothing is more theoretically easy and acceptable than this principle, but nothing more difficult of accomplishment” (= Pelayanan yang dituntut adalah pelayanan kasih yang melupakan diri sendiri, yang menempatkan kesenangan diri sendiri di belakang dan di bawah kesenangan orang lain. Tidak ada yang secara teoritis lebih mudah dan dapat diterima dari prinsip ini, tetapi tidak ada yang lebih sukar untuk dikerjakan) - hal 189.

 

Dari semua kutipan ini bisalah disimpulkan beberapa hal tentang peneladanan terhadap pembasuhan kaki ini, yaitu:

 

a)   Kita bukannya harus betul-betul membasuh kaki (kecuali hal itu memang dibutuhkan), tetapi kita harus mau melakukan pelayanan yang rendah.

 

b)   Yang harus melakukan hal ini bukan hanya pendeta / pemimpin gereja, tetapi semua orang kristen.

 

c)   Kita harus mau melakukan pelayanan rendah terhadap semua orang.

 

d)   Kita harus melakukannya senantiasa, bukan hanya kadang-kadang / pada saat tertentu.

 

6)   Apa dasarnya untuk mengatakan bahwa tindakan Yesus ini tidak perlu diteladani secara hurufiah?

 

Barnes’ Notes: “It was not observed by the apostles or the primitive Christians as a religious rite” (= Ini tidak dijalankan oleh rasul-rasul atau orang-orang kristen mula-mula sebagai suatu upacara religius) - hal 329. Ini argumentasi terkuat untuk menentang pelaksanaan hal ini secara hurufiah.

 

Tetapi bagaimana dengan 1Tim 5:10? Apakah ini tidak menunjukkan adanya praktek pembasuhan kaki dalam gereja abad pertama? Untuk menjawab per-tanyaan ini perlu diingat 2 hal:

 

·        1Tim 5:10 ini hanya membicarakan tentang janda, bukan tentang semua orang kristen.

 

·        pembasuhan kaki dalam 1Tim 5:10 itu belum tentu bisa diartikan secara hurufiah. Bisa saja diartikan merupakan lambang dari ‘pelayanan yang rendah hati’.

 

Barnes’ Notes (tentang 1Tim 5:10): “It is not certain whether this is to be understood literally, or whether it merely denotes that she had performed offices of a humble and self-denying kind - such as would be shown by washing the feet of others” (= Tidak pasti apakah ini harus dimengerti secara hurufiah, atau apakah ini hanya menunjukkan bahwa ia telah melakukan suatu jenis pelayanan yang rendah hati dan menyangkal diri sendiri - seperti yang ditunjukkan oleh pembasuhan kaki orang lain) - hal 1153.

 

7)   Hal-hal yang menghalangi kita ‘melakukan pembasuhan kaki’.

 

Ada 2 hal yang menghalangi kita untuk melakukan pelayanan, yaitu egoisme dan kemalasan. Sedangkan kesombongan menghalangi untuk melakukan pelayanan yang rendah.

 

Pulpit Commentary: “Pride, indeed, will counsel thus: ‘Let others serve you; it is beneath your dignity to minister to them.’ Humility will offer very different advice: ‘Bear ye one another burdens, and so fulfil the Law of Christ.’” (= Kesombongan akan memberikan nasihat seperti ini: ‘Biarlah orang lain melayanimu; adalah di bawah martabatmu untuk melayani mereka’. Kerendahan hati akan menawarkan nasihat yang sangat berbeda: ‘Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus’) - hal 205. Bdk. Gal 6:2.

 

William Barclay: “So often, even in churches, trouble arises because someone does not get his place. ... Here is the lesson that there is only one kind of greatness, the greatness of service. The world is so full of people who are standing on their dignity when they ought to be kneeling at the feet of their brethren. ... When we are tempted to think of our dignity, our prestige, our rights, let us see again the picture of the Son of God, girt with a towel, kneeling at his disciples’ feet” (= Begitu sering, bahkan dalam gereja-gereja, problem muncul karena seseorang tidak mendapatkan tempat / kedudukannya. ... Di sini ada pelajaran bahwa hanya ada satu jenis kebesaran, yaitu kebesaran pelayanan. Dunia ini begitu penuh dengan orang yang berdiri pada martabat / gengsi mereka pada saat mereka seharusnya berlutut di kaki saudara-saudara mereka. ... Pada saat kita dicobai untuk memikirkan tentang martabat / gengsi kita, wibawa kita, hak-hak kita, marilah kita melihat lagi gambaran Anak Allah, bersiap-siap / berikat-pinggangkan handuk, berlutut di kaki murid-muridNya).

 

8)   Kalau saudara ‘membasuh kaki’, lakukanlah dengan sikap hati dan cara yang benar.

 

Charles Swindoll: “Let’s understand, however, that the right attitude must accompany the right actions. Be careful with the temperature of the water you use! It’s easy to use boiling water when you ‘wash feet’ ... or ice cold water” (= Tetapi kita harus mengerti bahwa sikap yang benar harus menyertai tindakan yang benar. Hati-hatilah dengan temperatur dari air yang engkau gunakan. Adalah mudah untuk menggunakan air yang mendidih pada waktu engkau ‘membasuh kaki’ ... atau menggunakan air yang sedingin es) - ‘Improving your serve’, hal 171.

Ay 16:

 

1)   Kata ‘tuannya’ secara hurufiah adalah ‘Tuhannya’.

 

2)   Kata-kata ini muncul berkali-kali dalam kontex yang berbeda-beda (bdk. Mat 10:24  Luk 6:40  Yoh 15:20).

 

Di setiap tempat arti kata-kata ini harus disesuaikan dengan kontexnya. Dalam Mat 10:24 dan Yoh 15:20 artinya jelas adalah: kalau Yesus yang adalah tuan, menderita, lebih-lebih kita yang adalah hamba. Dalam Luk 6:40 kontexnya kabur / tidak jelas. Dalam Yoh 13:16 ini maksudnya jelas adalah: kalau Yesus yang adalah Tuhan / yang mengutus mau merendahkan diri untuk membasuh kaki mereka, maka mereka sebagai hamba / yang diutus, yang jelas lebih rendah dari Tuhan / yang mengutus, juga harus mau melakukannya satu terhadap yang lain.

Ay 17:

 

1)   Kalau kita hanya tahu, maka kita belum dikatakan berbahagia. Kalau kita tahu dan melakukan barulah kita dikatakan berbahagia (bdk. Luk 11:27-28).

 

a)   Ketaatan / pelayanan harus didasarkan pada pengetahuan intelektual!

 

b)   Pengetahuan intelektual tanpa ketaatan / pelayanan, bukan hanya tidak berguna, tetapi juga mencelakakan (Luk 12:47-48).

 

2)   Adam Clarke mengutip kata-kata seorang kafir yang bernama Menu:

“They who have read many books are more exalted than such as have seldom studied; they who retain what they have read, than forgetful readers; they who fully understand, than such as only remember; and they who perform their known duty, than such as barely know it. Sacred knowledge and devotedness to God are the means by which a man can arrive at beatitude” (= Mereka yang telah membaca banyak buku lebih agung / mulia dari orang yang jarang belajar; mereka yang mempertahankan / menyimpan apa yang telah mereka baca lebih agung / mulia dari pembaca yang pelupa; mereka yang mengerti sepenuhnya lebih agung / mulia dari mereka yang hanya mengingat; dan mereka yang melakukan kewajiban yang mereka ketahui lebih agung / mulia dari mereka yang hanya mengetahuinya. Pengetahuan yang suci / kudus / keramat dan pembaktian diri kepada Allah adalah jalan dengan mana seseorang bisa mencapai kebahagiaan / berkat) - hal 618.

 

Dan Clarke lalu berkata: untuk kata-kata seorang kafir ini betul-betul kata-kata yang luar biasa.



-AMIN-

 


email us at : gkri_exodus@lycos.com