Eksposisi Injil Lukas

oleh: Pdt. Budi Asali MDiv.


Lukas 6:37-42

 

I) ‘Jangan menghakimi’.

 

1)   Arti yang salah dari kata-kata ‘jangan menghakimi’.

 

Banyak orang menyalahtafsirkan dan karenanya menyalahgunakan bagian ini. Mereka beranggapan bahwa bagian ini melarang kita untuk menyalahkan orang lain, mengecam orang lain, melakukan siasat gerejani terhadap seseorang, dan yang paling extrim bahkan menganggap ini sebagai dasar untuk melarang adanya pengadilan.

 

Apa alasannya untuk mengatakan bahwa ini merupakan penafsiran dan penggunaan yang salah dari bagian ini?

 

a)   Baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, pengadilan bukan hanya diijinkan, tetapi diharuskan.

 

Ro 13:4b - “tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat”.

 

b)   Yesus sendiri mengecam dan mengutuk orang Farisi dan ahli Taurat (Luk 11:42-44  Luk 20:45-47).

 

c)   Yoh 7:24 - Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil”. Dengan kata-kata ini Yesus jelas membolehkan kita untuk menghakimi asal kita melakukannya dengan adil, dengan memperhatikan fakta-fakta secara keseluruhan.

 

d)   D. Martin Lloyd Jones mengatakan bahwa ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh mengecam orang atau membentuk suatu pandangan tentang orang itu. Sebagai dasar ia mengatakan bahwa dalam Injil Matius larangan menghakimi ini (Mat 7:1-5) disusul dengan larangan untuk memberikan barang kudus kepada anjing atau mutiara kepada babi (Mat 7:6). Bagaimana kita bisa mentaati larangan ini kalau kita tidak lebih dulu membentuk suatu pandangan bahwa seseorang itu adalah anjing / babi, yang tidak layak diberi mutiara / barang yang kudus? Juga Mat 7:15 menyuruh berhati-hati terhadap nabi-nabi palsu, dan Mat 7:16 mengatakan bahwa dari buahnya kita mengenal pohonnya. Dan Pulpit Commentary menambahkan adanya ayat-ayat yang menyuruh kita menguji segala sesuatu / pengajar-pengajar, seperti:

 

·        1Tes 5:21 - Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik”.

 

·        1Yoh 4:1-3 - “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia. Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah. Roh itu adalah roh antikristus dan tentang dia telah kamu dengar, bahwa ia akan datang dan sekarang ini ia sudah ada di dalam dunia”.

 

Kalau kita tidak boleh membentuk suatu pandangan tentang seseorang, bagaimana kita bisa mentaati perintah ini?

 

Lloyd Jones juga mempersoalkan tentang adanya perintah untuk melakukan siasat gerejani (Mat 18:15-17  1Kor 5:1-13). Bagaimana kita bisa mentaati perintah ini kalau tidak lebih dulu membentuk suatu pandangan tentang seseorang?

 

William Hendriksen: “Luke 6:37 has been used at times as an excuse for laxity in exercising church discipline, but in the light of its context, and also of Matt. 18:15-18 and John 20:23, such use of this passage is without any justification” (= Lukas 6:37 kadang-kadang digunakan sebagai suatu alasan untuk tidak melakukan disiplin gerejani, tetapi dalam terang dari kontexnya, dan juga dari Mat 18:15-18 dan Yoh 20:23, penggunaan seperti itu dari text ini tidak dapat dibenarkan) - hal 355.

 

Kitab Suci juga memberikan perintah yang keras berkenaan dengan nabi-nabi palsu, seperti:

 

¨      2Yoh 10-11 - Jikalau seorang datang kepadamu dan ia tidak membawa ajaran ini, janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya. Sebab barangsiapa memberi salam kepadanya, ia mendapat bagian dalam perbuatannya yang jahat”.

 

¨      Tit 3:10 - Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasihati, hendaklah engkau jauhi”.

 

Bagaimana bisa melaksanakan hal ini kalau kita tidak lebih dulu membentuk pandangan bahwa seseorang itu memang adalah nabi palsu?

 

Lloyd Jones juga mengatakan bahwa orang yang tidak senang dengan doktrin, biasanya selalu menganggap orang yang menganggap sesat seorang nabi palsu, sebagai menghakimi. Mengapa? Karena ia sendiri tidak senang dengan doktrin, maka ia tidak bisa mengerti mengapa hal seperti itu dipersoalkan. Ia tidak bisa mengerti mengapa seseorang begitu keras berpegang pada doktrin itu, dan menyalahkan doktrin lain, yang menurut pandangannya tidak terlalu berbeda. Contoh tentang Allah Tritunggal, bagaimana Athanasius berpegang pada doktrin yang benar, dan menolak setiap kompromi dari pihak Arianism ataupun Semi-Arianism, yang di mata seorang yang tidak senang doktrin, tidak terlalu berbeda.

 

D. Martin Lloyd Jones: “people who object to doctrine are generally those who are guilty at this particular point. Because they do not have a grasp and understanding of doctrine they can talk only in terms of personalities; so the moment a man stands for principles or doctrine, they begin to say that he is a difficult person” (= orang-orang yang tidak menyenangi doktrin biasanya adalah mereka yang bersalah pada titik ini. Karena mereka tidak mempunyai pengertian tentang doktrin mereka hanya bisa berbicara dalam persoalan tentang kepribadian; sehingga pada saat seseorang mempertahankan suatu prinrip atau doktrin, mereka mulai berkata bahwa orang itu adalah orang yang sukar dipuaskan / disenangkan) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 168.

 

Bertentangan dengan banyak orang jaman sekarang yang menganggap bahwa kita sama sekali dilarang untuk menghakimi, hampir semua penafsir mengatakan bahwa kita harus menghakimi!

 

Pulpit Commentary: “Things must be judged by us; new doctrines, new institutions, new methods of worship and of work, come up for our support or our condemnation, and we must judge them, by reason, by conscience, by Scripture, that we may know what course we are to pursue” (= Banyak hal yang harus kita hakimi; doktrin-doktrin yang baru, lembaga-lembaga / kebiasaan-kebiasaan yang baru, metode-metode yang baru tentang ibadah / penyembahan dan pekerjaan, muncul untuk kita dukung atau kita kecam, dan kita harus menghakimi hal-hal itu, dengan akal, dengan hati nurani, dengan Kitab Suci, sehingga kita tahu jalan mana yang harus kita ikuti) - hal 159.

 

Catatan: saya tak terlalu setuju dengan penghakiman berdasarkan akal dan hati nurani, karena baik akal maupun hati nurani kita sudah dikotori oleh dosa sehingga tidak bisa dijadikan standard. Penghakiman harus dilakukan berdasarkan Kitab Suci.

 

Pulpit Commentary: “Men must be judged by us also. We have to decide whether we will give them our confidence, our friendship; whether we will admit them into the family circle, into the society, into the Church. To decline to judge men is to neglect one of the most serious duties and most weighty obligation of our life” (= Kita juga harus menghakimi manusia. Kita harus memutuskan apakah kita akan memberikan mereka kepercayaan kita, persahabatan kita; apakah kita akan menerima mereka ke dalam lingkungan keluarga, ke dalam masyarakat, ke dalam Gereja. Menolak untuk menghakimi manusia berarti mengabaikan salah satu kewajiban yang paling serius dan penting dari hidup kita) - hal 159.

 

Calvin: “this passage is altogether misapplied by those persons who would desire to make that moderation, which Christ recommends, a pretence for setting aside all distinction between good and evil. We are not only permitted, but are even bound, to condemn all sins; unless we choose to rebel against God himself, - nay, to repeal his laws, to reverse his decisions, and to overturn his judgment-seat. It is his will that we should proclaim the sentence which he pronounces on the actions of men: only we must preserve such modesty towards each other, as to make it manifest that he is the only Lawgiver and Judge, (Isa 33:22)” [= text ini disalahgunakan oleh orang-orang yang ingin membuat penghakiman terbatas / tak berlebihan yang dinasehatkan Kristus sebagai suatu alasan untuk menyingkirkan semua perbedaan antara baik dan jahat. Kita bukan hanya diijinkan, tetapi bahkan diharuskan, untuk mengecam semua dosa; kecuali kita memilih untuk memberontak terhadap Allah sendiri, - tidak, mencabut hukum-hukumNya, membalik keputusan-keputusanNya, dan membalik takhta penghakimanNya. Merupakan kehendakNya bahwa kita menyatakan hukuman yang Ia umumkan terhadap tindakan-tindakan manusia: hanya kita harus menjaga kerendahan hati satu terhadap yang lain, sehingga menjadi nyata bahwa Ia adalah satu-satunya Pemberi hukum dan Hakim (Yes 33:22)] - hal 346-347.

 

2)   Arti yang benar dari kata-kata ‘jangan menghakimi’.

 

Larangan menghakimi ini kelihatannya ditujukan kepada para ahli Taurat dan orang Farisi, dan / atau orang-orang yang segolongan dengan mereka, yang:

 

a)   Menganggap diri sendiri benar.

 

b)   Terlalu gampang dan cepat menyalahkan orang lain (tanpa mengetahui seluruh persoalannya lebih dulu). Bdk. Yoh 7:24 - Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil”.

 

c)   Mengecam tanpa kasih / belas kasihan. Bandingkan dengan Yohanes dan Yakobus yang ingin menurunkan api dari langit ke atas orang-orang Samaria (Luk 9:51-56). Pulpit Commentary (hal 159) mengatakan bahwa penghakiman seperti ini mempunyai kecenderungan untuk menghancurkan dari pada memperbaiki.

 

d)   Membesar-besarkan kesalahan orang lain.

 

e)   Merasa senang pada saat bisa menemukan dan mengecam kesalahan orang lain.

 

D. Martin Lloyd Jones memberi contoh penghakiman yang dimaksud oleh Yesus, yaitu orang Farisi yang berdoa di Bait Suci yang berkata: Ya Allah, aku mengucap syukur kepadaMu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini (Luk 18:11).

 

Di belakang penghakiman yang salah ada ‘self-righteous spirit’ (= roh yang anggap diri sendiri benar). Karena itu Yesus menambahkan Mat 7:3-5 / Luk 6:41-42.

 

D. Martin Lloyd Jones: “What is this spirit that condemns? It is a self-righteous spirit. Self is always at the back of it, and it is always a manifestation of self-righteousness, a feeling of superiority, and a feeling that we are all right while others are not. That then leads to censoriousness, and a spirit that is always ready to express itself in a derogatory manner. And then, accompanying that, there is the tendency to despise others, to regard them with contempt. I am not only describing the Pharisees, I am describing all who have the spirit of the Pharisee” (= Apakah roh yang menghukum ini? Itu adalah roh yang merasa dirinya sendiri benar. Diri sendiri / si aku selalu ada di belakangnya, dan itu selalu merupakan manifestasi dari perasaan bahwa dirinya sendiri benar, suatu perasaan superior / lebih tinggi, dan suatu perasaan bahwa kita benar sementara orang lain tidak. Itu lalu membawa kepada sikap suka mengkritik, dan suatu roh / semangat yang selalu siap untuk menyatakan dirinya sendiri dengan cara yang merendahkan orang lain. Dan lalu, bersama-sama dengan itu, di sana ada kecenderungan untuk menghina orang lain, memandang orang lain dengan jijik. Saya bukan hanya menggambarkan orang Farisi, saya menggambarkan semua yang mempunyai roh orang Farisi) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 167.

 

Ia lalu menambahkan:

“a very vital part of this spirit is the tendency to be hypercritical. Now there is all the difference in the world between being critical and being hypercritical. ... The man who is guilty of judging, in the sense in which our Lord uses the term here, is the man who is hypercritical, which means that he delights in criticism for its own sake and enjoys it. I am afraid I must go further and say that he is a man who approaches anything which he is asked to criticize expecting to find faults, indeed, almost hoping to find them. ... Love ‘hopeth all things’, but this spirit hopes for the worst; it gets a malicious, malign satisfaction in finding faults and blemishes” (= suatu bagian vital dari roh ini adalah kecenderungan untuk menjadi terlalu kritis. Ada perbedaan yang sangat besar antara kritis dan terlalu kritis. ... Orang yang dipersalahkan tentang penghakiman, dalam arti yang digunakan oleh Tuhan kita di sini, adalah orang yang terlalu kritis, yang berarti bahwa ia menyenangi kritik demi kritik itu sendiri dan menikmatinya. Saya harus meneruskan dan berkata bahwa ia adalah orang yang mendekati segala sesuatu, untuk mana ia diminta untuk mengkritik, sambil mengharapkan bahwa ia akan menemukan kesalahan-kesalahan. ... Kasih ‘mengharapkan segala sesuatu’, tetapi roh ini mengharapkan yang terburuk; ia mendapatkan kepuasan yang jahat dan membahayakan dalam menemukan kesalahan-kesalahan dan cacat-cacat) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 167.

 

D. Martin Lloyd Jones: “If ever we know the feeling of being rather pleased when we hear something unpleasant about another, that is this wrong spirit. If we are jealous, or envious, and then suddenly hear that the one of whom we are jealous or envious has made a mistake and find that there is an immediate sense of pleasure within us, that is it” (= Jika kita pernah mengetahui perasaan senang pada waktu kita mendengar sesuatu yang tidak menyenangkan tentang orang lain, maka inilah roh yang salah itu. Jika kita cemburu atau iri hati, dan lalu tiba-tiba kita mendengar bahwa orang terhadap siapa kita cemburu atau iri hati itu telah membuat kesalahan dan kita mendapatkan bahwa di dalam diri kita langsung ada perasaan gembira, maka itulah roh itu) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 168.

 

3)   Alasan untuk tidak menghakimi.

 

Catatan: tentu saja yang saya maksud dengan ‘tidak menghakimi’ di sini adalah ‘tidak menghakimi secara salah’.

 

a)   Kita sendiri mempunyai banyak kesalahan, bahkan mungkin kesalahan yang lebih besar (ay 41-42).

 

Bandingkan dengan Ro 2:1-3 - Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama. Tetapi kita tahu, bahwa hukuman Allah berlangsung secara jujur atas mereka yang berbuat demikian. Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah?”.

 

b)   ‘Tidak menghakimi’ merupakan ciri seorang murid / kristen yang sejati.

 

Leon Morris (Tyndale) membahas kata-kata ‘ampunilah dan kamu akan diampuni’ dan ia lalu berkata:

“It is the man with the forgiving attitude who is forgiven. This is not salvation by merit: rather the thought is that the true disciple is not judgmental. When God accepts a man God’s grace changes him. A forgiving spirit is evidence that the man has been forgiven” (= Orang yang mempunyai sikap mengampunilah yang diampuni. Ini bukan keselamatan karena kebaikan: tetapi pemikirannya adalah bahwa murid yang sejati tidak bersifat menghakimi. Pada waktu Allah menerima seseorang, kasih karunia Allah mengubahnya. Roh yang mengampuni merupakan bukti bahwa orang itu telah diampuni) - hal 132.

 

c)   Orang yang menghakimi / menghukum akan dihakimi / dihukum. Balasan ini datang dari manusia dan dari Allah.

 

Ada orang yang keberatan terhadap kata ‘dihakimi / dihukum’, karena mereka berpendapat bahwa orang kristen tidak bisa dihakimi / dihukum. Untuk menjawab ini maka Lloyd Jones mengatakan bahwa ada 3 macam penghakiman dari Allah kepada kita:

 

1.   Penghakiman akhir jaman yang menentukan kita masuk surga atau neraka.

 

Orang kristen yang sejati pasti lulus dalam penghakiman ini. Penebusan Kristus membuat mereka pasti diampuni dan masuk surga.

 

Tetapi masih ada 2 penghakiman lain, yang mempengaruhi orang kristen!

 

2.   Penghakiman / penghukuman dalam arti menghajar. Bandingkan dengan:

 

·        1Kor 11:27-32 - Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya. Sebab itu banyak di antara kamu yang lemah dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal. Kalau kita menguji diri kita sendiri, hukuman tidak menimpa kita. Tetapi kalau kita menerima hukuman dari Tuhan, kita dididik, supaya kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia.

 

Kata ‘kita dididik’ oleh NASB diterjemahkan ‘we are disciplined’ (= kita didisiplin).

 

·        Ibr 12:5-11 - “Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: ‘Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkanNya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya, dan Ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak.’ Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang. Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusanNya. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya”.

 

3.   Penghakiman untuk menentukan pahala.

 

Ro 14:10,12 - Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. ... Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah”.

 

2Kor 5:10 - “Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat”.

 

D. Martin Lloyd Jones lalu menyimpulkan:

“Though we are Christians, and are justified by faith, and have an assurance of our salvation, and know we are going to heaven, we are yet subject to this judgment here in this life, and also after this life” (= Sekalipun kita adalah orang-orang Kristen, dan dibenarkan oleh iman, dan mempunyai keyakinan keselamatan, dan tahu bahwa kita akan pergi ke surga, tetapi kita menjadi sasaran penghakiman ini di sini dalam kehidupan ini, dan juga setelah kehidupan ini) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 176.

 

d)   Penghakiman yang kita lakukan akan menjadi standard penghakiman terhadap diri kita sendiri (ay 38b: Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu’).

 

D. Martin Lloyd Jones: “The second reason for not judging is that, by so doing, we are not only produce judgment for ourselves, we even set the standard of our own judgment” (= Alasan kedua untuk tidak menghakimi adalah bahwa dengan melakukan itu kita bukan hanya menghasilkan penghakiman terhadap diri kita sendiri, tetapi kita bahkan menetapkan standard penghakiman kita sendiri) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 176.

 

Calvin mengatakan bahwa ini berarti bahwa orang yang murah hati akan diperlakukan dengan murah hati. Tetapi Calvin juga mengingatkan bahwa juga sering terjadi bahwa orang kristen yang murah hati justru diperlakukan dengan jelek, difitnah dan sebagainya. Kalau ini terjadi maka harus dingat 2 hal:

 

·        tidak ada orang kristen yang bisa melakukan semua ini dengan sempurna. Semua orang pernah melakukan penghakiman yang salah, sehingga kalau mereka mengalami penghakiman yang salah, mereka tetap layak mendapatkannya.

 

·        suatu saat Tuhan akan memunculkan kebenaran mereka.

 

4)   Mengoreksi diri sendiri sebelum menghakimi (ay 41-42).

 

William Barclay: “He taught that we have no right to critisize unless we ourselves are free from faults. That simply means that we have no right to critisize at all” (= Ia mengajar bahwa kita tidak berhak untuk mengkritik kecuali kita sendiri bebas dari kesalahan. Itu berarti bahwa kita tidak boleh mengkritik sama sekali) - hal 81. Ini ngawur dan bertentangan dengan 2Tim 4:2 dan banyak ayat Kitab Suci lain.

 

William Hendriksen: “It is clear from the last clause, in which mention is made of removing the speck from the brother’s eye, that it was not Christ’s purpose to discourage mutual discipline. On the contrary, both self-discipline and mutual discipline are encouraged in this saying” (= Dari anak kalimat yang terakhir dimana disebutkan tentang mengeluarkan selumbar dari mata saudara, adalah jelas bahwa bukan tujuan Kristus untuk tidak saling melakukan pendisiplinan. Sebaliknya, baik ‘pendisiplinan diri sendiri’ maupun ‘saling melakukan pendisiplinan’ dianjurkan dalam kata-kata ini) - hal 362.

 

William Hendriksen: “‘First take the beam out of your own eye.’ The basic requirement for the exercise of mutual discipline is self-discipline” (= ‘Pertama-tama keluarkan balok dari matamu sendiri’. Syarat utama untuk saling melakukan pendisiplinan adalah pendisiplinan diri sendiri) - hal 364.

 

Penerapan:

 

Saudara mengkritik orang yang melayani Tuhan. Ini salah, itu salah dan sebagainya. Sementara itu saudara sendiri tidak punya pelayanan. Atau saudara mengkritik orang yang berkhotbah. Kurang ini kurang itu dan sebagainya. Sementara itu, jangankan berkhotbah, mengajar Sekolah Minggu atau menjadi pemimpin liturgis saja saudara tidak mau.

 

II) Problem ay 39-40.

 

Saya berpendapat bahwa tidak ada penjelasan yang memuaskan mengapa ay 39-40 bisa diselipkan di antara ay 37-38 dan ay 41-42, yang kelihatannya akan lebih bagus kalau disatukan seperti dalam Injil Matius (Mat 7:1-5).

 

1)   Ay 39: “Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan kepada mereka: ‘Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang?”.

 

Ada yang mengatakan bahwa ini merupakan subyek yang baru, tetapi Hendriksen mengatakan bahwa mungkin sampai pada titik ini para pendengar khotbah di bukit ini melihat perbedaan yang menyolok antara ajaran Yesus dengan ajaran ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi, dsb. Karena itu Yesus menjelaskan mengapa ada kontras / perbedaan seperti itu. Itu disebabkan karena para pengajar tersebut adalah orang buta, dan kalau mereka mengikuti orang buta, maka mereka akan jatuh ke lubang bersama dengan orang buta yang mereka ikuti.

 

2)   Ay 40: “Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya”.

 

Macam-macam penafsiran tentang ay 40 ini:

 

a)   Diartikan seperti Mat 10:24-25 - Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya. Cukuplah bagi seorang murid jika ia menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba jika ia menjadi sama seperti tuannya. Jika tuan rumah disebut Beelzebul, apalagi seisi rumahnya”.

 

Rasanya kontex tidak mendukung penafsiran ini.

 

b)   Hendriksen berpendapat bahwa setelah mengatakan bahwa para pengajar itu buta, maka melalui ay 40 ini Yesus mengajar orang banyak itu untuk mau mendengar ajaran para muridNya. Memang para murid itu bukan orang terpelajar, dan sekarang mereka baru mulai belajar dari Yesus, tetapi nanti setelah mereka tamat pelajarannya, mereka menjadi pengajar seperti Yesus.

 

Kata ‘sama dengan’ dalam Kitab Suci Indonesia kurang tepat terjemahannya. TB2-LAI tidak memperbaiki terjemahan ini. NIV/NASB: ‘like’ (= seperti). Ini penting kalau kita mau mengambil pandangan kedua ini, karena bagaimanapun para murid tidak akan pernah bisa menjadi sama dengan Yesus.

 

c)   Kalau kamu (para pendengar) terus belajar dari orang buta itu (ay 39), maka akhirnya kamu akan menjadi seperti mereka (Pulpit, hal 148).

 

Apakah kita menerima penafsiran b) atau c) penekanannya tetap sama, yaitu:

 

·        orang harus hati-hati dalam memilih guru.

 

·        seorang hanya bisa menjadi guru yang baik kalau ia sendiri belajar.

 

Perhatikan beberapa komentar tentang bagian ini:

 

Leon Morris (Tyndale): “We must not understand this in terms of our own situation, where libraries and other facilities put endless possibilities before the student. Jesus is speaking of a time when the disciple had only his rabbi as his source of information. ... Since it is unreasonable to expect a disciple to know more than his teacher, it is important that the teacher be well advanced himself in the Christian way” (= Kita tidak boleh mengartikan ini dalam sikon kita sendiri, dimana perpustakaan dan fasilitas-fasilitas yang lain memberikan kemungkinan-kemungkinan yang tak ada akhirnya di hadapan seorang murid. Yesus sedang berbicara pada masa dimana seorang murid hanya mempunyai gurunya sebagai sumber informasinya. ... Karena merupakan sesuatu yang tidak masuk akal untuk mengharapkan seorang murid untuk tahu lebih banyak dari gurunya, adalah penting bahwa sang guru memajukan dirinya sendiri dalam jalan Kristen) - hal 133.

 

Pulpit Commentary: “Let every teacher be impressed with the serious truth of this limitation. He cannot give what he has not gained. He has to say, ‘Follow me so far as I am following Christ,’ - not a step further. If he ceases to acquire, if his path of progress in the knowledge or likeness of God is arrested, there is stopped at the same hour his power of leading his disciples on and up those sacred and glorious heights. Therefore let him be always acquiring, always attaining” (= Hendaklah setiap guru / pengajar terkesan dengan kebenaran yang serius dari pembatasan ini. Ia tidak bisa memberikan apa yang belum ia dapatkan. Ia harus berkata: ‘Ikutilah aku sejauh aku mengikuti Kristus’, - tidak lebih jauh selangkahpun. Jika ia berhenti mendapatkan, jika jalan kemajuannya dalam pengenalan atau kemiripan dengan Allah tertahan, maka kekuatannya untuk membimbing murid-muridnya untuk maju dan mendaki ketinggian yang kudus dan mulia itu juga akan terhenti pada saat yang sama. Karena itu hendaklah ia selalu mendapatkan / belajar, selalu mencapai) - hal 161.

 

Penerapan:

 

Ini harus dicamkan oleh setiap pengajar Firman Tuhan, apakah ia pendeta, penginjil, dosen theologia, pengkhotbah awam, guru Sekolah Minggu, guru agama, dan sebagainya.

 

William Barclay: “Jesus warned that no teacher can lead his scholars beyond the stage which he himself has reached. That is a double warning to us. In our learning we must seek only the best teacher for only he can lead us farthest on; in our teaching we must remember that we cannot teach what we do not know” (= Yesus memperingati bahwa tidak ada guru / pengajar yang bisa membimbing murid-muridnya melampaui tingkat yang telah ia capai. Ini merupakan peringatan ganda bagi kita. Dalam belajar kita harus mencari hanya guru yang terbaik karena hanya ia yang bisa membimbing kita paling jauh; dalam mengajar kita harus ingat bahwa kita tidak bisa mengajar apa yang kita tidak tahu) - hal 81.

 

Ay 39-40 ini menyebabkan saudara harus banyak berdoa untuk pendeta saudara, supaya ia selalu ada dalam jalan yang benar dan selalu maju dalam kerohanian. Kalau tidak, itu juga akan merugikan diri saudara sendiri / seluruh gereja.

 

Kiranya Tuhan memberkati saudara.



-AMIN-

 


email us at : gkri_exodus@lycos.com