Pelayanan Elia

oleh: Pdt. Budi Asali MDiv.


 
II RAJA-RAJA 1:7-18
 

I. Ahazia mengenali orang itu sebagai Elia.

Dari penggambaran para utusannya tentang orang itu, Ahazia tahu bahwa itu adalah Elia (ay 7-8).

Ay 8: ‘pakaian bulu’.

KJV: ‘He was a hairy man’ (= Ia adalah seorang yang berbulu).

Ada 2 hal yang perlu dijelaskan:

Keil & Delitzsch: "This does not mean a man with a luxuriant growth of hair, but refers to the hairy dress, i.e. the garment made of sheep-skin or goat-skin or coarse camel-hair, ... the rough garment denoting the severity of the divine judgments upon the effeminate nation, which revelled in luxuriance and worldly lust. And this was also in keeping with ‘the leather girdle,’ ... whereas the ordinary girdle was of cotton or linen, and often very costly" (= Ini tidak berarti seseorang dengan banyak bulu, tetapi menunjuk pada pakaian berbulu, yaitu pakaian yang dibuat dari kulit domba atau kulit kambing atau bulu unta yang kasar, ... pakaian yang kasar menunjukkan kerasnya penghakiman ilahi terhadap bangsa yang seperti perempuan, yang gemar akan kemewahan dan nafsu duniawi. Dan ini juga sesuai dengan ‘ikat pinggang kulit’, ... sedangkan ikat pinggang biasa adalah dari katun atau lenan, dan seringkali sangat mahal) - hal 286.

Catatan: saya sangat meragukan penafsiran dari bagian yang saya garis-bawahi. Tetapi penekanan saya dalam kutipan ini hanyalah bahwa Elia bukanlah manusia berbulu, dan pakaian bulu maupun ikat pinggang kulit yang ia pakai bukanlah pakaian yang mewah.

Fred H. Wight: "There were and are today two kinds of girdles. One, a common variety, is of leather, usually six inches broad and furnished with clasps. This was the kind of girdle worn by Elijah (2Kings 1:8), and by John the Baptist (Matt. 3:4). The other, a more valuable variety, is of linen (See Jer. 13:1), or sometimes of silk or embroidered material" [= Dulu dan sekarang ada dua macam ikat pinggang. Pertama, jenis yang umum, adalah dari kulit, biasanya lebarnya 6 inci dan dilengkapi dengan jepitan / gesper. Ini adalah jenis ikat pinggang yang dipakai oleh Elia (2Raja 1:8), dan oleh Yohanes Pembaptis (Mat 3:4). Yang lain adalah jenis yang lebih berharga / mahal, terbuat dari lenan (lihat Yer 13:1), atau kadang-kadang dari sutera atau bahan sulaman] - ‘Manners and Customs of Bible Lands’, hal 93.

Hal lain yang mendukung pandangan bahwa pakaian Elia ini bukanlah pakaian mewah, adalah bahwa Yohanes Pembaptis berpakaian seperti dia (Mat 3:4), dan pakaian Yohanes Pembaptis jelas bukanlah pakaian indah atau mewah. Ini terlihat dari kata-kata Yesus kepada orang banyak tentang Yohanes Pembaptis: "Untuk apakah kamu pergi ke padang gurun? Melihat buluh yang digoyangkan angin kian kemari? Atau untuk apakah kamu pergi? Melihat orang yang berpakaian halus? Orang yang berpakaian indah dan yang hidup mewah, tempatnya di istana raja. Jadi untuk apakah kamu pergi? Melihat nabi? Benar, ..." (Luk 7:24b-26a).
 

II. Ahazia mengirim pasukan kepada Elia (ay 9-15). a. Ditinjau dari sudut Ahazia, ini lagi-lagi menunjukkan betapa bejatnya Ahazia. Pada waktu Elia memberitakan hukuman mati bagi Ahab, Ahab bertobat (1Raja 21:17-29). Tetapi pada waktu Elia memberitakan hukuman mati bagi Ahazia, Ahazia malah mengirim pasukan untuk menangkap / membunuh Elia.

Pulpit Commentary: "He has defied God when in health; now he defies him from a bed of sickness" (= Ia telah menentang Allah pada waktu ia sehat; sekarang ia menentangNya dari ranjang kesakitan) - hal 9.

Pulpit Commentary: "Even on his death-bed he shows no such compunction as occasionally visited his father Ahab (1Kings 21:27)" [= Bahkan di atas ranjang kematiannya ia tidak menunjukkan penyesalan seperti yang kadang-kadang mengunjungi ayahnya, Ahab (1Raja 21:27)] - hal 13.

b. Ditinjau dari sudut Elia, bahaya mengancamnya karena ia memberitakan kebenaran dari Tuhan.

Pulpit Commentary: "It was not the first time Elijah’s life had been threatened by royal sinners. When a man is fearless in rebuking sin, he must expect the hatred of impenitent sinners. Smooth words may win a fleeting popularity, but the friendship of this world is enmity against God" (= Ini bukan pertama kalinya nyawa Elia diancam oleh raja yang berdosa. Pada waktu seseorang tidak mempunyai rasa takut dalam menegur dosa, ia harus mengharapkan kebencian dari orang berdosa yang tidak bertobat. Kata-kata yang sopan / ramah mungkin bisa memenangkan kepopuleran yang singkat / cepat berlalu, tetapi persahabatan dengan dunia ini adalah permusuhan terhadap Allah) - hal 9.

Bandingkan dengan kata-kata Paulus dalam Gal 4:16 - "Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu aku telah menjadi musuhmu?".

Contoh: beberapa minggu yang lalu dalam khotbah saya menyinggung kesesatan Pdt. Yohanes Bambang dari GKI dalam bukunya ‘Tuhan ajarlah aku’. Ternyata dalam kebaktian saat itu ada seorang dari GKI yang baru pertama kali datang di sini, dan ia lalu menanyakan kepada seorang jemaat: ‘Apa salahnya Yohanes Bambang?’. Jemaat itu, yang mengetahui bahwa si penanya adalah orang GKI, lalu menjawab: ‘O, bukunya Yohanes Bambang itu salah sedikit’. Saya lalu menegur jemaat itu dan mengatakan bahwa kalau buku itu salahnya banyak, tetapi demi kesopanan / supaya orang itu tidak tersinggung, kita lalu mengatakan bahwa buku itu salahnya sedikit, maka kita tidak mengatakan kebenaran, dan kita menyesatkan orang itu. Memang kalau kita menyatakan kebenaran, ada kemungkinan orangnya marah, tetapi itulah resikonya mengatakan kebenaran!
 

2. Menghadapi perwira pertama dan kedua dengan 100 anak buahnya, Elia minta api turun dari langit membakar kedua perwira dan 100 anak buahnya itu (ay 9-12).
  a. Josephus dan para penafsir pada umumnya menganggap bahwa ‘api dari langit’ (ay 10,12a) atau ‘api Allah’ (ay 12b) ini adalah sambaran petir. Ini hanya dugaan, dan kalaupun ini benar, ini tetap merupakan suatu mujijat, karena bagaimana seseorang bisa mendatangkan petir hanya dengan kata-katanya, lebih-lebih mengarahkan petir itu sehingga menyambar perwira dan ke 50 anak buahnya?

b. Kecaman terhadap Elia atas tindakannya di sini.

Luk 9:54 (KJV): ‘And when his disciples James and John saw this, they said, Lord, wilt thou that we command fire to come down from heaven, and consume them, even as Elias did?’ (= Dan pada waktu murid-muridNya, Yakobus dan Yohanes, melihat hal ini, mereka berkata: Tuhan, apakah Engkau mau bahwa kami memerintahkan api turun dari langit, dan membakar mereka, seperti yang dilakukan Elia?).

Catatan: Kata-kata yang saya garis-bawahi itu hanya ada dalam manuscript-manuscript tertentu, dan pada umumnya dianggap sebagai suatu penambahan, karena kalimat itu tidak ada dalam manuscript-manuscript yang kuno yang yang lebih dipercaya. Tetapi sekalipun kata-kata itu sebetulnya tidak ada, hampir bisa dipastikan bahwa Yohanes dan Yakobus ingin menurunkan api dari langit, karena mereka teringat akan peristiwa Elia ini, dan ingin menirunya. Perlu juga diperhatikan bahwa mereka baru melihat pemuliaan terhadap Yesus di atas gunung, dimana Musa dan Elia muncul dan bercakap-cakap dengan Yesus (Luk 9:28-36). Peristiwa ini membuat mereka ingat akan Elia dan hal-hal yang pernah dilakukannya, termasuk penurunan api dari langit dalam 2Raja 1 ini.

  Terhadap pertanyaan Yakobus dan Yohanes dalam Luk 9:54 itu, maka sikap Yesus dinyatakan dalam Luk 9:55 yang mengatakan: "Akan tetapi Ia berpaling dan menegor mereka". Ketidak-setujuan Yesus terhadap keinginan para murid untuk menurunkan api ini dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa Yesus mengecam Elia.
Pulpit Commentary mencatat kata-kata Archbishop Trench yang mengomentari Luk 9:54 itu dengan kata-kata sebagai berikut:

"‘It was,’ remarks Archbishop Trench, ‘as if he had said, Ye are mistaking and confounding the different standing-points of the old and new covenants, taking your stand upon the old - that of an avenging righteousness, when you should rejoice to take it upon the new - that of a forgiving love’" (= ‘Itu adalah’, kata Uskup Trench, ‘seakan-akan Ia (Yesus) telah mengatakan: Engkau (para murid) salah dan mencampur-adukkan kedudukan yang berbeda dari Perjanjian Lama dan Baru, mengambil pandangan dari Perjanjian Lama - yaitu tentang kebenaran yang membalas dendam, pada waktu engkau seharusnya dengan sukacita mengambil pandangan dari Perjanjian Baru - yaitu tentang kasih yang mengampuni) - hal 7.

  Keil & Delitzsch: "This sin is punished, and that not by the prophet, but by the Lord Himself, who fulfilled the word of His servant. What Elijah here did was an act of holy zeal for the honour of the Lord, in the spirit of the old covenant, under which God destroyed the insolent despisers of His name with fire and sword, to manifest the energy of His holy majesty by the side of the dead idols of the heathen. But this act cannot be transferred to the times of the new covenant, as is clearly shown in Luke 9:54-55, where Christ does not blame Elijah for what he did, but admonishes His disciples, who overlooked the difference between the economy of the law and that of the gospel, and in their carnal zeal wanted to imitate what Elijah had done in divine zeal for the honour of the Lord, which had been injured in his own person" (= Dosa ini dihukum, dan itu bukan oleh sang nabi tetapi oleh Tuhan sendiri, yang menggenapi firman / perkataan pelayanNya. Apa yang dilakukan Elia di sini adalah suatu tindakan yang muncul dari semangat yang kudus untuk kehormatan Tuhan, dalam roh / semangat dari Perjanjian Lama, di bawah mana Allah menghancurkan orang kurang ajar yang menghina namaNya dengan api dan pedang, untuk menyatakan kekuatan dari keagunganNya yang kudus di sisi berhala-berhala yang mati dari orang kafir. Tetapi tindakan ini tidak bisa ditransfer ke jaman Perjanjian Baru, seperti yang ditunjukkan secara jelas dalam Luk 9:54-55, dimana Kristus bukannya menyalahkan Elia atas apa yang telah ia lakukan, tetapi memperingatkan murid-muridNya, yang mengabaikan perbedaan antara pengaturan dari Hukum Taurat dan pengaturan dari Injil, dan dalam semangat mereka yang bersifat daging ingin meniru apa yang telah dilakukan Elia dalam semangat ilahi untuk kehormatan Tuhan, yang telah dilukai / diserang di dalam dirinya) - hal 287.   Barnes’ Notes: "Elijah was not Jesus Christ, able to reconcile mercy with truth, ... In Elijah the spirit of the Law was embodied in its full severity. His zeal was fierce; he was not shocked by blood; he had no softness and no relenting. He did not permanently profit by the warning at Horeb (1K. 19:12 note). He continued the uncompromising avenger of sin, the wielder of the terrors of the Lord, such exactly as he had shown himself at Carmel. He is consequently, no pattern for Christian men (Luke 9:55); ... But what he did, when he did it, was not sinful. It was but executing strict, stern justice. Elijah asked that fire should fall - God made it fall; and, by so doing, both vindicated His own honour, and justified the prayer of His prophet" [= Elia bukanlah Yesus Kristus, yang bisa mendamaikan belas kasihan dengan kebenaran, ... Dalam diri Elia roh / semangat dari hukum Taurat diwujudkan dengan kekerasan sepenuhnya. Semangatnya ganas; ia tidak terguncang oleh darah; ia tidak mempunyai kelembutan dan kelunakan. Ia tidak secara permanen mendapatkan pelajaran oleh peringatan di Horeb (catatan 1Raja 19:12). Ia melanjutkan pembalasan yang tak kenal kompromi terhadap dosa, ia menggunakan rasa takut / kengerian dari Tuhan, persis seperti yang telah ia tunjukkan sendiri di Karmel. Maka dari itu, ia bukanlah teladan untuk orang Kristen (Luk 9:55); ... Tetapi apa yang ia lakukan, pada saat ia melakukannya, bukanlah dosa. Itu hanya merupakan pelaksanaan yang ketat dan keras dari keadilan. Elia meminta supaya api turun - Allah membuat api tu-run; dan dengan melakukan hal itu, Ia mempertahankan kehormatan-Nya sendiri, dan membenarkan doa dari nabiNya] - hal 227.   Catatan:
c. Saya tidak setuju bahwa Elia harus dikecam / disalahkan dengan alasan apapun juga. Mengapa? 1. Hukuman terhadap 2 perwira dan anak buahnya ini tidak terlalu keras, karena mereka memang adalah orang brengsek. Penerapan: ini jelas menunjukkan bahwa kalau saudara mau berbuat dosa karena diperintah atasan, saudara tetap berdosa (bdk. Kis 5:29 - "Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia"). 2. Tentang hubungan dengan Luk 9:54-55, perlu diperhatikan bahwa murid-murid dalam Luk 9:51-56 itu ingin menurunkan api sebagai perwujudan kebencian / balas dendam, juga mungkin dilandasi rasa sentimen terhadap orang Samaria, yang memang sangat bermusuhan dengan orang Yahudi (bdk. Yoh 4:9b). Motivasi para murid itu berbeda dengan motivasi Elia dalam 2Raja 1:9-12, yang betul-betul ingin menjaga atau mempertahankan kehormatan Tuhan. Jadi Yesus menegur mereka bukan karena Yesus menyalahkan tindakan Elia, tetapi karena motivasi para murid berbeda dengan motivasi Elia.   Matthew Poole: "Christ doth not condemn this fact of Elias, but only reproves his disciples for their perverse imitation of it from another spirit and principle, and in a more unseasonable time, Luke 9:54,55" (= Kristus tidak menyalahkan fakta Elia ini, tetapi hanya mencela murid-muridNya untuk peniruan mereka yang jahat terhadap hal itu dengan roh dan prinsip / dasar yang berbeda, dan pada waktu yang lebih tidak pada tempatnya, Luke 9:54,55) - hal 716.   Catatan: saya tidak terlalu jelas dengan apa yang ia maksudkan dengan bagian yang saya garis-bawahi.

Adam Clarke: "Some have blamed the prophet for destroying these men, by bringing down fire from heaven upon them. But they do not consider that it was no more possible for Elijah to bring down fire from heaven, than for them to do it. God alone could send the fire; and as he is just and good, he would not have destroyed these men had there not been a sufficient cause to justify the act. ... No entreaty of Elijah could have induced God to have performed an act that was wrong in itself. ... God led him simply to announce on these occasions what he himself had determined to do" (= Sebagian orang menyalahkan sang nabi karena menghancurkan orang-orang ini dengan menurunkan api dari langit kepada mereka. Tetapi mereka tidak mempertimbangkan bahwa sama tidak mungkinnya bagi Elia maupun bagi mereka untuk melakukan hal itu. Hanya Allah yang bisa mengirimkan api itu; dan karena Ia itu adil / benar dan baik, maka Ia tidak akan menghancurkan orang-orang ini seandainya di sana tidak ada alasan yang cukup untuk membenarkan tindakan itu. ... Tidak ada permohonan dari Elia yang bisa menyebabkan / membujuk Allah untuk melakukan suatu tindakan yang salah. ... Allah hanya memimpinnya untuk mengumumkan pada peristiwa-peristiwa ini apa yang Ia sendiri telah tentukan untuk dilakukan) - hal 482.

  Adam Clarke juga membela Elia dengan mengatakan bahwa terjemahan hurufiah dari ay 10,12 tidak mempunyai kata ‘biarlah’ (KJV/RSV/NASB: ‘let’; NIV: ‘may’). Jadi seharusnya adalah: "Kalau benar aku abdi Allah, api akan turun dari langit memakan engkau habis dengan ke 50 anak buahmu".

Adam Clarke: "This is the literal meaning of the original; and by it we see that Elijah’s words were only declarative, and not imprecatory" (= Ini adalah arti hurufiah dari kata bahasa aslinya; dan dari hal ini kita melihat bahwa kata-kata Elia hanya merupakan pernyataan, dan bukan suatu doa untuk mendatangkan kutukan / bencana) - hal 482.

Tetapi salah satu penafsir dari Pulpit Commentary menentang pandangan Adam Clarke ini. Ia berpendapat bahwa Elia memang meminta api turun dari langit, dan bahwa Tuhan mengabulkan permintaan itu menunjukkan bahwa Elia tidak bersalah.

Pulpit Commentary: "The LXX render, KATABESETAI PUR - ‘fire will come down;’ and so some moderns, who are anxious to clear the prophet of the charge of cruelty and bloodthirstiness which have been brought against sin. But there is no need of altering the translation. Elijah undoubtedly ‘commanded fire to come down from heaven’ (Luke 9:54), or, in other words, prayed to God that it might come down, and in answer to his prayer the fire fell. ... He had no power of himself to do either good or harm. He could but pray to Jehovah, and Jehovah, in his wisdom and perfect goodness, would either grant or refuse his prayer. If he granted it, the punishment inflicted would not be Elijah’s work, but his. To tax Elijah with cruelty is to involve God in the charge. God regarded it as a fitting time for making a signal example, and, so regarding it, he inspired a spirit of indignation in the breast of his prophet, who thereupon made the prayer which he saw fit to answer" (= LXX / Septuaginta menterjemahkan KATABESETAI PUR - ‘api akan turun’; dan dengan demikian beberapa orang modern, yang sangat ingin untuk membersihkan sang nabi dari tuduhan kekejaman dan kehausan akan darah yang telah dibawanya terhadap dosa. Tetapi tidak diperlukan suatu perubahan terjemahan. Tidak diragukan bahwa Elia ‘memerintahkan api turun dari langit’ (Luk 9:54), atau dengan kata lain, berdoa kepada Allah supaya api turun, dan sebagai jawaban terhadap doanya api turun. ... Ia tidak mempunyai kuasa dari dirinya sendiri untuk melakukan yang baik ataupun yang buruk. Ia hanya bisa berdoa kepada Yehovah, dan Yehovah, dalam hikmat dan kebaikanNya yang sempurna, akan mengabulkan atau menolak doanya. Jika Ia mengabulkannya, hukuman yang diberikan bukanlah pekerjaan Elia, tetapi pekerjaanNya. Menuduh Elia dengan kekejaman berarti melibatkan Allah dalam tuduhan itu. Allah menganggapnya sebagai saat yang tepat untuk membuat contoh tanda, dan karena Ia beranggapan demikian, Ia mengilhamkan roh kemarahan dalam dada dari nabiNya, yang lalu menaikkan doa yang Ia anggap cocok untuk dijawab) - hal 3.

  Pulpit Commentary: "These hundred men, messengers from the king, were struck down by Elijah at the command of God. There was no personal vengeance in the act. Elijah was used as the organ of Heaven" (= 100 orang ini, utusan dari sang raja, dirobohkan oleh Elia atas perintah Allah. Dalam tindakan itu tidak ada pembalasan dendam pribadi. Elia dipakai sebagai alat dari surga) - hal 13.   3. Orang-orang yang mengatakan bahwa Elia bertindak dengan semangat keras dari Perjanjian Lama, dan bahwa tindakannya salah kalau ditinjau dari sudut Perjanjian Baru, agaknya melupakan adanya tindakan-tindakan keras dalam Perjanjian Baru, seperti:
d. Pengabulan doa Elia yang meminta api turun dari langit ini menunjukkan pertolongan dan perlindungan Tuhan kepada nabi / anakNya. Karena itu orang kristen / hamba Tuhan, asal dirinya tidak salah, tidak perlu takut menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar. Bandingkan dengan ayat-ayat di bawah ini:   2Raja 6:16 - "Jawabnya: ‘Jangan takut, sebab lebih banyak yang menyertai kita dari pada yang menyertai mereka’" (Catatan: jika ingin lebih jelas baca 2Raja 6:15-18).

Maz 34:8 - "Malaikat TUHAN berkemah di sekeliling orang-orang yang takut akan Dia, lalu meluputkan mereka".

  Ro 8:31b - "Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?".
 
3. Perwira ketiga dengan 50 anak buahnya (ay 13-15).

Jelas bahwa perwira ketiga ini sudah mendengar tentang nasib dari ke 2 perwira yang terdahulu dengan anak buahnya, dan karena itu ia datang kepada Elia dengan hormat dan dengan merendahkan diri.

Sikap hormat dan merendahkan diri dari perwira ketiga ini menyebabkan Elia tidak meminta api turun dari langit lagi, dan Tuhan memerintahkan Elia untuk tidak takut, dan pergi bersama perwira ketiga itu menghadap raja. Ini menunjukkan:

a. Tuhan menghendaki orang menghormati hambaNya.

Peristiwa ini, dan juga peristiwa penghukuman mati kedua perwira terdahulu dengan 100 anak buahnya, menunjukkan bahwa Tuhan menghendaki hormat kepada hambaNya. Sikap tidak hormat kepada hamba Tuhan identik dengan sikap tidak hormat kepada Tuhan (bdk. Bil 12:1-10, khususnya ay 8nya; Luk 10:16).

b. Selama ini, termasuk dalam meminta api turun dari langit tadi, Elia memang bertindak sesuai dengan pimpinan dari Tuhan.

Adam Clarke: "This is an additional proof that Elijah was then acting under particular inspirations: he had neither will nor design of his own. He waited to know the counsel, declare the will, and obey the command, of God" (= Ini merupakan bukti tambahan bahwa pada saat itu Elia bertindak di bawah ilham-ilham khusus: ia tidak mempunyai kehendak atau rencana dari dirinya sendiri. Ia menunggu untuk mengetahui rencana, menyatakan kehendak, dan mentaati perintah, dari Allah) - hal 482.
 

III. Elia menemui Ahazia. 1. Elia menuruti perintah Tuhan, dan ia ikut bersama dengan perwira yang ketiga itu untuk menemui Ahazia.

Ada penafsir yang mengatakan bahwa mungkin sekali Elia ikut dan menghadap ini dalam keadaan diborgol. Saya berpendapat bahwa ini adalah penafsiran bodoh yang sama sekali tidak sesuai dengan kontex, dimana terlihat dengan jelas dalam seluruh kontex ini bahwa Tuhan menjaga martabat / kewibawaan dari hambaNya (Catatan: dalam kontex lain, bisa saja seorang hamba Tuhan diborgol).

Juga kata ‘menghadap’ yang digunakan oleh Kitab Suci Indonesia rasanya agak terlalu meninggikan Ahazia dan merendahkan Elia. Terjemahan sebenarnya adalah: ‘Dan ia bangun dan pergi dengannya kepada raja’.

Memang sebetulnya kedudukan hamba Tuhan adalah sangat tinggi di hadapan Tuhan, lebih tinggi dari seorang raja.

Untuk menggambarkan tingginya kedudukan seorang pengkhotbah, ada orang yang mengatakan:

2. Elia dan Ahazia.
  a. Perbandingan Elia dan Ahazia.

Ada penafsir yang membandingkan Ahazia, yang adalah raja duniawi, tetapi dalam keadaan sakit, takut mati, hidup dalam kegelapan berhala, dengan Elia, yang sekalipun miskin (terlihat dari pakaian sederhana yang ia pakai - ay 8), tetapi saleh, mendapat firman dari Tuhan dan dengan wibawa yang luar biasa menyampaikannya kepada Ahazia (ay 3,4,6,16).

Pulpit Commentary: "Which is the better, do you think - a throne or a godly character? Fools only prefer the former; the man of sense, thoughtfulness, and reflection would say the latter" (= Menurutmu yang mana yang lebih baik, sebuah takhta atau karakter / sifat yang saleh? Hanya orang tolol memilih yang pertama; orang yang mempunyai akal yang sehat, penuh pertimbangan dan pemikiran akan memilih yang terakhir) - hal 12.

b. Elia menyampaikan secara langsung kepada Ahazia Firman Tuhan yang tadi sudah disampaikannya kepada para utusan Ahazia (ay 16).

c. Saya berpendapat bahwa ay 17 (kematian Ahazia) tidak terjadi segera setelah Elia mengucapkan Firman Tuhan itu, karena memang tidak dikatakan bahwa Ahazia langsung mati setelah mendengar Firman Tuhan.

  Kalau memang demikian, berarti setelah Elia menyampaikan Firman Tuhan, Ahazia membiarkannya pergi. Ini aneh; bukankah tadinya ia mengirim utusan untuk menangkap Elia? Mengapa sekarang membiarkannya pergi? Memang hati raja seperti batang air dalam tangan Tuhan dan Ia mengalirkannya kemana Ia mau (Amsal 21:1). Kata-kata Tuhan kepada Elia dalam ay 15 secara implicit menunjukkan bahwa Tuhan akan menjaga Elia, dan karena itu di sini Tuhan mengatur sehingga Ahazia tidak menangkap atau membunuh Elia, mungkin dengan memberikan rasa takut karena mengingat kematian kedua perwiranya dengan 100 anak buahnya.
3. Ahazia mati sesuai dengan nubuat Elia, dan ia digantikan oleh Yoram, adiknya (ay 17).   Catatan: ada problem tentang kapan Yoram ini menjadi raja. Kalau kita melihat 1Raja 22:52 2Raja 1:17 2Raja 3:1 2Raja 8:16 maka kelihatannya ada kontradiksi-kontradiksi. Tetapi ini tidak akan saya bahas di sini, tetapi dalam seri ‘ELISA’, dalam pembahasan 2Raja 3:1-dst.
 
Penutup.

Semua orang berdosa harus memikirkan bahwa lambat atau cepat mereka semua akan mati seperti Ahazia ini. Bagaimana mempertanggungjawabkan dosa-dosanya, kalau tidak mempunyai Yesus sebagai Juruselamat?

 

-AMIN-
 

email us at : gkri_exodus@mailcity.com