Sang Buddha
SANG BUDDHA. Siddhatta Gautama - nama asli Sang Buddha - dilahirkan di Lumbini di utara India (sekarang Rumindei, bagian dari negara Nepal), di kaki pegunungan Himalaya pada bulan Vesaka (biasanya jatuh pada bulan Mei), 563 tahun Sebelum Masehi, sebagai pangeran di kerajaan Kapilavatthu, dari suku Sakya (oleh karenanya Beliau juga dikenal, dalam dialek Cina, sebagai Sakyamuni Buddha). AyahNya Raja Suddhodana dan IbundaNya adalah Ratu Maha Maya. Evolusi batin Beliau pada kelahiran ini (setelah melalui banyak kehidupan sebelumnya) telah berkembang sedemikian rupa sehingga telah siap untuk mencapai titik tertinggi dan menjadi seorang Buddha (yang berarti "Dia Yang Telah Sadar"). Beliau, pada kelahiran terakhirNya ini, terlahir sebagai Boddhisatta (Bodhisatva : bahasa Sanskerta), seorang calon Buddha. Sewaktu istana masih dalam suasana gembira menyambut kelahiran pangeran mereka, seorang pertapa bijaksana bernama Asita mengunjungi Pangeran. Berkat kehidupan suci serta kekuatan meditasi Asita yang dibinanya bertahun-tahun memungkinkan Asita memiliki kekuatan yang dapat menerawangi bahwa Sang Pangeran bukanlah anak biasa, dan bahwa di kemudian hari akan mencapai Pencerahan dan mempermaklumkan ajaran baru demi kebaikan semua orang. Tetapi Asita kemudian tampak sedih, setelah dia menyadari bahwa dia telah akan mati sebelum peristiwa itu terjadi dan karenanya dia tidak akan dapat mendengarkan ajaran baru itu. Sang pangeran diberi nama Siddhattha, yang berarti "dia yang mencapai cita-citanya". Nama keluarganya adalah Gotama, dengan demikian nama lengkapnya adalah Siddhattha Gotama. Tujuh hari setelah kelahirannya, ibu pangeran meninggal dunia, dan selanjutnya beliau dirawat dan dibesarkan oleh bibinya, Pajapati Gotami. Sebagai anak raja, Pangeran Siddhattha terlatih baik dalam latihan keperkasaan, pula dalam hal tradisi dan kesusasteraan suku Sakya. Dia dikawinkan pada usia muda pada seorang gadis bangsawan bernama Yasodhara dan hidup dalam kemewahan dan keanggungan. Namun, walaupun memperoleh semua kekayaan dan kekuasaan yang dapat dibelinya, Pangeran Siddhattha tidaklah berbahagia. Secara berangsur Beliau menyadari bahwa kebahagiaan sebenarnya datang dari kepuasan batin, bukan dari pemilikan dan penghormatan semata, oleh karenanya dari hari ke hari Beliau tambah tidak tertarik lagi pada kesenangan duniawi yang disediakan untuknya. Suatu hari, sewaktu perayaan panen, ketika ayahanda-Nya menanam benih pertama pada upacara tersebut, Pangeran Siddhattha merasa masuk ke dalam keadaan meditasi yang dalam dan damai. Sejak saat itu, beliau tambah tertarik pada kehidupan rohaniah dibanding kehidupan jasmaniah. Menurut legenda, suatu hari ketika mengendarai kereta-Nya melewati jalan-jalan di Kapilavatthu, Beliau melihat apa yang kemudian disebut sebagai 'Empat Penampakann': orang-tua disanggah oleh tongkatnya, pengemis berpenyakit, mayat yang diusung menuju perabuan, dan seorang pertapa pengembara. Bagi Pangeran Siddhattha, tiga pemandangan yang pertama melambangkan penderitaan manusia, sedang pemandangan ke empat melambangkan usaha untuk mengatasi penderitaan-penderitaan itu. Pada usia ke dua puluh sembilan, Pangeran Siddhattha memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa. Isterinya Yasodhara baru saja melahirkan seorang putra, Rahula ; kelahiran putranya dan ketidaksetujuan ayahandanya, menyebabkan keputusan yang diambil itu adalah sesuatu yang teramat sulit dan menyakitkan. Beliau mengembara dari wilayah orang Sakya menuju ke kerajaan Magadha untuk mencari guru. Di India, pada masa itu, sangat banyak guru dan filsuf pengembara, semuanya mengemukakan teori yang berbeda dan berusaha menarik murid-murid diantara para pertapa maupun para perumahtangga. Pangeran Siddhattha memutuskan untuk berguru pada Alara Kalama, salah satu guru yang terkenal pada saat itu. Tetapi Pangeran Siddhattha tidak berkeinginan menjadi sekedar guru kebatinan; beliau ingin mencari kebebasan batin. Dengan penuh rasa terima kasih pada Alara Kalama, namun karena yakin bahwa Alara Kalama tidak dapat mengajarnya lebih jauh, Pangeran lalu berpamit-diri untuk mencari guru lain lagi. Dia menemui Uddaka Ramaputta, seorang guru termahsyur lainnya kala itu, dan mulai belajar dibawah bimbingannya. Selama masa itu, Pangeran Siddhattha ditemani lima pertapa lain yang terkesan pada ketegaranNya, mereka berlima yakin cepat atau lambat, rekan mereka ini akan mencapai tingkat spiritual yang mulia. Enam tahun kemudian berlalu sejak mulai bertapa, beberapa tahun diantaranya dilewati dengan cara tapa penyiksaan-diri, namun Sang Pangeran belum juga mendapatkan Pencerahan-Sempurna. Beliau mulai ragu bahwa cara-cara yang dilakukannya akan dapat mengantarnya ke Pencerahan. Beliau lalu memutuskan untuk meninggalkan cara tapa seperti itu sebelumnya, lalu mencari tempat yang cocok untuk mulai lagi bermeditasi. Akhirnya, dia tiba di sebuah desa kecil di Uruvela, yang sekarang disebut Bodh Gaya. Dengan segala daya, Siddhattha kemudian berhasil mencapai Penceraha Batin -kesempurnaan batin yang tertinggi- dengan demikian, Pangeran Siddhattha menjadi Buddha, Manusia Yang-telah-sadar sepenuhnya. Setelah melalui banyak petimbangan, Beliau memutuskan untuk mengajarkan Dhamma yang telah diwujudkan-Nya. Sang Buddha lalu meneruskan perjalanan-Nya ke Benares. Pada akhirnya, Dia berhasil menemui lima pertapa kawanNya di Isipatana dekat Benares (sekarang : Varanasi), di suatu taman yang banyak dihuni kijang. Lewat lima orang pertapa yang kemudian menjadi murid pertamaNya, Sang Buddha, lalu mempermaklumkan ajaran Dhamma pada dunia untuk pertama kalinya. Khotbah-Nya yang pertama, yang menggarisbawahi Empat Kebenaran Mulia dan konsep Jalan Tengah kemudian dikenal sebagai "Khotbah Pemutaran Roda Dhamma" (Dhammacakkapavattana Sutta). Sebutan ini didasarkan pada pemahaman bahwa Dhamma menyerupai roda besar, yang sekali berputar, akan berputar terus tanpa rintangan di seluruh penjuru dunia. Selama kurun-waktu empat puluh tahun kemudian, Sang Buddha mengembara di sebelah utara India menyampaikan Dhamma kepada yang ingin mendengarkannya. Biasanya didampingi oleh dua Siswa utamanya, Sariputta dan Moggallana, dan dalam dua puluh tahun terakhir dalam kehidupan-Nya oleh Ananda, sahabat yang selalu setia mendampingi-Nya. Sejak masa-masa awal Beliau mengajar, orang-orang senantiasa berkerumun mendengarNya, diakhir hidup-Nya Beliau mempunyai ratusan ribu orang murid-murid, terdiri atas bhikkhu, bhikkhuni dan perumahtangga biasa. Apa yang diajarkan dan diperbuat Beliau selama selama empat puluh tahun tidak mungkin dirangkum dalam satu bab, satu buku atau satu perpustakaan sekali pun ; karena demikian penuh dan istimewanya. Tiga bulan sebelum berumur delapan puluh tahun, Beliau memaklumkan kemangkatanNya. Beliau, lalu mengadakan perjalanan kearah Kapilavatthu. Beliau meninggal di Kusinara dengan disaksikan banyak muridNya, pada bulan Vesaka tepat 80 tahun setelah kelahiranNya dan 45 tahun setelah tercapainya Pencerahan Sempurna dan menjadi Buddha. Ketiga peristiwa itu, saat ini setiap tahun kita peringati sebagai Peringatan Waisak.