CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 2. DAERAH GELANG-GELANG

No. 6. Kepulangan

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

 

     

      Obloh Owoh yang menjadi bingung, apa yang harus dia perbuat, sementara gelap semakin menyelimut dataran itu. Tiba-tiba ia menyungsepkan ujung obornya ke tanah, dengan sekali hembusan apinya mati seketika, gelap semakin mencekam. Rara Jonggrang kaget, “Kenapa kau matikan obornya, Obloh?!” sergah Rara marah.

 

     “Api ini akan membahayakan nyawa Tuan Guphala, biarkan kegelapan yang menyelamatkannya!” jawab Obloh terdengar yakin pada perkataannya sendiri. “Pasti, beberapa prajurit sandi Kadipaten Pengging akan datang lagi ke tempat ini, memastikan situasi apakah betul-betul sudah aman. Kita akan tinggalkan Delanggu pelan-pelan, jangan sampai ada yang tahu.”

 

     Rara Jonggrang diam saja, tunduk dengan pendapat pengasuhnya itu. Sesaat suasana menjadi senyap, beberapa kelepak sayap kelelawar terdengar, dan bayangnya berkelebat di atas mereka yang bergelimpangan menjadi mayat. Bintang di langit tampak semakin banyak, dalam diamnya bintang-bintang itu seakan berkata, “Kau kalah Guphala, kami saksikan itu. Ini pelajaran bagimu, tidak semua keinginan bisa kau raih, tidak semua perhitungan bisa kau pastikan.”

 

    Dan Guphala tergeletak lemas. Beku oleh putus asa dan rasa malu. Dan saat tubuhnya diseret pelan oleh Obloh Owoh, dia berada dalam keadaan sadar dan tidak sadar. Obloh Owohpun tidak yakin benar kalau tuannya itu akan masih hidup sesampainya nanti di Alas Segoro, untuk bisa membawanya keluar dari tanah lapang medan pertempuran itupun sungguh bukan merupakan hal yang mudah. Selain harus menyeret, obloh Owoh harus menyisihkan terlebih dahulu mayat-mayat yang menghalangi jalannya, menyingkirkan juga senjata-senjata seperti pedang, belati, keris atau tombak yang berserakan, supaya tak melukai tuannya yang sedang diseretnya. Di tigaperempat malam barulah Obloh Owoh sampai di pinggiran tanah lapang, dia masih harus bekerja keras lagi membawa tuannya melewati lorong-lorong gelap pedesaan. Rara Jonggrang mengikuti dari belakang, merangkak-rangkak seperti anak kancil yang ketakutan. Tubuhnya menggigil bukan hanya karena dinginnya malam tapi juga oleh perasaannya yang kalut.

 

     Obloh Owoh menarik nafas lega saat sampai di ujung lorong, sebuah jalan yang agak besar yang menghubungkan antara Prambanan dan Pengging kini berada di hadapannya. Istirahat sejenak sambil berdoa semoga tidak ada orang Pengging yang melihatnya. Jika sampai ketahuan oleh orang Pengging habislah riwayatnya. Dan ketakutannyapun memuncak saat dia dengar langkah-langkah orang mendekati tempat itu. Cepat-cepat dia tarik Rara menyelip di tetumbuhan perdu.

 

     Ada tiga orang muncul dari kegelapan, mengendap-endap, seperti orang-orang pelarian. Obloh Owoh menajamkan pandangannya dari balik perdu, dia berharap, orang-orang itu tak melihat tubuh tuannya yang tergeletak di pinggir jalan. Rupanya dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Seorang laki-laki pendek dengan tubuh agak kekar, yang satunya tinggi kurus. Sementara yang perempuan tampak seperti kuli gendong di pasar Wonosegoro, pusatnya daerah Alas Segoro, Kurus agak bungkuk tapi terkesan kuat dan jalannya jauh lebih lincah dari kedua laki-laki itu.

 

    Karena takut Rara Jonggrang akan berteriak maka Obloh Owoh membungkam mulut momongannya itu dengan kedua tangannya. Mulanya Rara memberontak tetapi rupanya anak itu menyadari juga akan bahaya yang sedang mengancam. Rara diam saja saat mulutnya terbungkam oleh kedua tangan Obloh Owoh.

 

 

 

(BERSAMBUNG Ke Seri 2. Daerah Gelang-Gelang No. 6. )

BACK