CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 2. DAERAH GELANG-GELANG

No. 3. Tarikan Nafas

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

 

     Guphala mencoba menarik nafas agak panjang, terasa perih di ulu hatinya. Hampir sekujur tubuhnya dipenuhi luka-luka, kematian hanya masalah waktu, sebuah penantian yang menggelisahkan.

 

     "Betapa memalukan jika aku selamat, sementara yang lain mati." pikirnya putus asa. Laki-laki itu memaki Dhamarmaya dalam hatinya, apakah sebuah kesengajaan Dhamarmaya membiarkannya hidup? Bukankah laki-laki itu bisa dengan mudah menghunjamkan ujung pedangnya saat dia dalam keadaan pingsan, apakah dengan cara  itu Dhamarmaya bermaksud mempermalukannya? Apakah ini bukan merupakan cara lain untuk menghina dirinya? Batinnya berdetak-detak berubah-ubah antara marah, dendam dan ketakberdayaan.

 

      Senja itu bergeser menjadi petang, bayang-bayang dusun di pinggiran tanah lapang dataran Delanggu mulai menghitam, apalagi warga dusun di sekitar tanah lapang itu belum berani pulang dari pengungsian, semenjak para telik sandi, mata-mata Kadipaten Pengging mencium pergerakan balatentara Alas Segoro untuk menyerang Pengging, maka Dhamarmaya memutuskan untuk mengungsikan penduduk dusun di sekitar dataran Delanggu, karena di tempat itulah prajurit Kadipaten Pengging dipersiapkan untuk menghadang wadyabala Alas Segoro, jangan sampai mereka berhasil masuk ke Kota Pengging, supaya keamanan kota tetap terjaga.

 

      "Untuk apa hidup tanpa sebuah harapan. Dan untuk apa hidup tanpa bisa memenuhi sumpahnya sendiri. Aku sudah bersumpah lebih baik mati daripada tidak mendapatkan Candhrawati. Oh wanita itu sudah menggilakanku. Jabang bayi, kenapa terlahir seperti ini. Kalah, kalah dan kalah!" batin Guphala menggeramuk.

 

    Di langit mulai ada bintang-bintang, mata Guphala menatap tajam, di sanakah ayahnya berada? Rahphala yang gagah perkasa, yang ditakuti oleh sesama garong dan tersohor di seluruh Djawadwipa. Dan ibunya yang juga telah mati lebih dulu daripada ayahnya itu. Di sanakah mereka berada? Apakah Lhastari, istri muda ayahnya, ibu dari adik tercintanya, si Rara Jonggrang. Juga ada di sana, di antara bintang gemintang? "Ohh, aku ingin menyusul mereka, mengadukan rasa malu ini. Dan Rahphala, ayahku, tentu akan menggerakkan roh-roh garong yang pernah lahir dan hidup di Jawa ini untuk mengerubung Dhamarmaya dan mencekiknya beramai-ramai. Oh ayahku, kenapa kau mati begitu cepat!"

 

      Ketika rasa di sekujur tubuhnya mulai hidup kembali, ada yang dingin di sekitar pahanya, Guphala mulai sadar bahwa itu adalah pengaruh belati yang dia sengkelitkan di pinggangnya. Pelan tangannya menuju ke belati itu dan berhasil memegang tangkainya. Ditariknya belati itu sangat lamban. Matanya masih menatap bintang.

 

     "Inilah saatnya aku mati," batinnya. Dirasakannya nafasnya semakin menggemuruh, dia kumpulkan keberanian untuk menjemput maut dari tangannya sendiri. Belati telah lepas dari warangkanya, tangan kanan yang memegang tangkai belati itu disambut oleh tangan kirinya, dan dengan kedua tangannya dia angkat belati itu di atas dadanya dengan ujung terbalik. Namun ketika dia pandang badan belatinya itu perhatiannya terpusat  pada titik kilau yang ada di sana, sesuatu yang berkilat-kilat berkobat-kabit seperti sebuah cahaya api yang tertiup-tiup angin.

 

 

(BERSAMBUNG Ke Seri 2. Daerah Gelang-Gelang No. 3. Kembang di Danau )

BACK