CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 3. Binatang Hutan

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

Sangate dan Wuryan memacu kudanya kian kencang. Menusuk gelapnya malam menuju hutan Sabawana, orang-orang di seberang hutan menyebut alas itu dengan nama Wanasaba. Ini adalah peristiwa pertama yang dialami Sangate, tidak pernah ada kejadian ini sebelumnya. Binatang-binatang liar di dalam hutan itu tak pernah keluar, tak pernah mengganggu kehidupan orang-orang di perkampungan sekeliling hutan itu. Ada rasa was-was dalam dada Sangate, bukan karena takut, tapi karena dialah yang bertanggung jawab terhadap keselamatan seluruh warga Kedungdang, selain Jagabaya, dirinyalah yang paling berbeban jika warganya mengalami kesusahan.

 

     Wuryan mengikutinya dari belakang, laki-laki muda itu mencoba memusatkan perhatiannya pada gerak lari kudanya. Beberapa kali kudanya harus melompat karena jalan yang dilaluinya berlobang agak dalam. Tapi pikirannya tersingkap oleh hal yang lain, beberapa kali dia mencoba menepisnya, sesering itu pula dia teringatkan lagi. Bunga Kedungdang yang baru saja dilihatnya mengunjungi pikirannya, kuning langsat kulitnya, lentur gemulai tubuhnya, dan jatuhnya beberapa rambut di keningnya, tersapu oleh senyum yang menggores pekat dalam kelembutan gadis perawan cucu Buyut Bashutara yang bernama Jatuawitri. Hatinya berdegab-degab jika mengingatnya, sama seperti ketukan kaki-kaki kuda yang dia tumpangi itu memukul tanah. Tapi dia tak berani berharap.

 

     Sangate dan Wuryan telah keluar dari dusun Kedungdang, melewati jalan kecil di tengah persawahan, udara menjadi lebih dingin, angin bertiup kencang, beberapa burung berkelepak terbang menjauh, dan deretan rusa menerabas sawah.

 

     "Paman Sangate, rusa-rusa itu!"

     "Ya, mereka gerombolan pertama yang kita temui!"

     "Akan kemana mereka?"

     "Tampaknya mereka tak tahu arah, Wuryan."

     "Ya, sebab mereka tak pernah keluar hutan."

     "Apakah ini akibat perbuatan orang-orang Kalana juga?" tanya Wuryan.

     "Aku tak tahu, Wuryan. Mungkin. Tapi mungkin juga bukan."

 

     Belum jauh dari tempat itu, tiba-tiba kecopak air sawah terdengar riuh, Sangate dan Wuryan melambatkan jalan kudanya. Ternyata suara itu berasal dari ayam-ayam alas dan pelung-pelung yang berlari berlawanan arah dengan arah jalan Sangate dan Wuryan. Sangate mempercepat laju kudanya, diikuti Wuryan, mereka merasa harus secepatnya sampai di hutan Sabawana.

 

     Sebelum memasuki gumuk kecil, Sangate dan Wuryan melintas di kawasan perdu. Pohon serut menguasai daerah itu. Biasanya di pohon-pohon itu banyak berlindung ular-ular, terbukti banyak bekas kulit ular bergantungan di ranting-rantingnya setelah mlungsungi. Tetapi anehnya banyak juga pandan-pandan tumbuh liar di situ, sedang pandan biasa tumbuh di daerah pantai. Beberapa kali Sangate dan Wuryan menghentikan gerak kudanya, karena harus berhati-hati ketika berpapasan dengan babi-babi hutan, kerbau liar, banteng dan gerombolan asu ajak menerjang jalan-jalan sempit di sela-sela serut atau pandan, tunggang langgang lari menjauh dari arah yang dituju Sangate. Wuryanpun mulai merasa tidak enak dengan kudanya, dia berpikir ada yang aneh dengan kudanya, karena beberapa kali kaki kuda itu menghentak-hentak ke tanah dengan gelisah. Tapi mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan.

 

 

(BERSAMBUNG KE No. 4. Sampai Pagi Menyingsing)

BACK