CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 21. Jalan Keluar

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

    

 

     "Hutan ini begitu luas dan lebat, tidak gampang menutup jalan keluar hutan ini walau dengan banyak prajurit." kata salah seorang prajurit yang sedang bergerombol berjaga-jaga di salah satu jalan keluar setapak di salah satu sisi hutan itu.

 

    "Kalau jumlah mereka sedikit maka akan sulit kita tangkap, karena bisa keluar lewat mana saja dengan membuat jalan sendiri membabat tetumbuhan. tapi kalau mereka merupakan sekelompok prajurit juga, maka dengungnya akan terdengar dan kita bisa  menghadang mereka di luar hutan." kata prajurit yang lain.

 

    "Kalau mereka sekelompok prajurit, kenapa mereka harus masuk hutan? Kenapa tidak menyerang saja langsung ke kota praja? tanya prajurit yang lain.

 

     "Kalau mereka itu prajuritnya Balaputeradewa, mereka sedang memakai cara "gobyak", yaitu mengacaukan titik-titik tertentu yang tidak mendapat perhatian dan penjagaan sehingga perhatian musuh berpindah ke tempat itu, setelah itu baru menyerang ke titik yang tadinya dijaga ketat, oleh karena itulah jangan sampai sebagian besar prajurit dikerahkan kemari. Bisa-bisa ini hanya sebuah strategi."

 

     Prajurit-prajurit kerajaan Bhumi Mataram itu asyik dengan praduga-praduga mereka masing-masing, saling membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Sementara itu di sana sini tampak pula orang-orang yang tidak dikenal, bahkan oleh para prajurit itu sendiri. Tentu mereka bukan rakyat biasa karena rakyat biasa dilarang datang ke tempat itu, mereka dijauhkan bahkan ada pula yang diungsikan dengan alasan untuk keselamatan mereka. Orang-orang tak dikenal itu adalah pendekar-pendekar bayaran, yang dibayar oleh para senopati praja untuk melawan musuh lebih dahulu, atau jika yang mereka hadapi juga para pendekar, maka merekalah yang dengan semangat akan maju lebih dahulu, karena gelar pertempurannya akan menjadi lain.

 

    Berbeda dengan suasana di pinggir-pinggir hutan Sabawana, di dusun Kedungdang tampak tenang-tenang saja, justru kehadiran prajurit-prajurit itu yang sedikit mengganggu ketenangan meraka. Beberapa anak-anak kecil tampak kegirangan menemukan anak kijang yang kesasar ke desa mereka, anak-anak itu dengan  senang hati memberinya dedaunan untuk makan anak kijang itu, sementara itu perjaka-perjaka menangkap babi hutan dan memasaknya beramai-ramai. Beruntunglah mereka bahwa binatang-binatang buas yang melewati dusun mereka tak mengganggunya, binatang-binatang itu berlari dan pergi entah kemana, memang meninggalkan beberapa kerusakan, seperti ladang-ladang yang berantakan akibat terjangan mereka, pagar-pagar yang rubuh dan beberapa rumah getepe yang ambruk. Namun warga akan dengan mudah menggantinya dengan getepe yang baru. Semuanya itu akan tertutup dengan keceriaan mereka  menangkap kijang-kijang atau kancil, burung dengan bulu yang indah yang tersasar serta babi-babi hutan yang akan menjadi masakan lezat bagi mereka.

 

 

    

(BERSAMBUNG Ke No. 22. Penantian Melati)

BACK