CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 20. Kembali Ke Asal

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

       

     "Ilmu apa yang dia pakai, dia bisa menghindar tanpa bisa kulihat gerakannya," gumam macan kumbang itu. "Aku sudah mempengaruhi jutaan manusia, aku sudah membunuh ribuan manusia, bala tentaraku sudah menghasut anak keturunan manusia pertama, tapi ini orang susah sungguh aku takhlukkan!" Macan kumbang menatap musuhnya yang tampak jauh, sekilas tubuhnya bergetaran, dia rasakan betapa panas menatap musuhnya itu, tak seperti sebelumnya.

 

     Namun dengan langkah pelan, binatang  itu  menelasak rerumputan, jalannya mengarah ke lereng air terjun, beberapa kali melompat. Sementara itu Bandung memejamkan matanya, kepasrahannya bulat utuh kepada Tuhannya. Tubuhnya yang kurus bergoyang-goyang karena tiupan angin hutan, tak mengerti apa yang akan terjadi. Seperti rerupa penunggu burung di sawah yang tertempa angin dari kanan kiri. Senyap tak ada suara makluk satupun, yang terdengar hanyalah deburan suara air terjun.

 

     Saat itu Sangate dan Wuryan kehilangan pandangannya akan kedua makhluk yang tak dikenalnya itu, karena ceruk dimana mereka bersembunyi berada di bawah lereng air terjun, sementara itu Bandung berada di puncak air terjun dan macan setan juga sedang berjalan meloncat-loncat dari batu-batu di lereng air terjun menuju ke musuhnya yang tak menghiraukannya.

 

     "Mereka kemana, Paman?" tanya Wuryan kepada Sangate.

     "Aku tidak tahu, Wuryan. Yang kulihat tadi macan itu berlari ke arah lereng dan meloncat cepat menaiki batu-batu itu. Mungkin ke atas."

     "Kita bagaimana, Paman?"

     "Maksudmu apa?"

     "Kita tetap di ceruk ini, atau berusaha mengikuti mereka?"

     "Menurutmu bagaimana, Wur?"

     "Aku ingin melihat akhir pertempuran itu, Paman."

     "Aku juga, tapi akan sangat berbahaya jika mereka mengetahui kehadiran kita."

     "Yah, kedua makhluk itu bukan makhluk biasa, aneh, jadi kita harus hati-hati, Paman."

     "Aku rasa pertempuran belum usai, jadi macan itu masih penasaran. Akan kita dengarkan suara-suara mereka. Kalau kita rasa aman nanti kita keluar dari sini."

     "Baik, Paman."

 

Mereka memutuskan untuk tetap sembunyi di dalam ceruk itu untuk sementara waktu. Sambil menunggu kesempatan untuk keluar dan memuaskan keingintahuan mereka akan perkelahian kedua makhluk aneh itu.

 

 

*****

 

Di luar hutan itu, siang itu tak seperti biasanya. Di setiap ujung jalan setapak untuk masuk ke hutan itu tampak ratusan prajurit Bhumi Mataram berjaga-jaga, bahkan di padang-padang di desa terakhir di sekitar  hutan sudah dipenuhi oleh prajurit-prajurit.  Begitu cepat kabar itu sampai ke kota praja Bhumi Mataram, tentu hal-hal yang begitu aneh seperti keluarnya binatang-binatang hutan dan kematian-kematian pande-pande sudah merupakan peristiwa yang harus memerlukan perhatian para petinggi praja Bhumi Mataram. Apalagi permusuhan antara Rakai Pikatan dengan Balaputradewa terasa semakin meruncing, tentu para petinggi kerajaan Bhumi Mataram menduga bahwa kejadian-kejadian itu erat hubungannya dengan orang-orang Kalana yang selama ini dikenal banyak mendukung Balaputradewa. Suasana menjadi sngat tidak biasa dengan kehadiran para prajurit itu. Pakaian seragam mereka yang mencolok, merahnya seperti merah cabe, yang berseragam biru juga seperti biru laut, dan yang hijau seperti hijau daun muda. Dan juga umbul-umbul mereka yang berwarna-warni sesuai dengan kesatuannya masih-masing, membuat dusun-dusun itu seperti tercekam oleh suasana persiapan perang besar.

 

 

(BERSAMBUNG Ke No. 20.  Penyatuan)

BACK