CERITA BERSAMBUNG Karya : Unggul K. Surowidjojo |
PANGERAN MATA ELANG UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE |
SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG No. 19. Kematian Oleh : Unggul K. Surowidjojo
"Kau memang manusia langka, terlalu tajam penglihatanmu. Tapi waktumu tinggal beberapa saat lagi, aku lihat tubuhmu mulai gemetaran, keletihan akan menyudahi perlawananmu. Bersiaplah untuk mati.!" gertak macan kumbang si Bondowoso itu. Tiba-tiba macan itu meloncat ringan ke dekat Bandung, lidahnya keluar terlelet-lelet, dan ekornya berkibas-kibas.
Bandung kemudian berdiri, terlihat limbung tapi masih mampu menguasai keseimbangan badannya. Di atas batu kali laki-laki itu menantang kematian. Tekadnya sudah bulat, seperti tekadnya ketika dia berangkat ke hutan ini, lebih baik mati daripada gagal mendapatkan wahyu pencerahan. Dia sudah gagal dan saatnya menjalankan tekadnya. Sesaat dia pandang langit di atas, biru jauh di sana, dimana letak Engkau Yang Maha Kuasa, terlalu besar untuk dia lihat, tetapi dia yakin : Dia Sang Pemilik segala hal melihat kejadian ini. Tak apalah jika Dia diam saja, tentu ada maksudNya.
Macan kumbang meloncat ke atas salah satu batu kali, sekilas melihat bayangannya sendiri di air yang bergerak-gerak, betapa ia menikmati saat-saat penghakiman ini, mengalahkan manusia yang sedang bertapa, mulanya ia mengganggunya dan ketika si pertapa lepas dari bertapanya, ia tinggal menggoda emosinya kemudian pelan-pelan mempengaruhinya, jika tak terpengaruh seperti lelaki di depannya itu, ia siap untuk membunuhnya. Sekali tubruk laki-laki yang bernama Bandung itu akan terdorong dan jatuh ke air dan ia akan membenamkannya tanpa memberinya kesempatan bernafas, sampai mati, ia tak akan memakannya, sebab ia tidak makan daging seperti macan biasa, ia makan emosi manusia.
Hantu berlumpur yang ternyata manusia bernama Bandung itu tetap mendongakkan kepalanya ke arah langit, sesaat kemudian hatinya merasa teduh, dan jiwanya bicara, "Wahai Engkau Sang Hyang Kesejatian, aku kembalikan semua apa yang kusebut milikku, raga ringkih yang kupakai ini, pikiran yang menggerakkanku selama ini, perasaan yang mendorongku selama aku hidup, barang-barang yang kupakai, segala hal yang belum kuselesaikan. Aku pasrahkan kembali kepadaMu, Engkaulah pemilik segalanya, aku serahkan diriku ini juga kepadaMu. Bukan kepada macan kumbang si dhemit Bondowoso ini." Hati Bandung merasa lega, dan tak ada beban lagi, apapun yang terjadi dia biarkan terjadi, di atas batu itu yang terdengar hanyalah gemericik air, beberapa gesekan dedaunan, dan geram suara macan kumbang yang siap menerkam.
Pelan-pelan jiwa Bandung seperti melantun, " Golong madhep ing ngarsaMu.....Utuh menghadap kepadaMu Golong madhep ing ngarsaMu....Utuh menghadap kepadaMu....Golong madhep ing ngarsaMu....Utuh menghadap kepadaMu....Golong madhep ing ngarsaMu.....," tiba-tiba tubuhnya merasa ringan mengikuti irama lantunan itu.
Bondowoso si macan kumbang setan itu mengendap siap menerkam, matanya tajam menyorotkan keganasannya. Dan sekali menekankan kakinya ia cepat sekali terloncat ke arah Bandung, dan dengan gerakan yang segagah kilat ia menerkam laki-laki yang siap mati itu. Sekilat waktu pula yang terdengar adalah suara air yang kejatuhan benda besar, serta percikannya yang ke arah mana-mana. Yang terlihat adalah tubuh Bandung yang berdiri tegab di atas rerumputan di pinggir sungai itu, sudah pindah dari tempat berdirinya semula di atas batu kali. Sementara tubuh macan kumbang tampak kehitaman di dasar sungai yang jernih bergerak-gerak ingin keluar dari cekaman air.
Bandung sendiri merasa heran, kenapa dia bisa tiba-tiba saja berpindah tempat tanpa dia sendiri kehendaki, yang terasa hanyalah tubuhnya menjadi sangat ringan, dan tak terasa lagi keletihan, di hatinya masih berdengung lantunan, "Golong madhep ing ngarsaMu.....Utuh menghadap kepadaMu....Golong madhep ing NgarsaMu....!" Dan seperti gumpalan hitam memuntahkan air kemana-mana macan kumbang meloncat keluar dari dalam air, setelah oleng di udara di atas sungai tubuh macan itu jatuh seperti kucing besar melenting dari atap-atap rumah, tanpa suara kakinya menyentuh tanah. Matanya kian membara, kemarahannya sudah mencapai puncaknya. Dihilangkannya air yang memenuhi tubuhnya dengan menggoyang-goyangkannya. Setelah itu ia berjalan mengitar, Bandung tetap tak memperhatikan polah si macan. Dia tetap melantunkan syair kepasrahannya kepada Sang Hyang Pemilik Hidup.
Macan kumbang yang sudah kehabisan kesabaran itu mengerahkan tenaganya, dan seperti gerakan semula cepat menerjang tubuh Bandung, namun terjangan itu tak membentur apa-apa, tubuh Bandung sudah berpindah jauh dari tempat itu, Bandung ada di puncak lereng di samping awal air sungai itu terjun. Macan kumbang hanya menabrak rerumputan di atas tanah di pinggir sungai di tengah hutan itu. Seketika macan itu menolah-nolehkan kepalanya, mencari-cari lawannya, baru ketika ia mendongakkan kepalanya ia temukan sosok musuhnya sudah berada di samping puncak air terjun.
"Ilmu apa yang dia pakai, dia bisa menghindar tanpa bisa kulihat gerakannya," gumam macan kumbang itu.
(BERSAMBUNG Ke No. 20. Kembali Ke Asal)
|