CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 18.  Percakapan Di Tengah Hutan 2

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

        Binatang berkulit hitam itu menggeliat, kepalanya dikibaskibaskannya ke kanan dan ke kiri, sebagai takdirnya kematian tak akan menjemputnya sebelum akhir jaman, dan untuk menunjukkan keberadaannya dia rasuki tubuh macan kumbang. Ia tak akan mundur mengganggu manusia juga sampai akhir jaman, ia pengaruhi manusia lewat pikiran dan perasaannya. Tapi manusia yang mirip hantu berlumpur ini tak mampu ia pengaruhi, satu-satunya jalan baginya adalah mengusirnya dari hutan ini.

 

     Matanya mulai bersinar kembali, mencorong seperti cahaya phosfor yang berpendar-pendar jika malam hari. Kekuatan tubuhnya terasa menjalar ke seluruh sel-selnya. Ia pandangi musuhnya yang kelihatan kuyu.

 

     "Sudah saatnya kamu mati!" katanya pada mahkluk berlumpur.

 

Makhluk berlumpur menolehkan pandangannya pada macan kumbang itu. Tatapan mata keduanya saling beradu.

 

     "Sebelum kamu membunuhku, katakan apakah kamu punya nama?"

    "Untuk apa kamu tanya namaku?"

    "Aku bisa mencarimu saat aku ingin balas dendam padamu."

    "Ha..ha...rupanya kamu ingin balas dendam, itulah sifat manusia, selalu ingin balas dendam, aku sangat suka sifat itu. Namaku Bondowoso!"

    "Bondowoso! Sungguh nama yang jelek. Bondo artinya benda, Woso berarti kuasa, jadi arti namamu itu kekuasaan benda. Hah...buruk sungguh kamu mengambil nama," kata makhluk berlumpur.

     "Jangan menghina, manusia tak mungkin  hidup tanpa benda!"

    "Benda memperberat manusia kembali ke nirvana!"

    "Apapun katamu, kau tak akan lepas dari benda, tubuhmupun ada unsur bendanya. Jangan sombong kamu! Tapi itulah manusia, biarlah, toh kamu akan segera mati. Boleh tahu namamu?"

    "Bandung, namaku!"

    "Nama yang nggak ada artinya!" ledek macan kumbang.

    "Lebih baik tanpa arti daripada artinya buruk!"

    "Trondolo kamu!"

 

Macan kumbang itu berdiri, tubuhnya digoyang-goyangkannya, seperti menghidupkan lagi syaraf-syarafnya yang mati, kepalanya berulangkali berkibas-kibas.  Matahari sudah condong di barat. Awan putih seperti barisan domba di langit. Dan bumi dimana mereka berpijak seperti bersorak tanpa kata, inilah akhir riwayat seorang pendekar, selalu saja mati oleh perkelaihan. Sebabnya selalu sama, dikalahkan oleh keangkuhannya sendiri melalui tangan lawannya.

 

     Dan macan kumbang itu memandang ke makhluk berlumpur yang bernama Bandung itu. Melihat lawannya tak bergerak macan hitam yang menyebut dirinya Bondowoso itu  tertegun. Kekecewaannya tumbuh seketika.

 

     "Ayo, berdirilah Bandung. Bunuh aku, seperti telah berpuluh kali kamu lakukan!"

 

Tapi Bandung tak beringsut sedikitpun, dan matanya yang garang menjadi teduh. Dia telah berpasrah. Dia siapkan diri menjemput maut..

 

     "Aku berubah pikiran, tak ada gunanya melawan kamu. Tapi aku juga tak akan mundur. Cepatlah, semakin cepat semakin baik, gunakan taringmu untuk merobek urat nadi di leherku!" kata Bandung.

 

     "Itulah manusia, cepet sekali berubah!" jawab Bondowoso.

     "Aku tidak berubah, aku jalani perjalananku," jawab Bandung.

     "Perjalananmu yang mengenaskan, mati muda, di tengah hutan tanpa ada yang tahu," ejek Bondowoso.

     "Itu bukan urusanku, kematianku dan prosesnya bukan milikku, itu Dia yang mempunyai hak." jawab Bandung.

   "Ha...ha...kau suka berpuisi, kematian bisa dari mana saja musababnya, Dia yang kau sebut itu diam seribu basa, sejak dulu sedari bumi ini dibuat."

   "Tidak ada perdebatan untuk itu, karena hanya melewati manusia saja kamu bisa mengenalNya, sayangnya tugasmu bukan untuk menggunakan tapi digunakan, rupanya ketika digunakan kau mulai mempengaruhi, itulah awal dari kehancuran." jawab Bandung.

    

 

(BERSAMBUNG Ke No. 19. Kematian)

BACK