CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 15.  Lembah Pembantaian

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

    

     Kedua orang itu menuruni tebing lembah itu, kadang jalannya harus mengerekel sembari tangannya berpegangan pada batu andesit atau diorit yang bermunculan dari permukaan tanah karena terkikis oleh arus air jika hujan turun. Batu-batu itu terkadang berkilauan karena kuarsa atau plagioklas yang terkandung di dalamnya tertempa sinar matahari pagi. Sesaat kedua orang itu membayangkan betapa pandangannya akan terpuaskan oleh pukauan keindahan alam di sekitarnya, jika hutan itu tak berantakan. Sungai yang mengalir di dasar lembah, beberapa gosong di pengkolannya dan air terjun yang terus-menerus melemparkan air jauh ke bawah. Aliran air sungai seperti aliran kehidupan, lahir dari mataair dan mati di muara, selalu ada kelahiran dan selalu juga ada kematian. Wuryan melompat turun diikuti oleh Sangate, lereng terjal telah mereka lewati, menghadang kini rimbunnya pohon-pohon, akarnya berbelit satu sama lain, tapi jalannya masih menurun, mereka mencoba mencari celah. Belum terpikirkan bagaimana nanti mereka bisa kembali pulang.

 

     Hampir seperenam hari mereka butuhkan untuk menelasak lebatnya lembah itu, hingga sampai pada bagian pertama hutan yang rusak. Keduanya termangu menatap suasana itu, pohon-pohon berpatahan, sebagian lainnya ambruk dan sebagian lain mati seperti terbakar. Di bagian batang yang patah masih menetes satu-satu getahnya yang merah.

 

     "Ini bukan pekerjaan perampok kayu," gumam Sangate.

     "Pencuri kayu akan memotong pakai kapak di pangkal batangnya. Ini patahnya tak beraturan," sambung Wuryan.

     "Lebih baik kita teruskan sampai ke sungai, kalau ini ulah manusia, pasti mereka akan mendirikan tenda di dekat sungai, mereka perlu air untuk mandi dan memasak." kata Sangate.

     "Tapi apa Paman yakin ini ulah manusia?"

     "Saya juga ragu, tapi bukankah sebenarnya manusialah perusak alam yang paling rakus?"

 

Wuryan tak menjawab, kakinya melangkah lagi, tangannya menyibak dedaunan perdu di bawah pohon-pohon besar, menelusup, diikuti Sangate. Setiap kali dadanya dipegangnya sambil menahan nafas, raungan binatang buas yang kesakitanpun sering terdengar dan semakin menyesakkan dada-dada mereka.

 

     Wuryan tampaknya kian bersemangat, anak muda itu merasakan sedang dalam petualangan yang mengasyikkan. Sedang Sangate adalah seorang laki-laki yang umurnya dua kali lipat umur Wuryan, segala sesuatu membutuhkan pertimbangan yang lebih masak. Beberapa kali laki-laki itu mengirimkan  pameling ke Buyut Bashutara, beberapa kali pula dia mendapatkan jawabannya, raut wajahnya menunjukkan kepatuhan saat jawaban dia terima. Wuryan yang belum menguasai aji pameling, belum bisa mengikuti percakapan antara Sangate dan Buyut Bashutara itu.

 

     "Saya mendengar suara air terjun, Paman."

     "Berarti kita sudah mendekati sungai, Wuryan!"

     "Ya Paman, mari kita percepat langkah kita, biar kita bisa lihat apa yang terjadi."

 

Ketika mereka berdua sampai ke pinggir sungai, dan tidak jauh dari tempat itu terdapat air terjun yang cukup tinggi, keduanya tak menemukan apa-apa. Sepi ngelangut yang ada.

 

Wuryan kemudian mendekati sungai yang berair jernih itu, membasuh muka dan tubuhnya yang kelelahan, tindakan Wuryan itu diikuti oleh Sangate. Merekapun meminum air sungai yang bening jernih itu dengan lahapnya. Setelah merasa sedikit segar, Sangate duduk di batu besar di pinggir kali itu. Sementara itu Wuryan mencari ubi-ubian dan dibawanya mendekat ke tempat Sangate duduk. Wuryan menyalakan api dan mulai membakar ubi-ubi itu.

 

     "Suara macan yang kesakitan itu tak terdengar lagi, Paman?"

     "Itu belum tentu berarti pertanda baik, Wuryan!"

     "Atau mungkin macan itu tak berada di dekat tempat ini, Paman."

     "Ya, mungkin."

     "Paman, ubinya sudah ada yang matang, ayo kita makan!"

 

Wuryan menjapit ubi yang berada di atas bara api  itu dan memindahkannya ke atas daun. Beberapa saat kemudian keduanya tenggelam dalam diam sambil memakan ubi-ubi  bakar itu.

 

Namun tiba-tiba sebuah lengkingan keras terdengar, dan seketika itu pula keduanya bergulingan, dadanya seperti terserang rasa sakit yang mencekat, buru-buru keduanya berusaha bertahan dengan menggunakan tenaga dalam yang mereka punyai.

 

Belum sempat mereka menguasai keadaan, dipaksa mereka harus meloncat menghindar dari tempat mereka berada, karena sebuah pohon besar tiba-tiba patah di batangnya dan hampir menjatuhi tubuh keduanya, untunglah keduanya mampu menghindar.

 

     "Lari, Wuryan! Cepat lari ke arah air terjun. Ada cerung di sebelah kiri air terjun itu, kita bisa sembunyi di sana!" kata Sangate.

 

Keduanya lari secepat mungkin. Meloncati batu demi batu di pinggir kali itu. Tak mereka hiraukan lagi suara berderak-derak pohon-pohon bertumbangan, daun-daun berhamburan ke sana kemari, langit di atas mereka  sudah keruh oleh lontaran-lontaran ranting-ranting dan daun-daun yang terlempar jauh dari pohonnya.

 

Sangate mencapai cerung lebih dulu, kemudian segera menelungkupkan tubuhnya di situ, diikuti Wuryan yang meringkukkan badannya di samping Sangate. Di tempat itu keduanya merasa aman, karena cerung itu akan melindunginya dari pohon-pohon yang bertumbangan.

 

(BERSAMBUNG Ke No. 16. Hantu Berlumpur Mengamuk)

BACK