CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 11. Gelisahnya Bunga

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

     Seperti malam itu, di saat semua lelaki di dusun itu berjaga-jaga dengan keluarnya binatang-binatang hutan Sabawana, si Jatu tersekap dalam ingatan akan laki-laki berjambang tebal yang berasal dari negeri Hindi itu. Kini perempuan kecil itu seperti disodorkan kesadaran akan bedanya siang dan malam. Siang hari adalah saat dulu yang pernah ada, bekerja membantu ibu bersama saudara-saudaranya, bermain dengan sobat sebaya, belajar menari atau melantunkan tembang atau membaca kitap suci dan sastra bersama Raden Bandung. Malamnya dulu adalah malamnya istirahat, raga yang lincah bergerak sepanjang siang tersungkur dalam sunyi lelapnya tidur. Damai dalam tentramnya Kedungdang.

 

     Malamnya kini adalah pendar-pendar akan raut setengah baya, berkumis dan berjambang tebal, berhidung bengkung berkulit gelap berjalan tegap berwatak kejam bersuara kering keras. Menghapus bayang-bayang lain remaja pideksa bermuka bersih berambut panjang berdada bidang bersuka sastra berpikir cerdas dan sesakti raden Janaka di kala muda. Dan bermata tajam setajam mata elang dan bola matanya hitam menusuk memancar seperti kekerasan hatinya dan sebijaksana alam akalnya. Dia bernama Raden Bandung. Hatinya menjadi terbelah. Dan sakitnya adalah yang sebelah semakin memudar dan yang sebelah datang tiba-tiba menghantui sekaligus membuat linglung. Rahaden Kocapa alias Holaram alias Syah Rai Kae datang tiba-tiba dan sekonyong-konyong seperti mencerabut setengah  gumpalan hatinya, semakin hari demi malam yang muncul hari demi hari bayang-bayang itu semakin jelas di pelupuk matanya, seperti mau merengkuhnya dan ketakberdayaannya menyudutkannya pada kengerian. Gadis itu terhempas dalam kebingungan yang dia sendiri tidak mengerti artinya.

 

    Namun siang hari, bayang-bayang itu menghilang, perasaannya pulih seperti kala biasa serta pesona Raden Bandunglah yang menguasainya.   Apakah watak malam yang menumpahkan kengerian pada jiwanya yang ciut? Apakah arti malam juga menjadi simbol sebuah keburukan? Tapi bukankah seperti petuah eyangnya yang mengatakan menerpa laut juga merupakan tugas gelombang? Bukankah juga bisa diartikan menggelapkan juga salah satu tugas dari malam? "Apakah ini ada artinya bagi hidupku?" rintih Jatuawitri dalam sesaknya nafas yang dikempit oleh bantalnya sendiri. "Aku tidak bisa menerimanya karena aku merasa diriku orang baik," keluhnya berlanjut, di saat lain sebelumnya dia sempatkan bertanya pada eyangnya tentang kebaikan pula, "Eyang, paman Purana adalah orang yang baik, hatinya lembut, jiwanya bersih, pengamal Wedha yang tekun dan tak pernah menyakiti hati orang lain. Tapi kenapa dia menerima nasib sedemikian buruk? Telinganya dipotong sehingga menjadi perung menjadi cacat seumur hidupnya, Eyang?"

 

    "Purana memang baik, menurut kita dan menurut dirinya. Semua itu terjadi karena memang harus terjadi, tak kan terjadi jika Yang Maha Penjadi tidak mengijinkan. Tahulah kamu Jatu, Purana lupa satu hal, dia sering menguping pembicaraan orang lain tanpa ijin, diam-diam dia mendengarkan kata-kata yang mestinya dia tidak boleh dengar. Itulah kenapa Sang Hyang Widi mengijinkan telinganya diperung." kata Buyut Bashutara sedingin hawa di perbukitan Ambarawa  atau sesenyap tetes-tetes gerimis menerpis permukaan danau Tuntang.

 

     Yang sangat dia sedihkan adalah kenapa laki-laki itu datang untuk menghapus sebagian angan indah akan Raden Bandung, deretan cerita akan peristiwa binar-binar di hatinya yang belum dia curahkan, di sana di ladang jagung saat itu, dia sedang mencabuti helai-helai kelobot yang menyerupai rambut itu dari badan jagung, sementara Raden Bandung membantu mematah-matahkan jagung dengan tangkainya. Sore yang bermatari merah jambu.

 

    "Kakamas, srengenge merahnya agak lain ya? Coba lihat!" telunjuk Jatuawitri mengarah ke ufuk barat di mana matari hampir redup.

 

Raden Bandung terseret pandangannya ke arah telunjuk Jatuawitri.

 

     "Ah kamu Jatu, mulai muncul lagi sajak-sajak dari bibirmu. sebentar lagi tentu kamu akan bilang, ihh Kakamas belalang itu lucu ya, coba lihat loncatannya. Rasanya tidak ada yang tidak indah bagimu Jatu." jawab Raden Bandung.

 

    "Ihh...Kakamas ini, coba lihat tuh, beda kan....beda kan? Biasanya kan merah saga, itu merah jambu!"

 

Laki-laki muda itu menuruti kata-kata Jatuawitri menatap matari surup, tapi diam-diam justru Jatuawitri tak memandang matahari, dia menikmati wajah tampan disampingnya itu yang sedang membiaskan sinar matari. Ah, seandai pria ini tahu betapa hatinya merindu.

 

 

(BERSAMBUNG Ke No. 12. Debar-Debar Ini)

BACK