Saat batin (nurani) dunsanak merasakan sesuatu di hati (dada):
Ketika kisanak berniat memahami (memeriksa) alam terkembang:
BAWALAH PERASAAN TERSEBUT NAIK KE OTAK KANAN.
BAWALAH KEMAMPUAN DAYA PERIKSA tersebut TURUN DARI OTAK KIRI ke segala sesuatu yang dilihat, didengar, dibaui, dikecap, diraba oleh pancaindera.
Nenek moyang kita merealisasikan sunatullah yang serba nan Dua atau syarat atau cupak nan Duo (cupak asli dan cupak buatan) ini menjadi "nan Empat" atau kato nan Ampek Inilah yang sehari-hari disebut sebagai "adat" yang perlu diketahui oleh anak kemenakan.
Cupak asli berada di dada, cupak buatan diletakkan di kepala. Disebut sebagai "cupak asli" karena perasaan atau raso setiap pribadi manusia, takarannya berbeda antar tiap manusia. Setiap orang memiliki takaran sendiri-sendiri.
Dahulu dalam pergaulan sehari-hari tak seorangpun para orang tua-tua kita sudi disebut sebagai "Orang yang tak tahu di nan Ampek" ; atau hidup yang tidak memakai "kali-kali".
Angka adalah "nan Benar" yang ditampakkan Tuhan kepada manusia, dan tak ada manusia yang menolak kebenaran sang bilangan angka tersebut.
Bilangan 4 merupakan angka yang dipilih nenek moyang kita untuk menetapkan klasifikasi dialektika, logika, sistematika segala sesuatu yang ada di alam terkembang ini.
"Cupak buatan" yang ada di otak dapat dibuat takarannya dengan memahami pengelolaan nilai-nilai bilangan angka.
Penyebutan bilangan empat atau tanda kali ini, merupakan simbolisasi kesadaran berlogika-arithmatika di dalam proses kehidupan sehari-hari oleh nenek moyang kita.
Peradaban yang kita capai saat ini adalah hasil pengelolaan angka-angka oleh otak kiri.
Bilangan 4 secara matematis terbukti paling efektif dan efisien untuk pembuatan sistem klasifikasi.