Raso-pareso dalam Kehidupan Manusia

Jalan menuju mesjid dari rumah saya, dapat ditempuh melalui dua arah.
Ke arah kanan, jalannya sedikit menanjak, kemudian agak menurun sampai ke mesjid. Sedangkan bila mengambil arah kiri, jalannya relatif lebih datar, dan lebih panjang jaraknya.

Setiap berangkat ke mesjid, saya selalu mengambil jalan arah ke kiri, dan pulangnya menggunakan jalan yang satunya.
Inilah contoh yang sangat sederhana pemakaian rasa dan periksa yang secara otomatis saya laksanakan ketika hendak berangkat dan pulang dari mesjid.

Ketika berangkat dan saat pulang, saya tak hanya memfungsikan periksa jarak saja, tapi juga mempertimbangkan rasa capek menaiki tanjakan dan rasa senang melihat keramaian serta perasaan-perasaan lainnya.

Sebagian besar pasien saya tak bisa menunjukkan secara tepat gigi yang menjadi sumber rasa sakit, apabila pasien tersebut memiliki lebih dari satu gigi yang berlubang pada sisi rahang yang sama.

Pulpitis atau peradangan syaraf gigi di molare 3 atas, sering dirasakan sebagai sakit yang luar biasa di gigi di molare 3 bawah yang hanya mengalami caries superficialis.

Apabila ada gigi sakit yang pernah dirawat sampai sembuh, dan setelah beberapa waktu kemudian di samping gigi sehat tersebut terserang pulpitis pula, maka yang dirasakan sakit oleh pasien sekarang adalah gigi yang pernah dirawat tersebut.

Objektivitas untuk menunjukkan sumber rasa sakit yang sesungguhnya, hanya dapat terjadi apabila orang tersebut memeriksa (melihat, meraba, mengoyang, menusuk) gigi yang berlubang secara langsung dengan menggunakan alat bantu seperti cermin, sonde, kapas dsb.

Hal seperti ini sangat sulit untuk dipraktekkan sendiri; oleh sebab itu diperlukan bantuan dokter gigi untuk melakukan pemeriksaan dan sekaligus meminta bantuan pengobatannya.

Hidayah merasa dan memeriksa hanya dimiliki oleh manusia. Menurut pemahaman nenek moyang kita, "rasa" berpusat di hati/dada sedangkan "periksa" dilaksanakan oleh otak/kepala.

Oleh karena sentral kedua hidayah ini berlainan lokasinya di tubuh kita, maka diperlukan adagium atau dalil untuk memakai rasa dan periksa.
Dengan adanya adagium atau dalil, maka pemakaian rasa dan periksa mempunyai arahan yang mantap, tidak salah pakai.

Rasa dibawa naik, periksa dibawa turun, dapat menyatukan atau meintegrasikan kedua hidayah ini, sehingga bertemu di otak, dan sekaligus memantapkan eksistensi otak sebagai pusat budaya manusia.

Dengan demikian kedua hidayah akan saling membantu, saling menimbang, saat manusia melakukan aktivitasnya sehari-hari.

Ilustrasi pemakaian rasa dan periksa di dalam kehidupan sehari-hari ini secara sederhana, selalu terjadi dalam kehidupan manusia.

Daya rasa dan daya periksa tak bisa bersatu tanpa kesadaran otak secara fisik, misalnya saat orang sedang tidur atau sedang mabuk.
Itulah sebabnya pembangunan otak sangat vital, terutama saat usia balita serta pemeliharaan otak sesudah itu dengan menjaganya dari pemasukan zat-zat yang tidak halal menurut hukum agama.

Rasa agar dibawa naik, dan periksa supaya dibawa turun; merupakan pesan moral yang selalu dipesankan oleh mamak kepada anak-kemenakannya di Ranah Minang.

Sebagai seorang Bapak dan sekaligus sebagai mamak, penulis juga ingin mengingatkan dan meneruskan petuah rasa periksa ini kepada anak dan kemenakan generasi muda di Nusantara dengan nuansa ilmu pengetahuan masa kini.

Kegiatan merasa serta memeriksa yang dilakukan manusia selagi hidup dengan kesadaran, berkaitan erat dengan berfungsinya otak kanan dan otak kiri, atau pemakaian etika dan logika, atau pelaksanaan zikir dan fikir, atau penggunaan imtak dan iptek, dan sesuai pula dengan perintah Qur'an aqimus sholata wa atuz zakata; aminu wa amilus sholihati.

Kembali ke Halaman Utama