Predestinasi, Kehendak Bebas, dan Tanggung Jawab Manusia

oleh: Pdt. Budi Asali MDiv.


 

Predestinasi, kehendak bebas,

dan tanggung jawab manusia

 

 

1)  Banyak orang Reformed yang tidak setuju dengan istilah free will ( = kehendak bebas).

 

Charles Haddon Spurgeon: “Any man who should deny that man is a free agent might well be thought unreasonable, but free-will is a different thing from free-agency. Luther denounces free-will when he said that ‘free-will is the name for nothing’; and President Edwards demolished the idea in his mastery treatise” (= Orang yang menyangkal bahwa manusia adalah agen bebas akan dianggap tidak masuk akal / tidak rasionil, tetapi kebebasan kehendak berbeda dengan tindakan bebas. Luther mencela kehendak bebas ketika ia berkata bahwa ‘kehendak bebas adalah nama untuk sesuatu yang tidak ada’; dan Presiden Edwards menghancurkan gagasan / idee ini dalam bukunya yang luar biasa) - ‘Spurgeon’s Expository Encyclopedia’, vol 7, hal 10.

 

Robert L. Dabney: “... I have not used the phrase ‘freedom of the will’. I exclude it, because persuaded that it is inaccurate, and that it has occasioned much confusion and error. Freedom is properly predicated of a person, not of a faculty. ... I have preferred therefore to use the phrase, at once popular and exact: ‘free agency’ and ‘free agent’” (= Saya tidak memakai ungkapan ‘kebebasan kehendak’. Saya meniadakannya karena diyakinkan bahwa itu adalah tidak tepat, dan bahwa itu menimbulkan banyak kebingungan dan kesalahan. Kebebasan secara tepat ditujukan kepada seseorang, bukan pada bagian dari jiwa / pikiran. ... Karena itu saya lebih menyukai untuk menggunakan ungkapan yang sekaligus populer dan tepat: ‘tindakan bebas’ dan ‘agen bebas’) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 129.

 

Catatan:

 

·        Istilah ‘agent’ berarti ‘a person that performs actions or is able to do so’ (= seseorang yang melakukan tindakan-tindakan atau yang mampu melakukannya).

 

·        Istilah ‘agency’ berarti ‘action’ (= tindakan) atau ‘the business of a person’ (= kegiatan / kesibukan seseorang).

 

Ini diambil dari Webster’s New World Dictionary.

 

Tetapi karena istilah ‘free will’ sudah begitu populer, dan lebih-lebih dalam kalangan orang awam di Indonesia istilah kehendak bebas sangat populer sedangkan istilah ‘agen bebas’ dan ‘tindakan bebas’ tidak pernah terdengar, maka saya tetap menggunakan istilah free will. Tetapi tentu saja kita harus berhati-hati terhadap penyalahgunaan dari istilah free will ini.

 

2)  Arti yang harus dihindari, dan arti yang benar dari free will ( = kehendak bebas).

 

·        Adanya free will / kehendak bebas tidak berarti bahwa manusia itu bebas secara mutlak.

 

Kalau kita meninjau doktrin Allah (theology), maka kita bisa melihat bahwa satu-satunya makhluk yang bebas mutlak adalah Allah, dan Allah menciptakan segala sesuatu dan membuat segala sesuatu tergantung kepada diriNya (Neh 9:6  Maz 94:17-19  Maz 104:27-30  Kis 17:28  1Tim 6:13  Ibr 1:3). Jadi jelas bahwa manusia tidak bebas secara mutlak, tetapi sebaliknya tergantung kepada Allah.

 

·        Adanya free will / kehendak bebas tidak berarti bahwa manusia selalu bisa / mampu melakukan apa yang ia kehendaki.

 

Ini berlaku dalam hal:

 

*        biasa / jasmani. Misalnya manusia boleh saja ingin terbang, tetapi ia tidak bisa terbang.

 

*        rohani. Orang berdosa di luar Kristus tidak bisa berbuat baik atau datang kepada Kristus dengan kekuatannya sendiri. Bahkan orang kristenpun sering menginginkan hal yang baik tetapi tidak mampu melakukannya (Ro 7:18-23  Mat 26:41).

 

Jadi free will / kehendak bebas tidak berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan apa yang ia kehendaki.

 

·        Adanya free will / kehendak bebas tidak berarti pada saat manapun dalam kehidupannya, manusia itu betul-betul bisa memilih beberapa tindakan sesuai dengan kehendaknya sendiri.

 

Orang Reformed mempercayai bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Allah, dan pasti akan terjadi sesuai kehendak Allah. Karena itu adalah omong kosong kalau kita dalam hal ini beranggapan bahwa manusia betul-betul bisa memilih tindakan sesuai dengan kemauannya. Sebaliknya, ia pasti akan melakukan tindakan yang telah ditentukan oleh Allah.

 

·        Free will / kehendak bebas berarti: semua yang manusia lakukan, ia lakukan sesuai dengan ketetapan Tuhan, tetapi pada saat yang sama, ia tetap melakukan itu karena itu memang adalah kehendaknya / keputusannya. Ia tidak dipaksa oleh Allah untuk melakukan kehendak / ketetapan Allah tersebut. Ia akan secara sukarela melakukan ketetapan Allah tersebut.

 

Bahkan pada saat manusia itu dipaksa untuk melakukan sesuatu, ia tetap melakukan sesuai keputusan / kehendaknya sendiri. Misalnya: seseorang ditodong dan dipaksa untuk menyerahkan uangnya. Ia bisa saja memutuskan untuk melawan, apapun resikonya. Tetapi setelah ia mempertimbangkan resiko kehilangan nyawa / terluka, maka ia mengambil keputusan untuk menyerahkan uangnya. Ini tetap adalah keputusan / kehendak bebasnya. Karena itu sebetulnya ungkapan bahasa Inggris ‘I did it against my will’ (= aku melakukan itu bertentangan kehendakku) adalah sesuatu yang salah.

 

Yang bisa terjadi adalah: sesuatu dilakukan terhadap kita bertentangan dengan kehendak kita. Misalnya kita diikat lalu dibawa ke tempat yang tidak kita ingini. Tetapi ini bukan kita yang melakukan.

 

Jadi, kalau kita melakukan sesuatu, itu karena kita mau / menghendaki untuk melakukan hal itu.

 

3)  Predestinasi tidak menghancurkan kebebasan manusia.

 

Sekalipun Calvinisme mempercayai kedaulatan Allah yang menentukan keselamatan seseorang dan bahkan juga menentukan segala sesuatu yang lain, tetapi Calvinisme tetap mempercayai kebebasan manusia. Mengapa? Karena dalam Kitab Suci kita melihat bahwa sekalipun segala sesuatu terjadi sesuai kehendak / rencana Allah, tetapi pada waktu manusianya melakukan hal itu, ia tidak dipaksa, tetapi melakukannya dengan sukarela.

 

Misalnya:

 

·        Pada waktu mengutus Musa kepada Firaun, Tuhan berkata bahwa Ia akan mengeraskan hati Firaun (Kel 4:21  7:3). Ini menunjukkan bahwa Tuhan sudah menentukan bahwa Firaun tidak akan melepaskan Israel. Tetapi pada waktu Musa sampai kepada Firaun, dikatakan bahwa ‘Firaun mengeraskan hatinya sendiri’ (Kel 7:22  8:15,19,32  9:34-35  14:5).

 

·        Yudas mengkhianati / menyerahkan Yesus sesuai dengan ketetapan Allah (Luk 22:22), tetapi pada waktu Yudas melakukan hal itu, ia betul-betul melakukannya dengan kehendaknya sendiri. Kita tidak melihat bahwa Allah memaksa dia untuk mengkhianati Yesus.

 

·        Orang-orang yang membunuh Yesus melakukan hal itu sesuai dengan apa yang sudah Allah tentukan dari semula (Kis 4:27-28), tetapi pada waktu mereka melakukannya, mereka betul-betul bebas, dan melakukannya atas kehendak mereka sendiri.

 

Sekarang perhatikan beberapa kutipan atau penjelasan dari beberapa ahli theologia Reformed yang jelas mempercayai baik ‘kedaulatan Allah’ maupun ‘kebebasan manusia’.

 

Robert L. Dabney: “... God executes this purpose as to man’s acts, not against but through and with man’s own free will. In producing spiritually good acts, He ‘worketh in man to will and to do’ and determines that he ‘shall be willing in the day of His power’. And in bringing about bad acts, He simply leaves the sinner in circumstances such that he does, of himself only, yet certainly, choose the wrong” (= ... Allah melaksanakan rencanaNya yang berkenaan dengan tindakan manusia, bukan menentang tetapi melalui dan dengan kehendak bebas manusia. Dalam menghasilkan tindakan-tindakan yang baik secara rohani, Ia ‘bekerja dalam manusia untuk menghendaki dan melakukan’ dan menentukan bahwa ia  ‘akan mau pada hari kuasaNya’. Dan untuk menghasilkan tindakan-tindakan yang jahat, Ia hanya membiarkan orang berdosa itu dalam keadaan sedemikian rupa sehingga ia melakukan, hanya dari dirinya sendiri, tetapi dengan pasti, memilih yang jahat / salah) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 223.

 

Catatan: kata-kata yang diletakkan di antara tanda petik itu diambil dari Fil 2:13 dan Maz 110:3 (versi KJV).

 

Charles Hodge: God can control the free acts of rational creatures without destroying either their liberty or their responsibility” (= Allah bisa mengontrol tindakan-tindakan bebas dari makhluk-makhluk rasionil tanpa menghancurkan kebebasan ataupun tanggung jawab mereka) - ‘Systematic Theology’, vol II, hal 332.

 

Saya berpendapat bahwa bagian yang harus diperhatikan dalam kata-kata Charles Hodge ini adalah ‘God can’ (= Allah bisa). Kalau saya membuat film, maka saya akan menyusun naskah, dimana setiap pemain sudah ditentukan harus bertindak apa atau berkata apa. Tetapi selalu ada sedikit kebebasan bagi para pemain. Kalau saya tidak memberikan kebebasan sama sekali, maka para pemain itu akan menjadi robot, yang tidak lagi mempunyai kebebasan apapun. Tetapi Allah berbeda dengan saya atau dengan manusia lain. Allah bisa menentukan dan mengontrol segala sesuatu sampai detail-detail yang sekecil-kecilnya, tanpa menghancurkan kebebasan manusia! Bagaimana Ia bisa melakukan hal itu, merupakan suatu mystery bagi kita, tetapi yang jelas Kitab Suci menunjukkan bahwa Allah memang menentukan dan menguasai segala sesuatu, tetapi manusia tetap mempunyai kebebasan.

 

4)  Karena Predestinasi tidak membuang kebebasan manusia, maka Predestinasi juga tidak membuang tanggung jawab manusia.

 

Ada 2 hal yang dimaksud dengan ‘tanggung jawab’ di sini:

 

a)  Manusia bertanggung jawab / wajib berusaha mentaati Tuhan / Firman Tuhan.

 

Jadi kita tidak boleh hidup apatis / acuh tak acuh dengan alasan bahwa Allah toh sudah menentukan segala sesuatu. Bandingkan dengan Ul 29:29 yang berbunyi: Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini”.

 

‘Hal-hal yang tersembunyi’ menunjuk pada Rencana Allah yang tidak kita ketahui. Ul 29:29 mengatakan bahwa ‘hal-hal yang tersembunyi’ ini ialah bagi Allah, bukan bagi kita! Jadi kita tidak boleh menjadikannya sebagai dasar hidup kita.

 

‘Hal-hal yang dinyatakan’ menunjuk pada hukum Taurat / Firman Tuhan, dan inilah yang harus kita gunakan sebagai dasar hidup kita.

 

Contoh: Tuhan sudah memilih orang-orang tertentu untuk sela­mat dan orang-orang tertentu untuk binasa, tetapi kita tidak tahu siapa yang dipilih untuk selamat dan siapa yang ditentukan untuk binasa. Jadi itu adalah kehendak Allah yang tersembunyi dan tidak boleh kita jadikan dasar / pedoman hidup kita, misalnya dengan berpikir / bersikap seperti ini:

 

·        Sekarang ini saya tidak perlu percaya kepada Yesus. Kalau saya memang ditentukan selamat, nanti pasti akan percaya dengan sendirinya.

 

·        Mungkin orang itu bukan orang pilihan, sehingga hanya membuang-buang waktu dan tenaga untuk menginjili dia. Biarkan saja dia, kalau ternyata dia orang pilihan, toh nanti akan percaya dengan sendirinya.

 

Kita harus hidup berda­sarkan Firman Tuhan (kehendak Allah yang dinyatakan bagi kita), misalnya:

 

¨      Kis 16:31 - perintah untuk percaya kepada Yesus.

 

¨      Mat 28:19-20 - perintah untuk memberitakan Injil kepada semua orang.

 

b)  Manusia harus bertanggung jawab / dihukum karena ketidak-taatannya.

 

Kalau manusia tidak bebas (seperti robot / wayang), maka ia tidak bertanggung jawab atas tindakannya. Tetapi karena ia bebas, maka ia bertanggung jawab.

 

J. I. Packer: “God’s sovereignty and man’s responsibility are taught us side by side in the same Bible; sometimes indeed, in the same text” (= Kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia diajarkan berdampingan dalam Alkitab yang sama; bahkan kadang-kadang dalam text yang sama) - ‘Evangelism and the Sovereignty of God’, hal 22.

 

Dan ia lalu memberikan contoh Luk 22:22 yang berbunyi sebagai berikut: “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan.

 

Kata-kata ‘Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan’ menunjukkan kedaulatan Allah, sedangkan kata-kata  ‘celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan’ menunjukkan adanya tanggung jawab manusia pada waktu ia melakukan apa yang Tuhan tetapkan itu.

 

Memang sepintas lalu, kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia kelihatan sebagai suatu kontradiksi. Ini terlihat dari Ro 9:19 dimana Paulus, setelah mengajarkan Predestinasi dan kedaulatan Allah dalam Ro 9:6-18, lalu menanyakan pertanyaan yang ia perkirakan bakal muncul dalam diri orang yang mendengar ajaran Predestinasi dan kedaulatan Allah.

 

Ro 9:19 - “Sekarang kamu akan berkata kepadaku: ‘Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkanNya? Sebab siapa yang menentang kehendakNya?’”.

 

NASB: “You will say to me then, ‘Why does He still find fault? For who resists His will?’” (= Lalu kamu akan berkata kepadaku: ‘Mengapa Ia masih menyalahkan / mencari kesalahan? Karena siapa yang menahan / menolak kehendakNya?’).

 

KJV / RSV » NASB.

 

NIV: “One of you will say to me: Then why does God still blame us? For who resists his will?” (= Salah satu dari kamu akan berkata kepadaku: Lalu mengapa Allah masih menyalahkan kita? Karena siapa yang menahan / menolak kehendakNya?).

 

Jadi, karena Allah dalam kedaulatanNya sudah menetapkan / mempredestinasikan, dan kehendak Allah pasti terjadi sehingga tidak bisa ditolak, maka orang lalu merasa aneh bahwa manusia masih harus bertanggung jawab / disalahkan oleh Allah.

 

Andaikata Paulus menganggap bahwa karena adanya kedaulatan Allah / Predestinasi maka manusia tidak lagi perlu bertanggung jawab, maka ia akan menjawab dengan berkata: ‘Siapa bilang bahwa Allah menyalahkan kamu? Karena Ia yang menetapkan segala sesuatu dan karena kehendakNya pasti terjadi, maka Ia tidak akan menyalahkan kamu kalau kamu berbuat dosa atau tidak percaya’.

 

Andaikata Paulus memang tidak setuju dengan kedaulatan Allah yang menetapkan segala sesuatu, maka ia akan menjawab pertanyaan itu dengan kata-kata: ‘Allah tidak menetapkan apa-apa, karena itu kamu bertanggung jawab’.

 

Tetapi Paulus tidak menjawab seperti itu. Perhatikan jawaban Paulus dalam Ro 9:20-21: “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: ‘Mengapakah engkau membentuk aku demikian?’ Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?”.

 

Banyak orang kristen yang tidak senang dengan 2 hal yang kelihatan kontradiksi ini, sehingga lalu bersikap salah:

 

·        menekankan kedaulatan Allah dan mengabaikan tanggung jawab manusia. Ini Hyper-Calvinisme / fatalisme! Orang yang belum percaya tidak perlu berusaha untuk percaya, karena kalau mereka sudah dipilih untuk selamat toh nanti akan percaya dengan sendirinya, dan kalau mereka memang ditentukan untuk binasa, maka mereka toh tidak akan bisa percaya. Juga kalau kita sebagai orang kristen bertemu dengan orang yang belum percaya, kita tidak perlu memberitakan Injil kepadanya, karena kalau ia memang orang pilihan nanti ia toh akan percaya dengan sendirinya, dan kalau ia adalah orang yang ditentukan untuk binasa, maka penginjilan kita toh akan sia-sia.

 

·        menekankan tanggung jawab manusia dan mengabaikan kedaulatan Allah. Ini Arminianisme.

 

Calvinisme yang benar memperhatikan baik kedaulatan Allah maupun tanggung jawab manusia.

 

Arthur W. Pink: “Two things are beyond dispute: God is sovereign, man is responsible. ... To emphasize the sovereignty of God, without also maintaining the accountability of the creature, tends to fatalism; to be so concerned in maintaining the responsibility of man, as to lose sight of the sovereignty of God, is to exalt the creature and dishonour the Creator” (= Dua hal tidak perlu diperdebatkan: Allah itu berdaulat, manusia itu bertanggung jawab. ... Menekankan kedaulatan Allah, tanpa juga memelihara pertanggungan jawab dari makhluk ciptaan, cenderung kepada fatalisme; terlalu memperhatikan pemeliharaan tanggung jawab manusia, sehingga tidak mengindahkan kedaulatan Allah, sama dengan meninggikan makhluk ciptaan dan merendahkan sang Pencipta) - ‘The Sovereignty of God’, hal 9.

 

Arthur W. Pink: “We are enjoined to take ‘no thought for the morrow’ (Matt 6:34), yet ‘if any provide not for his own, and specially for those of his own house, he hath denied the faith, and is worse than an infidel’ (1Tim 5:8). No sheep of Christ’s flock can perish (John 10:28,29), yet the Christian is bidden to make his ‘calling and election sure’ (2Peter 1:10). ... These things are not contradictions, but complementaries: the one balances the other. Thus, the Scriptures set forth both the sovereignty of God and the responsibility of man” [= Kita dilarang untuk ‘menguatirkan hari esok’ (Mat 6:34), tetapi  ‘jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman’ (1Tim 5:8). Tidak ada domba Kristus yang bisa binasa (Yoh 10:28-29), tetapi orang kristen diperintahkan untuk membuat ‘panggilan dan pilihannya teguh’ (2Pet 1:10). ... Hal-hal ini tidaklah bertentangan tetapi saling melengkapi: yang satu menyeimbangkan yang lain. Demikian Kitab Suci menyatakan kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia] - ‘The Sovereignty of God’, hal 11.

 

Charles Haddon Spurgeon: “man, acting according to the device of his own heart, is nevertheless overruled by that sovereign and wise legislation ... How these two things are true I cannot tell. ... I am not sure that in heaven we shall be able to know where the free agency of man and the sovereignty of God meet, but both are great truths. God has predestinated everything yet man is responsible” (= manusia, bertindak sesuka hatinya, bagaimanapun dikalahkan / dikuasai oleh pemerintahan yang berdaulat dan bijaksana ... Bagaimana dua hal ini bisa benar saya tidak bisa mengatakan. ... Saya tidak yakin bahwa di surga kita akan bisa mengetahui dimana tindakan bebas manusia dan kedaulatan Allah bertemu, tetapi keduanya adalah kebenaran yang besar. Allah telah mempredestinasikan segala sesuatu tetapi manusia bertanggungjawab) - ‘Spurgeon’s Expository Encyclopedia’, vol 7, hal 10.

 

J. I. Packer, dalam bukunya yang berjudul ‘Evangelism and the Sovereignty of God’ menghubungkan kedaulatan Allah dengan tanggung jawab tertentu dari orang kristen, yaitu pemberitaan Injil. Ia berkata:

 

·        the sovereignty of God in grace is the one thing that prevents evangelism from being pointless. For it creates the possibility - indeed, the certainty - that evangelism will be fruitful” (= kedaulatan Allah dalam kasih karunia adalah satu hal yang mencegah supaya penginjilan tidak menjadi tanpa arti. Karena itu menciptakan kemungkinan - bahkan kepastian - bahwa penginjilan itu akan berbuah) - hal 106.

 

·        “What, then, are we to say about the suggestion that a hearty faith in the absolute sovereignty of God is inimical to evangelism? We are bound to say that anyone who makes this suggestion thereby shows that he has simply failed to understand what the doctrine of divine sovereignty means” (= Lalu apa yang akan kita katakan tentang usul / saran bahwa iman yang sungguh-sungguh kepada kedaulatan mutlak dari Allah bertentangan dengan penginjilan? Kita harus mengatakan bahwa siapapun yang membuat usul / saran itu dengan itu menunjukkan bahwa ia tidak mengerti apa arti dari doktrin kedaulatan ilahi) - hal 125.

 

 

-AMIN-