Bagaimana menaklukkan dan membongkar fitnah/dusta/kepalsuan

Saksi-saksi palsu Yehuwa?

oleh : Pdt. Budi Asali M.Div.


 

b)   Saksi-Saksi Yehuwa berpendapat bahwa Sidang Gereja Nicea tidak berbicara tentang Roh Kudus, dan karena itu tidak mempersoalkan Tritunggal.

 

Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan: “Sampai di sini saudara mungkin bertanya: ‘Jika Tritunggal bukan ajaran Alkitab, bagaimana itu menjadi doktrin Susunan Kristen?’ Banyak orang berpikir bahwa ini dirumuskan pada Konsili di Nicea pada tahun 325 M. Tetapi, hal itu tidak sepenuhnya tepat. Konsili Nicea memang meneguhkan bahwa Kristus adalah dari zat yang sama seperti Allah, dan hal ini menjadi fondasi untuk teologi Tritunggal di kemudian hari. Tetapi konsili ini tidak menyusun Tritunggal, karena dalam konsili itu sama sekali tidak disebutkan mengenai roh kudus sebagai pribadi ketiga dari suatu Keilahian tiga serangkai” - ‘Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 7-8.

 

Saksi-Saksi Yehuwa menambahkan: “Namun, tidak seorang uskup pun di Nicea mengusulkan suatu Tritunggal. Mereka hanya memutuskan sifat dari Yesus tetapi bukan peranan roh kudus. Jika suatu Tritunggal merupakan kebenaran Alkitab yang jelas, tidakkah mereka seharusnya mengusulkannya pada waktu itu?” - ‘Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 8.

Bantahan:

 

1.   Ini merupakan tuduhan konyol dan bodoh, dan mungkin bertujuan menipu orang-orang yang tidak mengerti persoalannya, karena topik yang dibicarakan / diperdebatkan pada saat itu memang adalah tentang Yesus, bukan tentang Roh Kudus, ataupun Allah Tritunggal.

 

Pengakuan Iman Nicea yang asli (tahun 325 M.) membicarakan tentang Roh Kudus hanya dalam satu kalimat pendek ‘Dan kepada Roh Kudus’. Mengapa? Karena pada saat itu yang menjadi topik pembicaraan / perdebatan bukan Roh Kudusnya, tetapi Yesusnya, yaitu apakah Yesus dan Bapa sehakekat dan sama kekalnya atau tidak.

 

Illustrasi:

 

Kalau dalam buku saya ini saya tidak menyerang ajaran gereja Mormon, apakah itu berarti bahwa saya tidak menganggap mereka sesat? Tentu tidak. Saya menganggap mereka sesat, tetapi saya tidak menyerang mereka dalam buku ini, karena pokok yang saya bicarakan dalam buku ini adalah tentang Saksi Yehuwa, bukan Mormon.

 

Kalau saya sedang membahas persoalan ‘keselamatan karena iman saja’, maka tentu saja pada saat itu saya tidak akan membahas persoalan apakah ‘Kitab Suci adalah Firman Tuhan’ atau bukan. Atau, kalau toh saya menyinggung hal itu, saya hanya akan menyinggungnya sepintas lalu. Itu tidak berarti bahwa saya tidak percaya bahwa Kitab Suci adalah Firman Tuhan. Tetapi karena itu bukan pokok yang sedang saya persoalkan, maka saya tidak membahasnya, dan saya menekankan pembahasan pada pokok yang memang ingin saya bahas.

 

Kalau saya sedang berbicara tentang topik ‘Predestinasi’, maka tentu saya tidak akan membahas doktrin Allah Tritunggal. Itu tentu tidak berarti bahwa saya tidak mempercayai doktrin Allah Tritunggal itu.

 

Demikian juga kalau Pengakuan Iman Nicea (325 M.) hanya berbicara sangat sedikit tentang Roh Kudus, itu tidak berarti bahwa Roh Kudus tidak dipercaya sebagai Allah / Tuhan. Loraine Boettner mengatakan bahwa Athanasius telah mengajarkan Keallahan yang benar dari Roh Kudus (‘Studies in Theology’, hal 128). Dan Louis Berkhof mengatakan bahwa Athanasius telah mengajarkan bahwa sama seperti Kristus, Roh Kudus mempunyai zat yang sama (HOMOOUSIOS) dengan Bapa (‘The History of Christian Doctrines’, hal 90).

 

Pengakuan Iman Nicea (325 M.) hanya berbicara sangat sedikit tentang Roh Kudus, karena pada saat itu, Roh Kudus bukanlah pokok yang sedang dibicarakan / diperdebatkan.

 

Loraine Boettner: “But so absorbed had the Council been in working out the doctrine concerning the Person of Christ that it omitted to make any definite statement concerning the Holy Spirit. ... It was but natural that until the question concerning the Person and nature of the Son was settled not much progress could be made in the development of the doctrine of the Holy Spirit (= Tetapi Sidang Gereja itu begitu asyik / sibuk dengan memecahkan / menyusun / menentukan doktrin mengenai Pribadi dari Kristus sehingga Sidang Gereja itu mengabaikan untuk membuat pernyataan yang pasti / nyata / tertentu mengenai Roh Kudus. ... Merupakan sesuatu yang alamiah / wajar bahwa sampai pertanyaan mengenai Pribadi dan hakekat dari Anak dibereskan, tidak banyak kemajuan bisa dibuat dalam perkembangan dari doktrin tentang Roh Kudus) - ‘Studies in Theology’, hal 127-128.

 

Philip Schaff: “The Arian controversy relates primarily to the deity of Christ, but in its course it touches also the deity of the Holy Ghost, and embraces therefore the whole mystery of the Holy Trinity and the incarnation of God, which is the very centre of the Christian revelation” (= Perdebatan / pertentangan Arian terutama berhubungan dengan keilahian dari Kristus, tetapi dalam perjalanannya itu juga menyentuh keilahian dari Roh Kudus, dan karena itu mencakup seluruh misteri dari Tritunggal yang Kudus dan inkarnasi dari Allah, yang merupakan pusat dari wahyu Kristen) - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 618.

 

Catatan: Perhatikan kata ‘primarily’ (= terutama) dan ‘touches’ (= menyentuh) yang saya garis bawahi itu. Ini jelas menunjukkan bahwa sebetulnya yang dibicarakan adalah keilahian Kristus, tetapi dalam pembicaraan tentang hal utama itu, lalu menyentuh juga tentang keilahian Roh Kudus, Tritunggal, dan inkarnasi.

 

Philip Schaff: “... the council not caring to do more than meet the immediate exigency. The direct concern was only to establish the doctrine of the true deity of the Son. The deity of the Holy Spirit, though inevitably involved, did not come up as a subject of special discussion, and therefore the synod contented itself on this point with the sentence: ‘And (we believe) in the Holy Ghost.’” [= ... Sidang Gereja itu tidak mau melakukan lebih dari menangani keadaan darurat pada saat itu. Perhatian yang langsung hanyalah meneguhkan doktrin tentang keilahian yang benar dari Anak. Keilahian dari Roh Kudus, sekalipun secara tak terhindarkan ikut terlibat, tidak muncul sebagai suatu pokok pembicaraan khusus, dan karena itu dalam persoalan ini Sidang Gereja itu puas dengan kalimat: ‘Dan (aku percaya) kepada Roh Kudus’.] - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 629.

 

Philip Schaff: “The doctrine of the Holy Spirit was far less developed, and until the middle of the fourth century was never a subject of special controversy. ... the original Nicene Creed breaks off abruptly with the words: ‘And in the Holy Spirit;’” (= Doktrin dari Roh Kudus jauh lebih tidak berkembang, dan sampai pertengahan dari abad keempat tidak pernah merupakan suatu pokok perdebatan yang khusus. ... Pengakuan Iman Nicea yang orisinil berhenti dengan mendadak dengan kata-kata: ‘Dan kepada Roh Kudus;’) - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 560.

 

Pengakuan Iman Nicea (325 M.): “We believe in one God, the Father Almighty, Maker of all things visible and invisible. And in one Lord Jesus Christ, the Son of God, begotten of the Father (the only-begotten, i.e., of the essence of the Father, God of God, and) Light of Light, very God of very God, begotten, not made, being of one substance with the Father; by whom all things were made (in heaven and on earth); who for us men, and for our salvation, came down and was incarnate and was made man; he suffered, and the third day he rose again, ascended into heaven; from thence he cometh to judge the quick and the dead. And in the Holy Ghost. (And those who say: there was a time when he was not; and: he was not before he was made; and, he was made out of nothing, or out of another substance or thing, or the Son of God is created, or changeable, or alterable; - they are condemned by the holy catholic and apostolic church)” [= Kami percaya kepada satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta dari segala sesuatu yang kelihatan dan tidak kelihatan. Dan kepada satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, diperanakkkan dari Bapa (satu-satunya yang diperanakkan, yaitu, dari hakekat dari Bapa, Allah dari Allah, dan) Terang dari Terang, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, diperanakkan, bukan dicipta, sehakekat dengan sang Bapa; oleh siapa segala sesuatu dicipta (di sorga dan di bumi); yang untuk kita manusia, dan untuk keselamatan kita, telah turun dan diinkarnasikan dan dijadikan manusia; Ia menderita, dan pada hari ketiga Ia bangkit kembali, naik ke sorga; dari mana Ia akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Dan kepada Roh Kudus. (Dan mereka yang berkata: ada saat dimana Ia tidak ada; dan: Ia tidak ada sebelum Ia dicipta; dan, Ia dicipta dari tidak ada menjadi ada, atau dari zat atau hal yang lain, atau Anak Allah dicipta, atau bisa berubah; mereka dikecam / dikutuk oleh gereja am dan rasuli yang kudus)] - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 668-669.

 

Tentang Roh Kudus, baru dipersoalkan dalam Sidang Gereja Konstantinople, pada tahun 381 M. Sidang Gereja ini lalu merevisi Pengakuan Iman Nicea sehingga menjadi Pengakuan Iman Nicea-Konstantinople, yang:

 

·        membuang kalimat kutukan / kecaman pada akhir dari Pengakuan Iman Nicea yang asli, dan menggantinya dengan kepercayaan terhadap gereja yang kudus dan am, baptisan dan sebagainya.

 

·        berbicara secara lebih panjang tentang Roh Kudus, dan jelas menyatakan Roh Kudus sebagai Tuhan yang harus disembah dan dimuliakan bersama-sama dengan Bapa dan Anak.

 

Pengakuan Iman Nicea-Konstantinople (381 M.): “We believe in one God, the Father Almighty, Maker of heaven and earth, and of all things visible and invisible. And in one Lord Jesus Christ, the only-begotten Son of God, begotten of the Father before all worlds, Light of Light, very God of very God, begotten, not made, being of one substance with the Father; by whom all things were made; who for us men, and for our salvation, came down from heaven, and was incarnate by the Holy Ghost of the Virgin Mary, and was made man; he was crucified for us under Pontius Pilate, and suffered, and was buried, and the third day he rose again, according to the Scripture, and ascended into heaven, and sitteth on the right hand of the Father; from thence he cometh again, with glory, to judge the quick and the dead; whose kingdom shall have no end. And in the Holy Ghost, who is Lord and Giver of life, who proceedeth from the Father, who with the Father and the Son together is worshiped and glorified, who spake by the prophets. In one holy catholic and apostolic church; we acknowledge one baptism for the remission of sins; we look for the resurrection of the dead, and the life of the world to come. Amen.” [= Kami percaya kepada satu Allah Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, dan segala yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Dan kepada satu Tuhan Yesus Kristus, satu-satunya Anak Allah yang diperanakkan, diperanakkan dari Bapa sebelum alam semesta, Terang dari Terang, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, diperanakkan, bukan dicipta, sehakekat dengan sang Bapa, oleh siapa segala sesuatu dicipta; yang untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita telah turun dari sorga, dan diinkarnasikan oleh Roh Kudus dari anak dara Maria, dan dijadikan manusia; Ia telah disalibkan untuk kita, di bawah Pontius Pilatus, dan menderita, dan dikuburkan, dan pada hari ketiga ia bangkit kembali, sesuai dengan Kitab Suci, dan naik ke sorga; dan duduk di sebelah kanan Bapa; dari mana Ia akan datang kembali, dengan kemuliaan, untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati; yang kerajaanNya takkan berakhir. Dan kepada Roh Kudus, Tuhan dan Pemberi kehidupan, yang keluar dari Bapa, yang bersama-sama dengan Bapa dan Anak disembah dan dimuliakan, yang berfirman oleh nabi-nabi. (Dan kami percaya) kepada gereja am dan rasuli yang kudus, kami mengakui satu baptisan untuk pengampunan dosa, kami mengharapkan kebangkitan orang mati, dan kehidupan di dunia yang akan datang. Amin.] - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 668-669.

 

Pengakuan Iman ini lalu direvisi lagi dalam Sidang Gereja Toledo tahun 589 M. Pengakuan Iman Nicea-Konstantinople-Toledo sama persis dengan Pengakuan Iman Nicea-Konstantinople, kecuali dalam kalimat / kata-kata tentang Roh Kudus yang mula-mula hanya berbunyi: “who proceedeth from the Father” (= yang keluar dari Bapa), yang lalu diubah / ditambahi sehingga menjadi: “who proceedeth from the Father and the Son (= yang keluar dari Bapa dan Anak).

 

Catatan:

 

·        tambahan itu dikenal dengan istilah bahasa Latin ‘filioque’ (= dan dari Anak).

 

·        Gereja-gereja Orthodox (Yunani, Syria, dsb) tidak mengakui penambahan ini; sehingga akhirnya penambahan ini menimbulkan perpecahan antara Gereja Roma Katolik dengan Gereja-gereja Orthodox.

 

·        Pengakuan Iman Nicea yang banyak dipakai gereja-gereja pada saat ini pada umumnya adalah Pengakuan Iman Nicea-Konstantinople-Toledo.

 

2.   Dengan cara yang sama saya bisa menyerang Saksi-Saksi Yehuwa dengan serangan sebagai berikut:

 

a.   Dalam buku tipis mereka berjudul ‘Saksi-Saksi Yehuwa, Siapakah Mereka? Apakah yang Mereka Percayai?’, hal 13, dituliskan ‘Inti Kepercayaan Saksi-Saksi Yehuwa’ sebanyak 42 point / hal, tetapi anehnya di sini sedikitpun tak disinggung apapun berkenaan dengan ‘Roh Kudus’. Apakah Saksi-Saksi Yehuwa bisa menyetujui kalau saya menyimpulkan dari sini, sesuai dengan cara yang mereka lakukan dalam serangan mereka di sini, bahwa Saksi Yehuwa tak punya ajaran apapun tentang Roh Kudus?

 

b.   Dalam buku mereka berjudul ‘Tokoh Terbesar Sepanjang Masa’, terus menerus diceritakan tentang Yesus, tetapi sangat sedikit tentang Bapa / Yehuwa ataupun Roh Kudus. Apakah Saksi-Saksi Yehuwa bisa menyetujui kalau saya menyimpulkan dari sini, sesuai dengan cara yang mereka lakukan dalam serangan mereka di sini, bahwa Saksi Yehuwa tidak punya ajaran apapun tentang Yehuwa maupun tentang Roh Kudus?

 

c)   Peranan Kaisar Konstantin dalam Sidang Gereja Nicea.

 

Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan: “Konstantin bukan seorang Kristen. ... baru dibaptis pada waktu sedang terbaring sekarat. ... Peranan apa yang dimainkan oleh kaisar yang tidak dibaptis ini di Konsili Nicea? Encyclopĉdia Britannica menceritakan: ‘Konstantin sendiri menjadi ketua, dengan aktif memimpin pertemuan dan secara pribadi mengusulkan ... rumusan penting yang menyatakan hubungan Kristus dengan Allah dalam kredo yang dikeluarkan oleh konsili tersebut, ‘dari satu zat dengan Bapa’ ... Karena sangat segan terhadap kaisar, para uskup, kecuali dua orang saja, menandatangani kredo itu, kebanyakan dari mereka dengan sangat berat hati.’” - ‘Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 8.

Bantahan:

 

Tentang peranan Kaisar Konstantin dalam Sidang Gereja Nicea, ada beberapa hal yang ingin saya berikan sebagai jawaban:

 

1.   Kata-kata yang saya beri garis bawah tunggal itu, yang menyatakan bahwa dalam Sidang Gereja Nicea kaisar Konstantin secara aktif mengusulkan bahwa Anak itu ‘dari satu zat dengan Bapa’, tidak bisa saya dapatkan dalam Encyclopedia Britannica 2000.

 

Saya menelusuri seadanya topik yang bisa saya pikirkan berkenaan dengan hal itu dalam Encyclopedia Britannica 2000, tetapi saya tidak menemukan kata-kata yang menunjukkan bahwa kaisar Konstantine sendiri secara pribadi mengusulkan istilah HOMOOUSIOS ( zat yang sama). Sebagai bukti saya memberikan kutipan-kutipan dari Encyclopedia Britannica 2000 dengan seadanya topik yang berhubungan dengan Pengakuan Iman Nicea.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Arius’:

“Christian priest of Alexandria, Egypt, whose teachings gave rise to a theological doctrine known as Arianism, which, in affirming the created, finite nature of Christ, was denounced by the early church as a major heresy. An ascetical, moral leader of a Christian community in the area of Alexandria, Arius attracted a large following through a message integrating Neoplatonism, which accented the absolute oneness of the divinity as the highest perfection, with a literal, rationalist approach to the New Testament texts. This point of view was publicized about 323 through the poetic verse of his major work, Thalia ("Banquet"), and was widely spread by popular songs written for labourers and travelers. The Council of Nicaea, in May 325, declared Arius a heretic after he refused to sign the formula of faith stating that Christ was of the same divine nature as God. Influential support from colleagues in Asia Minor and from Constantia, the emperor Constantine I's daughter, succeeded in effecting Arius' return from exile and his readmission into the church after consenting to a compromise formula. Shortly before he was to be reconciled, however, Arius collapsed and died while walking through the streets of Constantinople”.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Arianism’:

“a Christian heresy first proposed early in the 4th century by the Alexandrian presbyter Arius. It affirmed that Christ is not truly divine but a created being. Arius’ basic premise was the uniqueness of God, who is alone self-existent and immutable; the Son, who is not self-existent, cannot be God. Because the Godhead is unique, it cannot be shared or communicated, so the Son cannot be God. Because the Godhead is immutable, the Son, who is mutable, being represented in the Gospels as subject to growth and change, cannot be God. The Son must, therefore, be deemed a creature who has been called into existence out of nothing and has had a beginning. Moreover, the Son can have no direct knowledge of the Father since the Son is finite and of a different order of existence. According to its opponents, especially the bishop Athanasius, Arius’ teaching reduced the Son to a demigod, reintroduced polytheism (since worship of the Son was not abandoned), and undermined the Christian concept of redemption since only he who was truly God could be deemed to have reconciled man to the Godhead. The controversy seemed to have been brought to an end by the Council of Nicaea (AD 325), which condemned Arius and his teaching and issued a creed to safeguard orthodox Christian belief. This creed states that the Son is homoousion to Patri (‘of one substance with the Father’), thus declaring him to be all that the Father is: he is completely divine. In fact, however, this was only the beginning of a long-protracted dispute. From 325 to 337, when the emperor Constantine died, the Arian leaders, exiled after the Council of Nicaea, tried by intrigue to return to their churches and sees and to banish their enemies. They were partly successful. From 337 to 350 Constans, sympathetic to the orthodox Christians, was emperor in the West, and Constantius II, sympathetic to the Arians, was emperor in the East. At a church council held at Antioch (341), an affirmation of faith that omitted the homoousion clause was issued. Another church council was held at Sardica (modern Sofia) in 342, but little was achieved by either council. In 350 Constantius became sole ruler of the empire, and under his leadership the Nicene party (orthodox Christians) was largely crushed. The extreme Arians then declared that the Son was ‘unlike’ (anomoios) the Father. These anomoeans succeeded in having their views endorsed at Sirmium in 357, but their extremism stimulated the moderates, who asserted that the Son was ‘of similar substance’ (homoiousios) with the Father. Constantius at first supported these homoiousians but soon transferred his support to the homoeans, led by Acacius, who affirmed that the Son was ‘like’ (homoios) the Father. Their views were approved in 360 at Constantinople, where all previous creeds were rejected, the term ousia (‘substance,’ or ‘stuff’) was repudiated, and a statement of faith was issued stating that the Son was ‘like the Father who begot him.’ After Constantius’ death (361), the orthodox Christian majority in the West consolidated its position. The persecution of orthodox Christians conducted by the (Arian) emperor Valens (364-378) in the East and the success of the teaching of Basil the Great of Caesarea, Gregory of Nyssa, and Gregory of Nazianzus led the homoiousian majority in the East to realize its fundamental agreement with the Nicene party. When the emperors Gratian (367-383) and Theodosius I (379-395) took up the defense of orthodoxy, Arianism collapsed. In 381 the second ecumenical council met at Constantinople. Arianism was proscribed, and a statement of faith, the Nicene Creed, was approved. Although this ended the heresy in the empire, Arianism continued among some of the Germanic tribes to the end of the 7th century. In modern times some Unitarians are virtually Arians in that they are unwilling either to reduce Christ to a mere human being or to attribute to him a divine nature identical with that of the Father. The Christology of Jehovah’s Witnesses, also, is a form of Arianism; they regard Arius as a forerunner of Charles Taze Russell, the founder of their movement”.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Nicaea’, ‘homoousian’:

“in Christianity, an adherent of the doctrine formulated at the Council of Nicaea (325) to affirm that God the Son and God the Father are of the same substance. The council, presided over by the Roman emperor Constantine, intended the condemnation of Arianism, which taught that Christ was more than human but not truly divine. The use of homoousios (Greek: ‘of one substance,’ or ‘of one essence’) in the Nicene Creed was meant to put an end to the controversy, but Arianism revived within the church, and it was not until 381 at the second ecumenical council (first Council of Constantinople) that a creed (also containing the word homoousios) was accepted as a definitive statement of orthodox belief”.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Nicaea, Council of’:

“(325), the first ecumenical council of the Christian church, meeting in ancient Nicaea (now Iznik, Tur.). It was called by the emperor Constantine I, an unbaptized catechumen, or neophyte, who presided over the opening session and took part in the discussions. He hoped a general council of the church would solve the problem created in the Eastern church by Arianism, a heresy first proposed by Arius of Alexandria that affirmed that Christ is not divine but a created being. Pope Sylvester I did not attend the council but was represented by legates. The council condemned Arius and, with reluctance on the part of some, incorporated the nonscriptural word homoousios (‘of one substance’) into a creed (the Nicene Creed) to signify the absolute equality of the Son with the Father. The emperor then exiled Arius, an act that, while manifesting a solidarity of church and state, underscored the importance of secular patronage in ecclesiastical affairs”.

 

Catatan: Perhatikan bagian yang saya beri garis bawah ganda, yang berbunyi:

‘The council condemned Arius and, with reluctance on the part of some, incorporated the nonscriptural word homoousios (‘of one substance’) into the creed (the Nicene Creed) to signify the absolute equality of the Son with the Father’ [= Sidang Gereja itu mengecam Arius dan, dengan keseganan pada pihak dari beberapa orang / sebagian orang, memasukkan kata yang tidak Alkitabiah / tidak ada dalam Alkitab homoousios (‘dari satu zat’) ke dalam credo / Pengakuan Iman (Pengakuan Iman Nicea) untuk menunjukkan kesetaraan yang mutlak dari Anak dengan Bapa].

 

Bagian yang saya garis bawahi ini dibesar-besarkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa dengan mengatakan: Karena sangat segan terhadap kaisar, para uskup, kecuali dua orang saja, menandatangani kredo itu, kebanyakan dari mereka dengan sangat berat hati.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Trinity: Jesus Christ: Nicaea’:

“To meet the challenge of Arianism, which threatened to split the church, the newly converted emperor Constantine convoked in 325 the first ecumenical council of the Christian church at Nicaea. The private opinions of the attending bishops were anything but unanimous, but the opinion that carried the day was that espoused by the young presbyter Athanasius, who later became bishop of Alexandria. The Council of Nicaea determined that Christ was “begotten, not made,” that he was therefore not creature but creator. It also asserted that he was “of the same essence as the Father” (homoousios to patri). In this way it made clear its basic opposition to subordinationism”.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Constantine’, ‘ancient Rome, the reign of Constantine’:

“... The Arian heresy raised even more difficulties: Arius, an Alexandrian priest and disciple of Lucian of Antioch, questioned the dogma of the Trinity and of the Godhead of Christ, and his asceticism, as well as the sharpness of his dialectics, brought him many followers; he was convicted several times, but the disorders continued. Constantine, solicited by both sides and untroubled by doctrinal nuances that were, moreover, foreign to most believers in the West, wished to institute a universal creed; with this in mind he convened the general Council of Nicaea, or Nicene Council, in 325. He condemned Arius and declared, in spite of the Easterners, that Jesus was ‘of one substance’ with God the Father. Nevertheless, the heresy continued to exist, for Constantine changed his mind several times; he was influenced by Arian or semi-Arian bishops and was even baptized on his deathbed, in 337, by one of them, Eusebius of Nicomedia.

 

Catatan: Kutipan ini memang mengatakan bahwa Konstantine mengecam Arius, dan menyatakan bahwa Yesus adalah ‘dari satu zat’ dengan Allah Bapa. Tetapi itu tidak berarti bahwa ia yang mengusulkan istilah itu, dan juga tidak menunjukkan bahwa ia sendiri saja yang memutuskan seluruh persoalan itu.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Nicaea’, ‘Constantine I: Commitment to Christianity’:

“the Arian heresy, with its intricate explorations of the precise nature of the Trinity that were couched in difficult Greek, was as remote from Constantine’s educational background as it was from his impatient, urgent temperament. The Council of Nicaea, which opened in the early summer of 325 with an address by the Emperor, had already been preceded by a letter to the chief protagonist, Arius of Alexandria, in which Constantine stated his opinion that the dispute was fostered only by excessive leisure and academic contention, that the point at issue was trivial and could be resolved without difficulty. His optimism was not justified: neither this letter nor the Council of Nicaea itself nor the second letter, in which Constantine urged acceptance of its conclusions, was adequate to solve a dispute in which the participants were as intransigent as the theological issues were subtle. Indeed, for more than 40 years after the death of Constantine, Arianism was actually the official orthodoxy of the Eastern Empire”.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Athanasius, Saint’:

“theologian, ecclesiastical statesman, and Egyptian national leader; he was the chief defender of Christian orthodoxy in the 4th-century battle against Arianism, the heresy that the Son of God was a creature of like, but not of the same, substance as God the Father. His important works include The Life of St. Antony and Four Orations Against the Arians. Life and major works. Athanasius received his philosophical and theological training at Alexandria; in 325 he attended Bishop Alexander of Alexandria as deacon at the Council of Nicaea. A recognized theologian and ascetic, Athanasius was the obvious candidate to succeed Alexander when the latter died in 328. The first years of his episcopate were devoted to visitation of his extensive patriarchate, which included all of Egypt and Libya. During this time he established important contacts with the Coptic monks of Upper Egypt and their leader Pachomius. Soon began the struggle with imperialist and Arian churchmen that occupied much of his life. He used political influence against the Meletians, followers of the schismatic bishop Meletius of Lycopolis, who had gone back on the plans made at Nicaea for their reunion with the church; but he refuted specific charges of mistreatment of Arians and Meletians before a hostile gathering of bishops at Tyre (in modern Lebanon) in 335, which he refused to recognize as a general council of the church. When both parties met the emperor Constantine at Constantinople in 336, Athanasius was accused of threatening to interfere with the grain supply from Egypt, and without any formal trial Constantine exiled him to the Rhineland. The Emperor’s death in 337 allowed Athanasius to return to Alexandria, but Constantine’s son Constantius, emperor in the East, renewed the order of banishment in 338. Athanasius took refuge at Rome under the protection of Constantius’ brother Constans, emperor in the West. An Arian bishop, Gregory, was installed at Alexandria; Athanasius, however, kept in touch with his flock through the annual Festal Letters announcing the date of Easter. Pope Julius I wrote in vain on his behalf, and the general council called for 343 was no more successful--only Western and Egyptian bishops met at Sardica (modern Sofia, Bulg.), and their appeal for Athanasius was not accepted in the East. In 346, however, Constans’ influence secured his return to Egypt, where he was welcomed as a popular hero. Athanasius’ ‘golden decade’ of peace and prosperity followed, during which he assembled documents relating to his exiles and returns in the Apology Against the Arians. Nevertheless, after the death of Constans in 350 and the following civil war, Constantius, as sole emperor, resumed his pro-Arian policy. Again political charges were brought against Athanasius, his banishment was repeated, and in 356 an attempt was made to arrest him during a vigil service. This time he withdrew to Upper Egypt, where he was protected in monasteries or friendly houses. In exile he completed his massive theological work Four Orations Against the Arians and defended his conduct in the Apology to Constantius and Apology for His Flight. The Emperor’s persistence and reports of persecution at Alexandria under the new Arian bishop George led him, in the more violent History of the Arians, to treat Constantius as a precursor of Antichrist. The death of Constantius, followed by the murder of the unpopular George in 361, allowed Athanasius to return triumphantly once more to his see. In 362 he convened a council at Alexandria during which he appealed for unity among those who held the same faith but differed in terminology. The way was thus prepared for the orthodox doctrine of the Trinity-- ‘three Persons in one substance’--which stresses distinctions in the Godhead more than Athanasius usually had done. The new emperor, Julian the Apostate, rather petulantly ordered Athanasius to leave Alexandria, and he sailed up the Nile again, remaining in exile in Upper Egypt until Julian’s death in 363. In 365 the emperor Valens, who favoured Arianism, ordered his exile once more, but this time the popular bishop merely moved to the outskirts of Alexandria for a few months until the local authorities persuaded the Emperor to reconsider. Finally, Athanasius spent a few years in peace before his death in 373”.

 

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Eusebius of Caesarea’:

Eusebius was baptized and ordained at Caesarea, where he was taught by the learned presbyter Pamphilus, to whom he was bound by ties of respect and affection and from whom he derived the name "Eusebius Pamphili" (the son or servant of Pamphilus). Pamphilus came to be persecuted for his beliefs by the Romans and died in martyrdom in 310. Eusebius may himself have been imprisoned by the Roman authorities at Caesarea, and he was taunted many years later with having escaped by performing some act of submission. The work of the scholars of the Christian school at Caesarea extended into all fields of Christian writing. Eusebius himself wrote voluminously as apologist, chronographer, historian, exegete, and controversialist, but his vast erudition is not matched by clarity of thought or attractiveness of presentation. His fame rests on his Ecclesiastical History, which he probably began to write during the Roman persecutions and revised several times between 312 and 324. In this work Eusebius produced what may be called, at best, a fully documented history of the Christian church, and, at worst, collections of passages from his sources. In the Ecclesiastical History Eusebius constantly quotes or paraphrases his sources, and he thus preserved portions of earlier works that are no longer extant. He had already compiled his Chronicle, which was an outline of world history, and he carried this annalistic method over into his Ecclesiastical History, constantly interrupting his narrative of the church's history to insert the accession of Roman emperors and of the bishops of the four great sees (Alexandria, Antioch, Jerusalem, and Rome). He enlarged his work in successive editions to cover events down to 324, the year before the Council of Nicaea. Eusebius, however, was not a great historian. His treatment of heresy, for example, is inadequate, and he knew next to nothing about the Western church. His historical works are really apologetic, showing by facts how the church had vindicated itself against heretics and heathens. Eusebius became bishop of Caesarea (in Palestine) about 313. When about 318 the theological views of Arius, a priest of Alexandria, became the subject of controversy because he taught the subordination of the Son to the Father, Eusebius was soon involved. Expelled from Alexandria for heresy, Arius sought and found sympathy at Caesarea, and, in fact, he proclaimed Eusebius as a leading supporter. Eusebius did not fully support either Arius or Alexander, bishop of Alexandria from 313 to 328, whose views appeared to tend toward Sabellianism (a heresy that taught that God was manifested in progressive modes). Eusebius wrote to Alexander, claiming that Arius had been misrepresented, and he also urged Arius to return to communion with his bishop. But events were moving fast, and at a strongly anti-Arian synod at Antioch, about January 325, Eusebius and two of his allies, Theodotus of Laodicea and Narcissus of Neronias in Cilicia, were provisionally excommunicated for Arian views. When the Council of Nicaea, called by the Roman emperor Constantine I, met later in the year, Eusebius had to explain himself and was exonerated with the explicit approval of the emperor. In the years following the Council of Nicaea, the emperor was bent on achieving unity within the church, and so the supporters of the Nicene Creed in its extreme form soon found themselves forced into the position of dissidents. Eusebius took part in the expulsion of Athanasius of Alexandria (335), Marcellus of Ancyra (c. 336), and Eustathius of Antioch (c. 337). Eusebius remained in the emperor's favour, and, after Constantine's death in 337, he wrote his Life of Constantine, a panegyric that possesses some historical value, chiefly because of its use of primary sources. Throughout his life Eusebius also wrote apologetic works, commentaries on the Bible, and works explaining the parallels and discrepancies in the Gospels.

 

Jadi, menurut saya, di sini lagi-lagi Saksi-Saksi (palsu) Yehuwa ini sudah menyatakan suatu dusta.

 

2.   Bahwa Konstantine yang mengusulkan istilah HOMOOUSIOS (= zat yang sama), merupakan sesuatu yang tidak mungkin, karena:

 

a.   Pada saat perdebatan itu baru mulai (tahun 320 M., 5 tahun sebelum Sidang Gereja Nicea!), antara Arius (penatua dari kota Alexandria) dengan Alexander (uskup dari kota Alexandria), persoalan apakah Yesus dan Bapa itu mempunyai zat yang sama atau berbeda, sudah muncul.

 

Albert H. Freundt Jr.: “Arianism was concerned with defining the precise relationship of the Son to the Father. ... Arianism arose around 320 in Alexandria, in Egypt. ... Arius was a popular presbyter in the city of Alexandria. He began the controversy by attacking the views of his bishop, Alexander, who held that Jesus was of the same essential being with the Father and that there was never a time in which he did not exist. Arius began to teach that the Son had a beginning, through a creative act of God, that Christ was not of the same substance as the Father; he was a secondary deity, and subordinate to the Father” (= Arianisme prihatin dengan pendefinisian hubungan yang tepat dari Anak dengan Bapa. ... Arianisme muncul pada sekitar tahun 320 di Alexandria, di Mesir. ... Arius adalah seorang penatua yang populer di kota Alexandria. Ia memulai perdebatan dengan menyerang pandangan dari uskupnya, Alexander, yang mempunyai pandangan bahwa Yesus adalah dari keberadaan hakiki yang sama dengan Bapa dan bahwa tidak pernah ada saat dimana Ia tidak ada. Arius mulai mengajar bahwa Anak mempunyai permulaan, melalui suatu tindakan penciptaan dari Allah, bahwa Kristus bukan dari zat yang sama dengan Bapa; Ia adalah allah sekunder, dan lebih rendah dari Bapa) - ‘Early Christianity’, hal 48.

 

b.   Kenneth Scott Latourette mengatakan bahwa pada pertentangan antara dua Dionysius pada tahun 260 M., Dionysius dari Roma sudah mendesak Dionysius dari Alexandria, untuk berhati-hati dengan kata-kata yang ia gunakan, dan ia harus membuat jelas bahwa Anak adalah HOMOOUSION (= dari zat yang sama) dengan Bapa, bukan sekedar HOMOIOUSION (dari zat yang mirip) - ‘A History of Christianity’, vol I, hal 152.

 

c.   Kaisar Konstantine adalah orang awam dalam kekristenan / theologia, sehingga tidak mungkin bisa mencetuskan istilah theologia yang begitu dalam seperti HOMOOUSIOS.

 

Kenneth Scott Latourette: “Whether Constantine appreciated the niceties of the questions at issue is highly doubtful, for he was a layman, a warrior and administrator, not a philosopher or an expert theologian. In his letter to Alexander and Arius he said that having made ‘careful inquiry into the origin and foundation of these differences’ he found ‘the cause to be of a truly insignificant character and quite unworthy of such fierce contention,’” [= Apakah Konstantine mengerti hal-hal yang begitu dalam (njlimet) dari pertanyaan-pertanyaan / persoalan-persoalan yang diperselisihkan merupakan sesuatu yang sangat meragukan, karena ia adalah seorang awam, seorang pejuang dan pemimpin, bukan seorang ahli filsafat atau seorang ahli theologia yang ahli. Dalam suratnya kepada Alexander dan Arius ia berkata bahwa setelah membuat ‘penyelidikan yang seksama ke dalam asal usul dan dasar dari perbedaan-perbedaan ini’ ia mendapatkan ‘penyebabnya adalah sungguh-sungguh bersifat tidak penting dan betul-betul tidak layak untuk suatu perdebatan yang sengit seperti itu’] - ‘A History of Christianity’, vol I, hal 153.

 

Tetapi Kenneth Scott Latourette, ‘A History of Christianity’, vol I, hal 154-155, menceritakan bahwa dalam Sidang Gereja Nicea itu, Eusebius dari Kaisarea mengambil posisi tengah antara mereka yang bertikai (Alexander dan pendukungnya vs Arius dan pendukungnya), dan mengusulkan suatu credo / Pengakuan Iman yang berbunyi sebagai berikut:

“We believe in one God, the Father Almighty, maker of all things, visible and invisible, and in one Lord, Jesus Christ, the word (Logos) of God, God from God, light from light, life from life, the only-begotten Son, first-born of all creatures, begotten of the Father before all ages, by whom also all things were made; who for our salvation was made flesh and dwelt among men; and who suffered and rose again on the third day, and ascended to the Father and shall come again in glory to judge the living and the dead. We believe also in one Holy Spirit” [= Kami percaya kepada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, pencipta segala sesuatu, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, firman (Logos) Allah, Allah dari Allah, terang dari terang, kehidupan dari kehidupan, satu-satunya Anak yang diperanakkan, yang sulung dari semua ciptaan, diperanakkan dari Bapa sebelum segala jaman, oleh siapa juga segala sesuatu dicipta; yang untuk keselamatan kita dijadikan daging dan tinggal di antara manusia; dan yang menderita dan bangkit kembali pada hari yang ketiga, dan naik kepada Bapa dan akan datang kembali dalam kemuliaan untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Kami percaya juga kepada satu Roh Kudus] - Kenneth Scott Latourette, ‘A History of Christianity’, vol I, hal 155.

 

Perhatikan bahwa dalam Pengakuan Iman ini tak disebut-sebut tentang apakah Yesus dan Bapa itu dari zat yang sama (HOMOOUSION), atau dari zat yang berbeda (HETEROOUSION), atau dari zat yang mirip (HOMOIOUSION). Sebetulnya dalam Pengakuan Iman ini kelihatannya Yesus sudah diakui keilahianNya secara mutlak, tetapi bagaimanapun, apakah Yesus sama kekalnya dengan Bapa atau tidak, dan apakah Ia mempunyai satu hakekat dengan Bapa atau tidak, tidaklah dinyatakan.

 

Albert H. Freundt Jr.: “The council made two additions to it, affirming that the Son was co-eternal and consubstantial with the Father” (= Sidang Gereja itu membuat dua penambahan kepadanya, yang menegaskan bahwa Anak adalah sama kekalnya danh dari zat yang sama dengan Bapa) - ‘Early Christianity’, hal 49.

 

Catatan: kata ‘nya’ yang saya garis bawahi itu menunjuk kepada Pengakuan Iman yang diusulkan oleh Eusebius dari Kaisarea. Dari kata-kata Freundt ini, kelihatannya Sidang Gereja itu yang memutuskan hal itu.

 

Kenneth Scott Latourette lalu menambahkan: “To this creed was added, with the approval of the Emperor and perhaps at his suggestion, the word HOMOOUSION, applied to Christ. The term was adopted by the council and the creed proposed by Eusebius was altered to conform with it” (= Kepada Pengakuan Iman ini ditambahkan, dengan persetujuan dari Kaisar dan mungkin atas usulnya, kata HOMOOUSION, diterapkan kepada Kristus. Istilah ini diterima oleh Sidang dan Pengakuan Iman yang diusulkan oleh Eusebius diubah untuk menyesuaikan dengannya) - ‘A History of Christianity’, vol I, hal 155.

 

Ada 2 hal yang harus diperhatikan:

 

·        Kenneth Scott Latourette mengatakan  bahwa penambahan istilah HOMOOUSION itu dilakukan atas usul dari kaisar, tetapi Kenneth Scott Latourette menggunakan kata ‘perhaps’ (= mungkin), dan itu berarti belum tentu bahwa Konstantine yang mengusulkan istilah itu.

 

·        kalaupun Konstantine yang mengusulkan, itu tidak mungkin bisa diartikan bahwa ia adalah orang yang pertama-kalinya mengusulkan istilah tersebut, karena seperti sudah saya jelaskan di atas, dari awal perdebatan, sebelum Sidang Gereja Nicea dimulai, istilah itu sudah digunakan. Bahkan dalam pertentangan antara dua Dionysius pada abad ketiga (260 M.), istilah itu juga sudah digunakan. Jadi, kalaupun akhirnya Konstantine mengusulkan supaya istilah itu ditambahkan ke dalam Pengakuan Iman itu, ia hanya mengambil istilah itu, yang dalam Sidang Gereja Nicea itu sudah diperdebatkan / digunakan, untuk ditambahkan ke dalam Pengakuan Iman tersebut. Mungkin tujuannya hanya untuk memperjelas keilahian Kristus yang dinyatakan dalam Pengakuan Iman tersebut.

 

Tetapi, bertentangan dengan Kenneth Scott Latourette, Philip Schaff mengatakan bahwa Kaisar Konstantine sebetulnya sudah menyetujui Pengakuan Iman dari Eusebius itu, tetapi pihak Alexander / golongan yang orthodoxlah yang menolak, dan menuntut supaya istilah HOMOOUSIOS itu dimasukkan / ditambahkan ke dalam Pengakuan Iman itu.

 

Philip Schaff: “The Arians first proposed a creed, which however was rejected with tumultuous disapproval and torn to pieces; whereupon all the eighteen signers of it, excepting Theonas and Secundus, both of Egypt, abandoned the cause of Arius. Then the church historian Eusebius, in the name of the middle party, proposed an ancient Palestinian Confession, which was very similar to the Nicene, and acknowledged the divine nature of Christ in general biblical terms, but avoided the term in question, HOMOOUSIOS, consubstantialis, of the same essence. The emperor had already seen and approved this confession, and even the Arian minority were ready to accept it. But this last circumstance itself was very suspicious to the extreme right. They wished a creed which no Arian could honestly subscribe, and especially insisted on inserting the expression HOMO-OUSIOS, which the Arians hated and declared to be unscriptural, Sabellian, and materialistic. The emperor saw clearly that the Eusebian formula would not pass; and, as he had at heart, for the sake of peace, the most nearly unanimous decision which was possible, he gave his voice for the disputed word” [= Para pendukung Arianisme mula-mula mengusulkan / mengemukakan suatu credo, tetapi yang ditolak dengan ketidak-setujuan yang ribut dan disobek-sobek menjadi sobekan-sobekan; sesudah mana semua 18 penanda-tangannya, kecuali Theonas dan Secundus, keduanya dari Mesir, meninggalkan gerakan Arius. Lalu ahli sejarah gereja Eusebius, atas nama dari pihak / golongan yang di tengah, mengusulkan suatu Pengakuan Palestina kuno, yang sangat mirip dengan Pengakuan Iman Nicea, dan mengakui hakekat ilahi dari Kristus dalam istilah-istilah Alkitab biasa, tetapi menghindari istilah yang diperdebatkan, HOMOOUSIOS, ‘dari zat yang sama’. Kaisar telah melihat dan menyetujui pengakuan ini, dan bahkan sebagian kecil dari para pendukung Arianisme siap untuk menerimanya. Tetapi keadaan terakhir ini sendiri merupakan sesuatu yang mencurigakan bagi kelompok extrim kanan (kelompok dari Alexander dan Athanasius). Mereka menginginkan suatu credo yang tidak ada seorang pendukung Arianismepun bisa dengan jujur menganutnya, dan secara khusus berkeras pada pemasukan ungkapan HOMOOUSIOS, yang dibenci oleh para pendukung Arianisme dan yang mereka nyatakan sebagai tidak Alkitabiah, bersifat / berbau Sabellianisme dan bersifat material. Kaisar melihat dengan jelas bahwa formula dari Eusebius tidak akan diterima / disahkan; dan, seperti yang ada dalam hatinya, demi perdamaian, keputusan yang paling dekat dengan keputusan mutlak yang dimungkinkan (keputusan yang diikuti oleh paling banyak orang), ia memberikan suaranya untuk kata yang diperdebatkan itu] - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 628.

 

Dan pada catatan kakinya, Philip Schaff menambahkan:

“The word HOMOOUSIOS, from HOMOS and OUSIA, was not an invention of the council of Nice, still less of Constantine, but had previously arisen in theological language, and occurs even in Origen and among the Gnostics, though of course it is no more to be found in the Bible than the word ‘trinity’” (= Kata HOMOOUSIOS, dari HOMOS dan OUSIA, bukanlah penemuan dari Sidang Gereja Nicea, lebih-lebih lagi bukan dari Konstantine, tetapi telah muncul sebelumnya dalam bahasa theologia, dan muncul bahkan dalam Origen dan di antara para penganut Gnosticisme, sekalipun tentu saja istilah itu sama tidak bisa ditemukannya dalam Alkitab seperti kata ‘tritunggal’) - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 628 (footnote).

 

3.   Saksi-Saksi Yehuwa menyatakan bahwa dalam Sidang Gereja Nicea itu seolah-olah mayoritas dari yang hadir sebetulnya menyetujui Arius, tetapi karena Kaisar Konstantine mengusulkan yang sebaliknya, maka akhirnya mereka menyetujui dengan berat hati / terpaksa. Ini sama sekali tidak benar.

 

Albert H. Freundt Jr. mengatakan bahwa dalam Sidang Gereja Nicea itu:

“The Arians stated their position at the council and it aroused strong opposition. There were few strongly committed Arians there besides Arius and his friend Eusebius of Nicomedia. However, the latter exercised much influenced over Constantine” (= Para pendukung Arianisme menyatakan posisi / pandangan mereka pada Sidang Gereja dan itu membangkitkan oposisi yang kuat. Di sana hanya ada sedikit pendukung Arianisme yang sungguh-sungguh selain Arius dan temannya Eusebius dari Nikomedia. Tetapi orang yang belakangan ini mempunyai pengaruh atas Konstantine) - ‘Early Christianity’, hal 49.

 

Catatan: Eusebius dari Nikomedia ini memang dekat dengan Kaisar Konstantine, dan ini terbukti dari fakta yang menunjukkan bahwa ialah yang akhirnya membaptis Kaisar Konstantine, pada waktu mau mati.

 

Sekarang, kalau dalam pihak Arius, ada teman dari Arius yang mempunyai pengaruh atas Kaisar Konstantine, mengapa akhirnya Konstantine sampai berpihak kepada lawan dari Arius? Jelas karena dalam perdebatan dalam Sidang Gereja Nicea itu, pihak Alexander dan Athanasius, yang merupakan lawan-lawan utama dari Arius, memang menang dalam argumentasi! Ini menyebabkan mayoritas orang dalam Sidang Gereja Nicea itu, termasuk Kaisar Konstantine sendiri, lalu menganut pandangan mereka, dan menentang, dan akhirnya mengecam, pandangan Arius yang memang sesat!

 

Philip Schaff: “The orthodox party, which held firmly to the deity of Christ, was at first in the minority, but in talent and influence the more weighty. ... The majority, whose organ was the renowned historian Eusebius of Caesarea, took middle ground between the right and the left, but bore nearer the right, and finally went over to that side. Many of them had an orthodox instinct, but little discernment; others were disciples of Origen, or preferred simple biblical expression to a scholastic terminology; others had no firm convictions, but only uncertain opinions, and were therefore easily swayed by the arguments of the stronger party or by mere external considerations” [= Golongan yang orthodox, yang dengan teguh mempercayai keilahian Kristus, mula-mula merupakan golongan minoritas, tetapi lebih berat dalam talenta dan pengaruh. ... Mayoritas, yang juru bicaranya adalah ahli sejarah terkenal Eusebius dari Kaisarea, mengambil kedudukan di tengah di antara kanan dan kiri, tetapi lebih condong ke kanan, dan akhirnya menyeberang ke sisi itu. Banyak dari mereka mempunyai naluri orthodox, tetapi sedikit ketajaman (untuk melihat perbedaan); yang lain adalah murid-murid dari Origen, atau lebih memilih ungkapan Alkitabiah yang sederhana dari pada ungkapan dari ahli-ahli theologia; yang lain tidak mempunyai keyakinan yang teguh, tetapi hanya pandangan-pandangan yang tidak pasti, dan karena itu dengan mudah dipengaruhi oleh argumentasi-argumentasi dari golongan yang lebih kuat atau oleh semata-mata pertimbangan-pertimbangan lahiriah] - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 627-628.

 

Catatan:

 

·        Bagian yang saya beri garis bawah ganda itu jelas menunjukkan bahwa pihak orthodox mempunyai argumentasi yang lebih kuat.

 

·        Pihak kanan merupakan pihak orthodox (Alexander, Athanasius dan para pendukungnya).

 

d)   Pengakuan Iman Nicea merupakan wujud perkembangan penuh dari kemurtadan yang telah dinubuatkan oleh Yesus dan para rasul.

 

Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan: “pada abad keempat M., kemurtadan yang dinubuatkan oleh Yesus dan para rasul mulai berkembang penuh. Perkembangan dari Tritunggal hanya satu bukti dari ini” - ‘Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 12.

Bantahan:

 

Saya akan memberikan pandangan yang berbeda, bahkan bertentangan, dengan pandangan dari Saksi-Saksi Yehuwa tentang Sidang Gereja Nicea.

 

Philip Schaff: “Thus ended the council of Nicĉa. It is the first and most venerable of the ecumenical synods, and next to the apostolic council at Jerusalem the most important and the most illustrious of all the councils of Christendom. Athanasius calls it ‘a true monument and token of victory against every heresy;’ ... The council of Nicĉa is the most important event of the fourth century, ... Upon the bed of lava grows the sweet fruit of the vine. The wild passions and the weaknesses of men, which encompassed the Nicene council, are extinguished, but the faith in the eternal deity of Christ has remained, and so long as this faith lives, the council of Nicĉa will be named with reverence and with gratitude” (= Maka berakhirlah Sidang Gereja Nicea. Itu merupakan Sidang Gereja yang pertama dan yang paling patut dimuliakan, dan setelah Sidang Gereja rasuli di Yerusalem, ini merupakan Sidang Gereja yang paling penting dan paling termasyhur dari kekristenan / umat kristen. Athanasius menyebutnya ‘suatu monumen sejati dan tanda kemenangan terhadap setiap bidat’; ... Sidang Gereja Nicea adalah peristiwa yang paling penting pada abad keempat, ... Di atas dasar lahar tumbuh buah yang manis dari pokok anggur. Semangat / kemarahan yang liar dan kelemahan-kelemahan manusia, yang meliputi Sidang Gereja Nicea, dipadamkan, tetapi iman kepada keilahian yang kekal dari Kristus tetap tinggal, dan selama iman ini hidup, Sidang Gereja Nicea akan disebut dengan hormat dan dengan rasa syukur) - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 630,631,632.

 

Mengapa orang-orang ini bisa berbicara dengan begitu indah tentang Sidang Gereja Nicea sedangkan Saksi-Saksi Yehuwa berbicara secara begitu jelek? Tidak usah heran, karena:

 

1.   Dalam kalangan orang gila, yang waras itu yang gila. Dalam kalangan sesat seperti Saksi Yehuwa, yang benar dianggap sebagai sesat.

 

2.   Manusia duniawi tidak bisa menerima / menghargai apa yang berasal dari Roh Allah.

 

1Kor 2:14 - “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani”.

 

Saksi-Saksi Yehuwa memang hanyalah duniawi, dan mereka tidak mempercayai Roh Kudus, sehingga bagaimana mungkin mereka menerima sesuatu yang berasal dari Roh Kudus?

 

3.   Pauluspun merupakan bau kematian bagi orang-orang yang akan binasa.

 

2Kor 2:14-16 - “(14) Tetapi syukur bagi Allah, yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenanganNya. Dengan perantaraan kami Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana. (15) Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. (16) Bagi yang terakhir kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan. Tetapi siapakah yang sanggup menunaikan tugas yang demikian?”.

 

4.   Anjing dan babi tidak bisa menghargai barang kudus / mutiara.

 

Mat 7:6 - “‘Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.’”.

 

Jadi, kalau Pengakuan Iman Nicea itu digambarkan sebagai mutiara dan barang kudus, siapapun yang tidak menghargainya, adalah seperti babi dan anjing!

 


email us at : gkri_exodus@lycos.com