Muhammad Chatib Basri
Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia

Indofood, Monopoli, dan Ekonomie Rente *

ADA satu masalah besar yang tersisa dari perdebatan nasionalisme Indofood. Agaknya, argumen nasionalisme memang menjadi tidak relevan ketika kita membicarakan soal pergerakan modal, begitu pula dengan argumen "nasionalisme baru". Tapi, yang menjadi persoalan besar sebenarnya adalah struktur pasar dan monopoli Indofood itu sendiri. Tentu saja perdebatan ini akan lepas dari masalah nasionalisme karena, secara ekonomi teknis, struktur pasar tidak mengenal bangsa. Struktur pasar monopoli yang muncul karena regulasi hanya mengenal inefisiensi dan ekonomi rente.

Adalah Gordon Tullock yang pada tahun 1967 pertama kali memperkenalkan konsep biaya monopoli. Menurut Tullock, paling tidak ada dua hal yang harus diperhatikan dalam struktur pasar monopoli--seperti pasar tepung terigu di Indonesia. Pertama, pasar monopoli mengambil surplus konsumen. Kedua, menimbulkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya sehingga ada bagian dari sumber daya yang hilang, yang tidak dapat dinikmati baik oleh konsumen maupun produsen (dead weight loss).

Studi lebih jauh, dilakukan oleh Posner, menunjukkan bahwa biaya monopoli terhadap masyarakat sebenarnya jauh lebih besar ketimbang dead weight loss itu sendiri. Karena, secara tak langsung, monopoli akan membawa aktivitas ekonomi rente atau rent seeking. Secara implisit, upaya mendapat monopoli adalah satu bentuk kompetisi. Implikasinya: akan ada sumber daya yang digunakan untuk aktivitas itu. Dalam rent seeking, perusahaan akan mengeluarkan biaya untuk mempertahankan monopolinya melalui lobi dan aktivitas lain. Dengan demikian, dalam kasus ekonomi rente, biaya monopoli pada akhirnya tidak hanya berupa dead weight loss, tapi juga berupa hilangnya bagian surplus produsen untuk lobi.

Terminologi rent seeking sendiri diperkenalkan Anne Krueger pada tahun 1974, merujuk pada kompetisi untuk mendapatkan rente yang biasanya muncul menyertai intervensi pemerintah dalam bentuk regulasi. Sumber daya aktivitas itu dianggap terbuang karena tidak meningkatkan produksi, tapi hanya mentransmisikan kekayaan di antara individu atau kelompok.

Dalam dataran empirik, aktivitas rent seeking akan muncul dalam bentuk upaya memperoleh lisensi melalui lobi kepada politisi atau pejabat pemerintah. Selain itu, aktivitas tersebut juga membawa implikasi overinvestment dalam modal fisik guna menjustifikasi lisensi yang diberikan.

Masalah lain yang timbul adalah penyuapan. Memang, masih ada perdebatan, apakah penyuapan atau bribery termasuk ekonomi rente. Jika penyuapan hanya dianggap sebagai transfer, itu tidak menimbulkan biaya. Tapi, studi yang dilakukan Neil Vousden dari Australian National University menunjukkan bahwa penyuapan juga mempengaruhi pendapatan pejabat pemerintah dan menimbulkan inefisiensi.

Lepas dari perdebatan itu, satu hal jelas: ekonomi rente menimbulkan biaya terhadap perekonomian. Krueger menghitung dampak ekonomi rente di India sebesar 7,3 persen dari produk domestik bruto (PDB)-nya pada tahun 1964--dan hampir dua pertiga dari jumlah itu disebabkan lisensi impor. Di Turki diperkirakan ekonomi rente mencapai 15 persen dalam tahun 1974. Studi yang dilakukan Ross untuk Kenya menunjukkan ekonomi rente mencapai 38 persen dari PDB pada tahun 1980.

Sayangnya, untuk Indonesia belum ada satu studi yang secara spesifik menghitung besarnya ekonomi rente. Yang jelas, studi di berbagai negara menunjukkan kepada kita bagaimana monopoli dengan implikasi ekonomi rentenya telah membebani perekonomian. Lalu, mengapa monopoli tetap eksis, seperti pada kasus Indofood dan cengkih?

Stephen Magee dari University of Texas menyatakan ada dua cara untuk mengakumulasikan kekayaan: menghasilkan barang atau mengambil uang dari orang lain. Kegiatan yang pertama disebut production sedang yang kedua disebut predation atau transfer kekayaan. Production atau produksi adalah kegiatan nonkooperatif, ketika predator memperoleh untung, sedangkan yang lain mengalami kerugian. Karena itu, secara teoritis, dalam melakukan akumulasi kekayaan, individu atau kelompok akan berusaha melakukan investasi dalam produksi dan predation sampai diperoleh balas jasa marginal (marginal return) dari kedua aktivitas itu.

Aktivitas predation dapat dilakukan melalui lobi. Lobi untuk mempertahankan monopoli, misalnya, mengupayakan dan menyediakan dana untuk mendukung pemerintah agar mereka dapat memaksimumkan keuntungan ekonominya dalam sistem politik yang ada. Dalam teori ekonomi, hal itu dikenal dengan nama endogeneous protection. Ada beberapa hal yang kemudian harus dibahas sebagai konsekuensi dari aktivitas itu.

Pertama, kebijakan pemerintah bersifat inefisien dan dipengaruhi secara kuat oleh kelompok kepentingan. Kedua, kebijakan pemerintah memiliki harga--dalam arti dapat diperdagangkan--ketika harga proteksi akan ditentukan oleh permintaan dan penawarannya.

Pemberian monopoli yang dinikmati beberapa perusahaan monopoli di Indonesia--termasuk Indofood--agaknya dapat dijelaskan dalam kerangka teori endogenous protection . Studi empirik yang saya lakukan bersama Hal Hill untuk kasus industri manufaktur di Indonesia tampaknya memperkuat dugaan itu. Ternyata, struktur proteksi untuk industri manufaktur sedikit banyak dapat dijelaskan oleh interaksi kelompok kepentingan dengan pemerintah. Jika memang demikian, persoalan monopoli tepung terigu Indofood ataupun monopoli lain barangkali bukan terletak pada argumentasi kestabilan harga, tapi mungkin pada argumentasi kestabilan interaksi kelompok kepentingan dan pemerintah. Jika hubungan itu dipermanenkan, biaya ekonomi rente akan menjadi biaya yang tidak dapat diperoleh kembali (sunk cost).

Akibatnya, deregulasi pun menjadi lebih mahal. Tapi, seperti yang dikatakan Robert Tollison, manfaat dari deregulasi paling besar justru pada sektor yang paling susah disentuh. Jika Tollison benar, saya khawatir karena deregulasi di Indonesia jarang sekali menyentuh sektor-sektor itu--sektor-sektor yang di republik kita selalu memiliki nama samaran: "kepentingan nasional".

*) D&R, 15 Agustus 1997